Jaksa Agung
Saling silang pendapat perihal keabsahan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung terjawab sudah, menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tertanggal 22 September 2010.
Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Pasal 22 Ayat (1) Huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401) adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional).
Yaitu, konstitusional sepanjang dimaknai ”masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden RI dalam satu periode bersama-sama jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode bersangkutan”.
Berdasarkan amar putusan tersebut, haruslah dipahami bahwa putusan itu tidak memengaruhi keabsahan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung. Tegasnya, Hendarman Supandji tetap sah sebagai Jaksa Agung selama belum ada keputusan presiden (keppres) yang memberhentikannya. Hal ini didasarkan pada beberapa argumen. Pertama, dalam amar putusan MK, tidak ada satu kata pun yang menyatakan bahwa Hendarman Supandji tidak sah sebagai Jaksa Agung sejak 20 Oktober 2009. Artinya, MK menganggap keppres tahun 2007 yang mengangkat Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung tetap sah.
Kedua, putusan MK tersebut bersifat prospektif, yang berarti berlaku bagi Jaksa Agung baru yang akan menggantikan Hendarman Supandji. Ketiga, kalau ditafsirkan berdasarkan amar putusan MK yang memaknai Pasal 22 Ayat (1) Huruf d bahwa masa jabatan Jaksa Agung berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden, maka Hendarman Supandji masih sebagai Jaksa Agung. Masa jabatan Presiden yang mengangkat Hendarman Supandji baru berakhir pada tahun 2014, maka secara mutatis mutandis, masa jabatan Hendarman pun masih sah sampai tahun 2014.
Terlepas dari keabsahan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung, putusan MK tersebut tidak berpengaruh apa pun terhadap penegakan hukum dalam konteks sistem peradilan pidana. Institusi kejaksaan sebagai lembaga penuntutan pidana yang mewakili negara adalah satu kesatuan. Penetapan seseorang sebagai tersangka atau terdakwa termasuk penuntutan yang dilakukan terhadap seseorang adalah berdasarkan hukum dan tidak ada kaitannya dengan keabsahan jabatan seseorang. Terlebih dalam hukum pidana yang dicari adalah kebenaran materiil.
Kasus Yusril
Dalam konteks kasus hukum Yusril Izha Mahendra yang menolak diperiksa sampai ada putusan MK terhadap keabsahan Jaksa Agung, sebenarnya suatu hal yang tidak relevan. Perihal penetapan dan pemeriksaan terhadap Yusril sebagai tersangka adalah hal yang berdiri sendiri dengan legalitas Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung.
Bahkan, kalaupun Hendarman Supandji adalah Jaksa Agung yang ilegal sejak 20 Oktober 2009, tidak berarti penetapan Yusril sebagai tersangka lalu gugur begitu saja. Terlebih pasca-putusan MK yang menolak permohonan provisi Yusril.
Selanjutnya, putusan MK ini pun memberikan kepastian hukum terkait masa jabatan Jaksa Agung di tengah wacana pergantian Hendarman Supandji, khususnya berkaitan dengan isu Jaksa Agung karier-nonkarier. Jika bersandar pada kepastian hukum dengan pemikiran normatif-sistematis, seyogianya Jaksa Agung adalah jabatan karier. Sebab, syarat Jaksa Agung berdasarkan ketentuan Pasal 20 juncto Pasal 9 Undang-Undang Kejaksaan secara implisit mensyaratkan bahwa Jaksa Agung adalah seorang jaksa. Selain itu, Jaksa Agung karier juga dianggap lebih menguasai secara teknis yuridis tugas dan kewenangannya.
Akan tetapi, jika bersandar pada asas kemanfaatan dengan tujuan membersihkan kejaksaan dari praktik-praktik mafia hukum, Jaksa Agung nonkarier perlu dipertimbangkan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mafia hukum dalam suatu institusi penegak hukum—termasuk kejaksaan—biasanya dilakukan secara sistematis. Artinya, sulit bagi kita untuk mengharapkan seorang Jaksa Agung karier akan memperbaiki institusi kejaksaan di tengah semangat melindungi korps yang begitu kuat dari institusi kejaksaan itu sendiri.
Perihal figur Jaksa Agung nonkarier, Presiden Yudhoyono dapat saja menunggu hasil pemilihan pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Komisi III DPR, terlebih dalam kerangka berpikir pemberantasan korupsi. Bukankah kedua calon pemimpin KPK yang dihasilkan oleh Panitia Seleksi, Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas, adalah dua figur yang tidak perlu diragukan lagi integritas moralnya berikut keberanian dalam bertindak? Artinya, salah satu dari mereka yang tidak terpilih sebagai pemimpin KPK-lah yang kemudian diangkat Presiden sebagai Jaksa Agung.
Eddy OS Hiariej Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
Tulisan ini disalin dari Kompas, 25 September 2010