Jaksa Agung jangan Lindungi Jaksa Bermasalah

Kita ketahui bahwa dua jaksa yang diduga menggelapkan 343 butir ekstasi (Esther Tanak dan Dara Veranita) terpaksa dibebaskan dari penahanan Polda Metro Jakarta. Untuk menyikapi peristiwa tersebut ICW mengeluarkan press release.

Pernyataan Pers
Jaksa Agung jangan Lindungi Jaksa Bermasalah

Berlindung dibalik alasan formalitas, Jaksa yang diduga menggelapkan Barang Bukti 343 butir ekstasi terpaksa DIBEBASKAN dari tahanan Polda Metro Jaya. Alasan pihak Kejaksaan Agung, POLDA belum mengajukan izin kepada Jaksa Agung untuk proses penangkapan dan penahanan. Karena pemeriksaan pidana terhadap setiap Jaksa harus seizin Jaksa Agung. Hal ini tentu sangat menghambat upaya pihak Kepolisian untuk memberantas perdagangan Narkoba.

Argumentasi Kejaksaan tersebut dinilai bertentangan dengan semangat pembersihan institusi Adhyaksa ini. ICW sangat khawatir alasan-alasan formalitas berimplikasi melindungi Jaksa bermasalah.

Jaksa Agung seharusnya peka dengan persoalan tersebut dan jangan ikut melindungi oknum Jaksa. Karena perlindungan menurut UU Kejaksaan yang diadopsi dari Guidelines on the Role of Prosecutors dan International Association of Prosecutors hanyalah untuk Jaksa yang sedang melaksanakan tugas dan kewenangannya. Apakah menjual Narkoba atau menggelapkan barang bukti termasuk tugas Jaksa? Tentu, tidak.

Dalam kasus Esther, meskipun masih sebagai tersangka, namun bukti awal yang dimiliki oleh Kepolisian dinilai cukup sebagai alasan penangkapan dan penahanan. Bahkan, posisi Jaksa sebagai penegak hukum, seharusnya menjadikan ancaman hukuman dan sanksi yang dijatuhkan LEBIH TINGGI dan LEBIH BERAT dibanding masyarakat biasa. Bukan justru dihambat formalitas.

Seperti diketahui, kasus Esther berawal dari perkara kepemilikan 5.000 butir ekstasi di Apartemen Paladian Park kamar 1511, Kelapa Gading, Jakarta Utara, September 2008, dengan tersangka M Yusuf.

Atas dasar inilah, kesan berlindung dibalik formalitas birokrasi Kejaksaan Agung patut dikecam. Lagipula, menurut catatan ICW, komitmen Jaksa Agung untuk pembersihan kejaksaan diragukan. Setidaknya, terdapat beberapa kebijakan/tindakan yang sangat kontroversial, padahal sangat terkait dengan kewenangan Jaksa Agung, diantaranya:

  1. Kegagalan Jaksa Agung mengawasi pejabat selevel Jaksa Agung Muda pada kasus Urip Tri Gunawan.
  2. Rencana penangkapan Artalyta Suryani oleh Tim Kejaksaan, padahal kasus tersebut sedang ditangani KPK. Dan, UU KPK secara tegas melarang Kejaksaan untuk menangani kasus yang sudah ditangani oleh KPK (Pasal 50 ayat 3).
  3. Pengangkatan kembali mantan Jampidsus, Kemas Yahya Rahman dan mantan Dirdik M. Salim, padahal dua orang ini diduga kuat terkait dengan kasus Suap BLBI-II, Sjamsul Nursalim.
  4. Masih bermasalahnya persoalan Uang Pengganti kasus korupsi, seperti yang dilaporkan BPK.

Tidak perlu izin
Alasan hukum yang digunakan Kejaksaan Agung agar pemeriksaan pidana terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan jika diizinkan Jaksa Agung adalah Pasal 8 ayat (5) UU 16/2004 tentang Kejaksaan. Pasal ini pun diterapkan dalam kasus Esther.

Padahal, menurut ICW, Penahanan terhadap Jaksa Esther dkk dapat dilakukan TANPA IZIN Jaksa Agung. Terdapat beberapa argumentasi hukum:

1. UU Kejaksaan hanya melindungi Jaksa yang menjalankan tugas dan wewenang yang bertindak berdasarkan hukum, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dan menjaga kehormatan dan martabat profesi.

  1. Tugas Jaksa menurut UU ini adalah: melakukan penuntutan umum dan eksekusi putusan (Pasal 1 angka 1).
  2. Menggelapkan dan menjual barang bukti tidak termasuk Tugas Jaksa.
  3. Bagian Pengawasan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sudah melakukan Pemeriksaan dan hasilnya sudah disampaikan oleh JAMWAS, bahwa Esther dinilai lalai sehingga berakibat mereka menjual barang bukti.
  4. Secara tidak langsung oknum Jaksa tersebut dapat dikatakan TIDAK menjaga kehormatan dan martabat profesi Jaksa. Sehingga, Pasal 8 ayat (5) tidak berlaku untuk mereka.
  5. Karena alasan diatas, maka Tidak perlu IZIN Jaksa Agung untuk menahan tersangka penjualan narkoba ini.
  6. Belajar dari kasus Urip Tri Gunawan, KPK tidak perlu izin Jaksa Agung untuk menangkap dan menahan pelaku Suap BLBI ini.

2. Konstitusi menjamin, semua orang harus diperlakukan sama dihadapan hukum. Tidak boleh ada yang mendapat fasilitas dan perlakuan khusus dibanding yang lainnya. Bahkan dalam teori pemidanaan, Hukuman untuk Penegak Hukum harusnya lebih berat dibanding masyarakat biasa.

Fenomena Gunung Es
Persoalan Jaksa Esther bukan satu-satunya kasus dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan Jaksa. Permasalahan atau penyimpangan dalam pengelolaan Barang Bukti/ Barang Sitaan dan Barang Rampasan oleh oknum Jaksa ibarat fenomena Gunung Es. Sebelumnya muncul kasus-kasus sejenis, namun sayangnya kasus –kasus seperti ini hanya selesai pada pemberian sanksi administratif berdasarkan PP No 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Hanya sedikit kasus yang dilanjutkan ke proses pidana. Hal ini berdampak pada tidak adanya efek jera (shock therapy) bagi oknum jaksa atau jaksa lain untuk tidak melakukan hal serupa dimasa mendatang.

Oleh karena itu, ICW;

  1. Mendesak Jaksa Agung untuk tidak melindungi Jaksa-jaksa yang terkait kasus Pidana di institusinya;
  2. Meminta Kepolisian segera memanggil secara paksa dan memperpanjang masa penahanan tersangka Jaksa Esther dkk berdasarkan Pasal 24 ayat (2) KUHAP, tanpa IZIN Jaksa Agung
  3. Karena baik/buruknya Kejaksaan sangat terkait dengan keseriusan Presiden dalam Penegakan Hukum, maka ICW meminta Presiden untuk memberi peringatan pada Jaksa Agung.

Jakarta, 13 April 2009

Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan