Jajak Pendapat; Rumah Simbolis Rakyat

Rencana pembangunan gedung baru Dewan Perwakilan Rakyat senilai Rp 1,138 triliun menuai penolakan dari publik. Hasil jajak pendapat ini, misalnya, mengungkap mayoritas responden (82,2 persen) tidak menyetujui rencana tersebut. Tampaknya, wakil rakyat yang selama ini dicitrakan kurang aspiratif terhadap kepentingan dan suara rakyat menjadi pemicu ketidaksetujuan publik terhadap apa saja yang berkaitan dengan penggunaan uang rakyat yang dinilai berlebihan.

Penolakan bukan baru kali ini saja terjadi. Bahkan, urusan renovasi kecil gedung DPR pun tidak sepi dari kecaman publik. Renovasi pagar pada Desember 2005, misalnya, juga dipersoalkan. Renovasi senilai Rp 2,1 miliar itu dinilai berlebihan. Selain masalah biaya, pilar gerbang pagar DPR yang dibangun lebih tinggi dari pagar sebelumnya dinilai semakin menjauhkan DPR dengan rakyat. Penolakan renovasi pagar ini lebih keras lagi terdengar karena pada saat yang sama sebanyak 55 warga di Kabupaten Yahukimo, Papua, meninggal dan 112 orang kritis karena kelaparan.

Sebelum rencana pembangunan kali ini, DPR sebenarnya juga sudah pernah melakukan renovasi terhadap gedung 24 lantai tersebut pada tahun 2008. Renovasi tersebut menelan biaya Rp 33,4 miliar. Lagi-lagi ini juga mendapat reaksi keras dari sejumlah tokoh masyarakat. Belum pula terhitung reaksi keras publik terhadap renovasi 497 rumah dinas anggota DPR pada tahun 2010 lalu yang menghabiskan dana sebesar Rp 445 miliar.

Persoalan ini bisa jadi bertolak belakang dengan yang terjadi pada masa lampau, saat cikal bakal pembangunan gedung MPR/DPR dilakukan. Tatkala ekonomi bangsa terbilang morat-marit, Presiden Soekarno membangun gedung ini, yang awalnya dibangun sebagai reaksi terhadap eksistensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang dinilai kurang berpihak kepada negara-negara berkembang. Presiden Soekarno kala itu mencoba menggagas tandingan PBB dengan membawa Indonesia sebagai kekuatan baru (new emerging forces). Dalam buku Gedung MPR/DPR RI Sejarah dan Perkembangannya (1995) disebutkan, untuk mendukung gagasannya, Soekarno, melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1965, membangun proyek political venues di Jakarta sebagai tempat Conference of New Emerging Forces (Conefo). Gedung ini akan dijadikan tempat konferensi internasional untuk menandingi PBB. Conefo memang batal seiring dengan peristiwa 30 September 1965. Namun, Soekarno mampu mengubah nilai pembangunan gedung yang tinggi tersebut menjadi nilai simbolis gedung yang dibanggakan hingga kini.

Saat ini, tatkala penolakan bertubi-tubi tertuju pada pembangunan gedung DPR, apakah para wakil rakyat mampu meyakinkan publik sebagaimana yang ditampilkan Soekarno dengan semangat perlawanan simbolis pada masa lalu? (YOHAN WAHYU/LITBANG KOMPAS)
Sumber: Kompas, 4 April 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan