Jakarta Sarang Koruptor

Jakarta dinobatkan sebagai kota terkorup. Tampaknya, survei yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) itu ada betulnya, sebab cukup gampang mendapati praktik korupsi di beragam pojok Kota Jakarta.

MATAHARI baru saja bergeser persis di atas kepala, namun cuaca siang itu tidak begitu menyengat. Meski begitu, peluh tetap terlihat membasahi kening wanita sepuh yang tengah mengatur sebuah mobil, di salah satu lahan seluas enam meter persegi tepi Jalan HR Juanda, Jakarta Pusat.

Tangannya memberi aba-aba maju, seiring suara peluit yang ditiupnya. Usai memarkir beberapa kendaraan, wanita berusia 60 tahun itu kembali mendekati suaminya yang mengenakan seragam petugas parkir, duduk di salah satu sudut perkantoran di daerah itu.

Sejenak kemudian, wanita bernama Ny Sri Suparti ini menceritakan suka duka suaminya sebagai juru parkir. Menurutnya, sang suami --sebut saja Supeno,70,-- saban hari harus menyetor 75% atau sekitar Rp25 ribu, kepada Badan Pengelola (BP) Perparkiran DKI Jakarta. Padahal, pendapatannya rata-rata cuma Rp8 ribu per hari.

Akhirnya mau tidak mau Ny Sri mengaku kerap minta kepada pemilik mobil untuk membayar lebih dari tarif sebenarnya seribu rupiah. ''Makanya, suka ada yang minta Rp2 ribu untuk parkir, karena kalau tidak begitu tidak bisa makan. Kalau mau tarik seribu rupiah, yah seperti saya, makan sehari dua kali saja susah,'' ungkap Ny Sri yang mengaku sudah dua tahun berprofesi sebagai juru parkir.

Memang tidak dapat dipungkiri, tampaknya sejak tahun lalu BP Perparkiran DKI Jakarta yang mengelola 16 ribu satuan ruas parkir (SRP) itu, ngebut kejar target pendapatan retribusi parkir untuk tahun lalu sebesar Rp18 miliar.

Namun sayang, upaya pemerintah untuk mencapai target tidak kesampaian, pada 2004 itu BP Perparkiran DKI cuma mampu meraup rupiah sebesar Rp14 miliar. Ironisnya kegagalan mencapai target itu kerap disebut kebocoran yang dikaitkan dengan ulah juru parkir.

Betulkah demikian?
Menurut Wakil Kepala BP Perparkiran DKI Jakarta Bambang Rahmanto, pada waktu koridor I busway dibuka, pendapatan parkir sudah berkurang sebesar Rp5,3 juta per hari. Di Jakarta Timur BP Perparkiran kehilangan Rp1 juta per hari. Padahal, di satu sisi, juru parkir di sana tidak berkurang.

Ruang parkir yang dikelola BP Perparkiran juga berkurang karena berubahnya cara parkir. Tadinya posisi mobil serong, sekarang paralel. Kemudian ada pembatasan jam, sekarang ada peraturan baru boleh parkir setelah pukul 10 ke atas.

Persoalan di tubuh BP Perparkiran DKI Jakarta juga menyeruak dalam pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB). Bedanya, kebocoran itu terjadi saat pemohon IMB mendaftarkan diri untuk memperoleh IMB.

''Seharusnya tidak sampai Rp2,5 juta, tapi ini bisa bengkak hingga Rp5-6 juta,'' ungkap salah satu pemohon IMB, Dono, berkaitan dengan biaya pengurusan.

Walau saban hari pemohon IMB (PIMB) di ruang pelayanan terpadu Wali Kota Jakarta Selatan hanya berkisar puluhan orang. Tetapi, putaran uang yang masuk di tempat itu bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Pengakuan Dono menyebutkan, untuk mendapatkan IMB, dibutuhkan dana yang tak kurang dari dua sampai tiga kali lipat tarif resmi. Apalagi jika pemohon tidak kenal 'orang dalam' terpaksa merogoh kocek lebih dalam hingga Rp8 juta.

Hasil survei
Peristiwa di atas, tampaknya sebagian kecil kejadian yang juga menerpa instansi lain di lingkungan DKI Jakarta. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) pernah melakukan survei pada 1999. Hasilnya mengungkapkan, pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga (KK), surat izin mengemudi (SIM), dan paspor, semua pegawai kelurahan bisa berfungsi sebagai calo pembuatan KTP atau KK. Disebutkan dalam survei itu, untuk pembuatan KTP jika tanpa melengkapi persyaratan, alias langsung jadi, biasanya dikenai biaya Rp100 ribu hingga Rp125 ribu, padahal dengan biaya resmi hanya dibutuhkan dana Rp25 ribu saja.

Sedangkan mengenai perparkiran, ada kesengajaan pengelola pertokoan tidak menyediakan lahan untuk parkir bagi pengunjungnya. Yang dilakukan pengelola pertokoan atau perkantoran, adalah dengan membiarkan areal di pinggir jalan digunakan untuk parkir. Retribusi yang diterima pemerintah daerah (Pemda) jauh lebih kecil, dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk membayar pungutan keamanan bagi preman.

Bahkan dua pekan lalu, Transparency International Indonesia (TII) mencatat Jakarta sebagai kota terkorup di Tanah Air, dengan persepsi indeksnya 3,87 --0= korup, 10= bersih--. Hasil survei lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dilakukan di 21 kabupaten/kota di Indonesia pada bulan Oktober-Desember 2004, ini juga membeberkan ruang-ruang korupsi di DKI. TII mengungkapkan, pengurusan izin usaha adalah ruang tertinggi terjadinya korupsi dengan nilai total Rp1,88 miliar. Disusul pengurusan izin kerja/tenaga kerja Rp1,3 miliar, kemudian rumah sakit, Puskesmas, balai Kesehatan Rp154 juta, selanjutnya bidang pekerjaan umum Rp70 juta, dan perusahaan air minum (PAM) Rp65 juta, pelayanan pendidikan Rp 32 juta.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) TII, Emmy Hafild mengatakan paling banyak ditemukan kasus korupsi adalah pada pengurusan izin usaha. ''Para pelaku bisnis yang diwawancarai mengaku, interaksi korupsi dengan Dinas Pembangunan Umum (PU) terjadi dalam tender-tender proyek pembangunan pemerintah,'' kata Emmy. Bahkan, ada delapan pengusaha terang-terangan mengaku membayar Rp10 miliar kepada DPRD.

Menurut Emmy, sikap defensif pemerintah DKI patut dipertanyakan, khususnya menyangkut upaya pemberantasan korupsi. Ia menyebutkan Pemkot Tangerang justru bersikap akomodatif, malah TII akan beraudiensi dengan pihak Pemkot Tangerang untuk membahas kemungkinan pencegahan korupsi di daerah tersebut. (Lng/IA/SA/*/M-5)

Sumber: Media Indonesia, 27 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan