Jajak Pendapat "KOMPAS"; Terlindung di Masa Paceklik Prestasi

Di tengah situasi kian memuncaknya ketidakpuasan publik terhadap kinerja berbagai lembaga maupun aparat negara saat ini, hadirnya sosok kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum sepenuhnya dapat dijadikan tumpuan. Paceklik prestasi pemerintahannya menjadi penyebab.

Kondisi semacam ini yang masih berlangsung hingga 18 bulan usia pemerintahannya. Setidaknya, melalui pencermatan berbagai survei opini publik yang dirangkum Kompas, belum tampak lonjakan apresiasi publik yang signifikan terhadap kinerja pemerintahan Yudhoyono.

Dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa—baik permasalahan di bidang perekonomian, politik dan keamanan, penegakan hukum, hingga persoalan-persoalan yang menyangkut kualitas kesejahteraan sosial masyarakat—bagian terbesar publik masih merasakan ketidakpuasan terhadap berbagai upaya yang dilakukan pemerintah saat ini.

Memang, apabila membandingkan dengan periode-periode penilaian publik sebelumnya, penilaian kali ini mulai menampakkan geliat. Periode penilaian sebelumnya, misalnya, secara konsisten menampakkan kondisi kian tergerusnya popularitas pemerintahan Yudhoyono.

Kurun waktu 15 bulan memerintah, apresiasi terhadap beberapa kinerja pemerintahannya bahkan anjlok hingga 20 persen. Penilaian kali ini memang tidak semakin memperparah situasi penurunan apresiasi yang terjadi di masa sebelumnya. Namun, sayangnya tidak pula mampu membalikkan situasi menjadi lebih baik. Dengan perkataan lain, stagnasi apresiasilah yang sebenarnya kini berlangsung.

Minim prestasi
Terdapat berbagai indikasi yang menunjukkan tetap rendahnya apresiasi publik. Jika ditelusuri, kinerja pemerintah di bidang upaya penegakan hukum dan perekonomian merupakan dua permasalahan yang paling dominan menjadi sorotan ketidakpuasan publik.

Di bidang penegakan hukum, nyaris tidak ada satu persoalan yang mampu memuaskan ekspektasi publik. Segenap upaya pemerintah dalam menangani kasus-kasus korupsi masih dipandang sebelah mata.

Sebanyak 81,4 persen menyatakan ketidakpuasan mereka. Demikian pula sekitar tiga perempat responden menyatakan ketidakpuasan yang sama terhadap upaya pemerintah dalam menjamin kepastian hukum di negeri ini. Tidak hanya itu, mayoritas responden pun mengungkapkan ketidakpuasan mereka terhadap upaya pemerintah dalam membenahi aparat penegak hukum dan ketertiban, seperti kepolisian hingga kejaksaan.

Penilaian-penilaian minor demikian tentu tidak lepas dari pengamatan publik selama ini terhadap kasus-kasus hukum yang terangkat wacana. Bertumpuknya persoalan hukum, kelambanan, ketidaktegasan, berputar-putarnya penyelesaian, hingga muatan ”tebang pilih” dalam penegakan hukum seolah menjadi ciri melekat pemerintah saat ini. Menjadi ironis tampaknya jika mengaitkan dengan tekad Presiden saat mengawali pemerintahannya yang akan ”berdiri paling depan” dalam penegakan hukum di negeri ini.

Lemahnya penegakan hukum semakin dirasakan kian mengkhawatirkan saat berimplikasi langsung terhadap keamanan masyarakat. Tampaknya situasi semacam inilah yang terjadi saat ini. Terbukti, sebagian besar responden menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap upaya pemerintah dalam memberikan rasa aman kepada masyarakat.

Penanganan kasus-kasus terorisme, termasuk pengeboman, sebagaimana yang muncul akhir-akhir ini menjadi salah satu pangkal kekhawatiran publik. Pencermatan terhadap beberapa hasil jajak pendapat menunjukkan, tampak benar penurunan kepuasan publik terhadap upaya pemerintah. Padahal, pada penilaian masa-masa sebelumnya justru permasalahan ini relatif dibanggakan publik.

Penilaian yang mirip tampak pula di bidang perekonomian. Persoalan ketersediaan dan harga kebutuhan pokok, misalnya, masih menjadi keluhan terbesar publik. Sangat mengkhawatirkan, sepanjang usia pemerintahan Yudhoyono ketersediaan dan harga kebutuhan pokok tampaknya tidak tergantikan, tetap menjadi problem utama perekonomian yang dikeluhkan setiap tiga dari empat responden survei ini. Padahal, dalam berbagai kesempatan, termasuk angka-angka pada tataran makroekonomi seperti laju inflasi, tetap menunjukkan kondisi yang relatif terjaga.

Di samping persoalan kebutuhan pokok, yang tampak mencolok adalah menguatnya ketidakpuasan terhadap upaya pemerintah dalam penyehatan perbankan. Ketidakpuasan publik tampak semakin wajar terkait dengan persoalan-persoalan yang menimpa nasabah bank belakangan ini. Adanya kasus penyalahgunaan dana nasabah maupun aksi penganiayaan nasabah dari bank yang dianggap terpercaya belakangan ini justru menorehkan kian besarnya gugatan publik terhadap peran yang dilakukan pemerintah selama ini dalam persoalan perlindungan publik sebagai nasabah perbankan.

Tumpuan publik

Masih rendahnya apresiasi publik terhadap kinerja pemerintah semakin menambah deretan kekecewaan publik selama ini terhadap berbagai kinerja lembaga negara. Betapa tidak, berbagai lembaga negara yang selama ini diharapkan mampu menjadi sosok pemecah kebuntuan permasalahan bangsa tidak juga terharapkan.

Lembaga DPR, misalnya, dengan perangkat tugas dan wewenangnya hingga kini tidak juga terharapkan mampu menjadi representasi rakyat di negeri ini. Berbagai hasil pengumpulan opini publik menunjukkan, apa yang menjadi agenda perhatian masyarakat tidak selalu identik dengan apa yang menjadi fokus perjuangan para anggota DPR. Yang terjadi kini malah sikap antipati publik terhadap berbagai sepak terjang DPR yang cenderung dinilai mementingkan kepentingan pribadi, kelompok, ketimbang kepentingan masyarakat.

Sebenarnya, di dalam situasi kekecewaan yang memuncak semacam ini, sangat beralasan jika publik mendambakan sosok lain sebagai tumpuan harapan mereka. Beralasan pula jika pemerintah, sebagaimana yang direpresentasikan oleh keberadaan sosok Presiden Yudhono, menjadi harapan publik. Terlebih, bagian terbesar masyarakat memilihnya secara langsung dalam dua kali penyelenggaraan pemilu, yang secara langsung mengindikasikan tingginya kepercayaan mereka terhadap sosok Yudhoyono. Namun, minimnya prestasi—sebagaimana yang diekspresikan bagian terbesar publik—seolah menyia-nyiakan momentum dalam meraih kepercayaan publik.

Berbagai kebijakan politik yang terkomunikasikan selama ini pun hanya menyiratkan pesan dan tindakan normatif, yang parahnya justru dinilai publik sebagai ketidaksigapan dan ketidakefektifan dalam menyelesaikan masalah.

Reaksi pemerintah yang sebenarnya sejalan dengan kehendak publik terhadap kontroversi rencana pembangunan gedung DPR, misalnya, menjadi kurang berarti saat para pimpinan DPR tetap bersikukuh melanjutkan kebijakan tersebut. Bisa jadi, penilaian yang mirip terjadi terkait dengan upaya pembebasan awak kapal Sinar Kudus yang hampir sebulan tersandera para perompak Somalia, tatkala ekspresi kelambanan dan ketidaktegasan terhadap upaya pemerintah mulai tersuarakan. Padahal, dalam berbagai kesempatan pemerintah mengklaim sudah secara intens mencermati dan mengambil langkah yang terbaik dalam penyelamatan warga yang tersandera.

Sekalipun tengah bergulat dalam berbagai persoalan dan pandangan minor publik, beruntung jika ekspektasi masyarakat masih tampak besar pada sosok kepemimpinannya. Modal semacam ini pula yang membedakan kepemimpinan Presiden Yudhoyono dibandingkan dengan kepemimpinan di masa sebelumnya.

Keyakinan publik, sekalipun masih tergolong lebih rendah daripada ekspektasi publik terhadap kepemimpinan Yudhoyono di periode pertama kepemimpinannya (2004-2009), saat ini tetap tergolong positif. Kemampuannya diyakini oleh lebih dari separuh responden. Keyakinan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah saat ini dalam menyelesaikan permasalahan hukum maupun perekonomian di negeri ini, misalnya, masih diyakini oleh sekitar 52 persen responden.

Hanya persoalannya, sebagaimana yang tersirat dalam survei ini, besar kecilnya ekspektasi publik sejalan pula dengan besar kecilnya pencapaian kinerja pemerintah. Pada batas tertentu, tidak selamanya ekspektasi menjadi benteng perlindungan. (Litbang Kompas-Oleh Bestian Nainggolan)
Sumber: Kompas, 18 April 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan