Jaksa Agung Harus Transparan; Kejaksaan Bersikukuh Tak Simpan dan Bungakan Uang Pengganti
Agar tidak terjadi korupsi ganda dalam pengelolaan dana pengganti dan uang kerugian yang dikelola dan dilaporkan ke Departemen Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan, Kejaksaan Agung harus menyusun dan membuat laporan yang transparan dan memenuhi prinsip akuntabilitas.
Instruksi itu disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla, seusai shalat Jumat (24/8) di Masjid Baitulrachman, Kompleks Istana Wapres, Jakarta.
Pers sebelumnya menanyakan apakah pemerintah sudah meminta Kejagung menertibkan laporan keuangan negara yang berasal dari hasil setoran terdakwa yang divonis bersalah serta harus membayar uang ganti rugi dan dana pengganti hasil korupsi.
Penyusunan dan laporan hasil setoran Kejagung itu selama ini dinilai tidak tertib dan tersebar di di kejaksaan negeri ataupun kejaksaan tinggi sehingga tak memenuhi prinsip akuntabilitas dan transparansi keuangan.
Dana pengganti itu tentu harus disetorkan ke Kejagung. Namun, kadang-kadang jika orangnya sudah masuk penjara, ya sudah begitu saja. Memang ada dana pengganti yang disetorkan ke Kejagung. Tetapi, ada juga yang tak dibayarkan. Mungkin saja juga ada yang dibayarkan, tetapi tak disetorkan. Kalau seperti itu, jelas itu yang salah, kata Wapres.
Menurut Kalla, supaya tak ada kesalahan, Kejagung harus mengupayakan bagaimana orang yang punya kewajiban, tetapi tak mau membayar itu benar-benar membayar, selain juga bagaimana menyusun laporannya.
Ditanya apakah pemerintah sudah minta Kejagung memenuhi asas transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan, Wapres menjawab, Ya, itu harus.
BPKP mulai verifikasi
Secara terpisah, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Didi Widayadi, seusai melaporkan hasil audit kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada Wapres, Jumat, mengakui Kamis lalu bertemu Jaksa Agung Hendarman Supandji, membicarakan pengelolaan uang pengganti yang dilaporkan media massa. BPKP membantu Kejagung menyusun laporan pengelolaan dana itu.
Tugas BPKP adalah internal audit pemerintah atau auditor Presiden. Jadi, BPKP bisa diminta Jaksa Agung melakukan verifikasi atas dana pengganti dan uang titipan yang tersebar dan tidak tertib itu, ujar Didi.
Namun, lanjut Didi, Kejagung harus terbuka dan bersikap proaktif untuk meminta bantuan auditor BPKP dalam menyusun laporan, agar tak terjadi polemik di masyarakat seperti sekarang ini atas jumlah dan pemanfaatan dana yang dikumpulkan Kejagung.
Ditanya apakah benar BPKP mengalami kesulitan mengaudit pengelolaan dana pengganti dan uang ganti rugi di Kejagung, Didi mengatakan, Memang, tidak hanya di Kejagung, tetapi di lembaga lainnya. Ada resistansi terhadap kebijakan BPKP sekarang ini.
Padahal, katanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengarahkan agar lembaga dan departemen jika menemukan keraguan dalam penyusunan laporan tidak perlu ragu untuk meminta bantuan BPKP menyusun laporan keuangannya.
Tak menyimpan
Secara terpisah, Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin mengatakan, Kejagung tak pernah menyimpan dan membungakan dana pengganti senilai lebih dari Rp 6 triliun, seperti yang dituduhkan selama ini. Yang benar, uang pengganti itu belum tertagih.
Sama sekali tidak benar. Tidak ada yang demikian itu, ujar Muchtar Arifin, Jumat di Jakarta.
Menurut dia, permasalahan yang sebenarnya adalah belum terbayarnya uang pengganti dari sejumlah terpidana. Ia mencontohkan Dicky Iskandardinata dalam kasus Bank Duta beberapa tahun lalu, yang seharusnya membayar Rp 811 miliar, tetapi ia tidak mampu melunasinya. Contoh lain, kasus Sudjiono Timan dan Bambang Sutisna. Itu semua terakumulasi, katanya.
Ia menambahkan, tidak mungkin kejaksaan menyimpan uang itu. Kejaksaan juga memiliki sistem keuangan yang harus dipatuhi. Bendahara khusus penerima itu hanya bisa menyimpannya 1 x 24 jam, kata Muchtar.
Ia juga membantah jika kejaksaan di daerah menyimpan uang yang sama. Ia bahkan akan memberi sanksi jika ada jaksa yang menyimpan dan membungakan uang pengganti itu. Kalau menyimpan dan membungakan, ya perlu kita pecat. Kalau sampai korupsi, kita ajukan ke pengadilan, ujarnya. (har/ana)
Sumber: Kompas, 25 Agustus 2007