Jaksa Agung Keluhkan Kritik; Sejumlah Tokoh Kampanyekan Antikorupsi

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluhkan munculnya berbagai tanggapan masyarakat atas penayangan sejumlah orang yang dituduh korupsi. Dia juga mengeluhkan media massa yang malah mewawancara orang yang menjadi buronan.

Jaksa Agung mengungkapkan, di Amerika Serikat seorang wartawan pernah berurusan dengan pengadilan karena wawancaranya dengan seorang agen CIA. Karena itulah, menurut Jaksa Agung, mewawancara seorang buronan adalah hal tindakan yang menimbulkan persoalan etis. Namun, kalau kita adukan wartawan itu, kita yang babak belur lagi, kata Abdul Rahman, dalam diskusi bertema Melawan Serangan Balik Koruptor yang digelar Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Indonesian Court Monitoring, serta Kemitraan di Jakarta hari Rabu (15/11).

Menurut Jaksa Agung, masyarakat, perguruan tinggi, politisi dan media massa seharusnya mengembangkan solidaritas sosial memberantas korupsi. Apalagi, korupsi dapat saja memperoleh dukungan dari kekuatan politik atau bahkan kekuatan konstitusional sehingga sulit dilawan. Karena itu, ia meminta dukungan dari kekuatan politik untuk ikut serta memberantas korupsi. Pemberantasan korupsi adalah juga bagian dari tanggung jawab masyarakat sehingga harusnya masyarakat membantu menangkap koruptor yang diburu.

Sementara itu, ahli hukum tata negara dari Bali, Prof Dr Yohanes Usfunan, kemarin, justru berharap penayangan wajah koruptor di televisi dipertahankan bahkan ditingkatkan. Efektivitas tindakan itu, antara lain, terasa pada perilaku pejabat untuk menjauhi penyalahgunaan wewenang. Jadi tidak benar jika langkah Kejaksaan Agung dinilai sebagai mencari popularitas. Justru langkah ini sebagai manifestasi transparansi. Masyarakat harus bersyukur karena Kejagung telah berupaya menayangkan koruptor untuk pembelajaran bagi para pejabat lain, katanya di Denpasar, kemarin.

Menurut Usfunan, kejaksaan sudah berupaya maksimal melalui tuntutan hukuman. Namun, ketika memasuki langkah lanjutannya, putusan hakim justru terkesan mengabaikan tuntutan jaksa. Salah satu contohnya adalah perkara korupsi yang melibatkan para anggota DPRD Bali. Oleh jaksa penuntut umum, mereka semua dituntut hukuman 18 bulan penjara. Namun, oleh majelis hakim, para anggota DPRD itu malah dibebaskan, katanya.

Kampanye Antikorupsi
Melanjutkan acara yang telah digelar Rabu siang, Pukat Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, bekerja sama dengan Kemitraan menggelar orasi tokoh antikorupsi. Sejumlah tokoh nasional, seperti mantan Ketua MPR Amien Rais, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, Hariman Siregar, yang dipandu oleh budayawan Emha Ainun Najib hadir dalam acara itu.

Acara itu, menurut Ketua Pukat Fakultas Hukum UGM Denny Indrayana, merupakan rangkaian dari sejumlah agenda acara yang digagas untuk mengkaji pengajuan permohonan uji materi yang dialamatkan kepada Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Denny, orasi para tokoh itu sengaja digelar sebagai bentuk kampanye media atas usaha mencermati pengajuan uji materi tersebut. Denny berpendapat, jika Mahkamah Konstitusi tidak cermat dan hati-hati dalam menanggapi permohonan uji materi itu, bisa jadi hilangnya wewenang Komisi Yudisial atas pengawasan terhadap para hakim akan terulang pada KPK.

Dalam kesempatan lain, upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan diperluas dengan kerja sama KPK dengan Universitas Negeri Semarang. Wakil Ketua KPK Sjahruddin Rasul, Rabu, mengatakan, kerja sama pendidikan antikorupsi akan ditindaklanjuti kedua pihak dengan mengembangkan materi pendidikan antikorupsi dan pelatihan antikorupsi kepada anak-anak, remaja, dan orang dewasa. (WHO/ANS/JOS/vin)

Sumber: Kompas, 16 November 2006
----------------
Hukum Saja Tidak Cukup
Arman: Berantas Korupsi Perlu Kemauan Politik

Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengatakan, memberantas korupsi tidak cukup melalui penegakan hukum. Juga dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari pemerintah.

Semua pihak, termasuk DPR dan Mahkamah Konstitusi, harus memiliki komitmen antikorupsi, kata Arman -panggilan Abdul Rahman Saleh- dalam diskusi Melawan Serangan Balik Para Koruptor di Hotel Sahid Jakarta kemarin. Jaksa Agung meminta masyarakat waspada jika kasus-kasus korupsi dibingkai dalam koridor politik.

Sebagai langkah konkret memberantas korupsi, kata Arman, mutlak diperlukan sinkronisasi undang-undang (UU), termasuk UU MK. Siapa pun kucingnya, berbulu putih atau hitam, yang penting dalam menangkap tikus, dia yahud, ungkapnya.

Penasihat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Abdullah Hehamahua mengatakan, ada upaya sistematis untuk melemahkan lembaga tersebut. Caranya mulai UU yang setengah hati, kebijakan parsial dan tumpang tindih, serta hambatan dalam upaya reformasi birokrasi. Belum lagi ada saja upaya para koruptor untuk melindungi diri sendiri, tambahnya.

Hal tersebut tentu saja kontradiktif dengan upaya pemberantasan korupsi yang merupakan extraordinary crime dan membutuhkan cara serta lembaga yang juga extraordinary. Saat ini ada upaya mengerdilkan makna korupsi dan menyamakannya dengan tindak pidana biasa, beber Abdullah.

Untuk itulah, selain menindak, selama ini KPK juga berupaya mencegahnya. Masyarakat pun dilibatkan. Kalau perlu, kucilkan para koruptor. Biar mereka tahu rasa, ungkap Abdullah.

Pria kelahiran Maluku tersebut menilai budaya malu masyarakat Indonesia sudah luntur. Bayangkan, meski dampak korupsi yang dilakukan sangat besar, para koruptor masih dengan gagah tampil di depan publik. Parahnya, mereka masih dielu-elukan layaknya pahlawan. PSK saja masih punya rasa malu atas apa yang dilakukannya, tambahnya.

Meski demikian, tindakan KPK masih diperlukan untuk memberi efek jera. Namun, hal itu tidak bisa dijadikan ukuran untuk menilai hasil kerja KPK, apalagi menjadi alasan untuk mendiskreditkan lembaga tersebut.(ein)

Sumber: Jawa Pos, 16 November 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan