JAJAK PENDAPAT "KOMPAS": Mempertanyakan Banalitas Korupsi

Kini praktik korupsi tidak lagi sebatas sebagai tindakan kejahatan struktural, apalagi hanya pelanggaran moral. Lebih dari itu, meluas dan mendalamnya praktik ini telah menciptakan banalitas korupsi.

Tatkala kejahatan korupsi telah bersifat banal, itu sama artinya dengan menjadikan praktik ini sebagai hal lumrah, biasa, bahkan menjadi prinsip penggerak kehidupan sehari-hari. Dalam setiap bidang kehidupan, korupsi menjadi aturan, nilai, dan norma yang mengarahkan gerak manusia. Pandangan seperti ini cukup gampang kita temui dalam keseharian kita.

Seorang anak yang khawatir mendapatkan nilai buruk saat ulangan di sekolah, misalnya, memilih untuk menulis contekan daripada belajar giat. Kebiasaan ini kemudian menjadi kaidah bersama di kalangan peserta didik, sejak di sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Mengutip Tamrin Amal Tomagola (Kompas, 9/6/2008), terungkap bahwa praktik pembajakan karya ilmiah sudah terjadi sejak lama dan berlangsung di seluruh jenjang, mulai dari tingkat sarjana, magister, doktoral, dan profesoriat. Mulai dari mengganti nama makalah tutorial semesteran, mengutip tanpa menyebut sumbernya, hingga mendaku disertasi akademisi lain. Apabila di ranah politik berlaku corrupt political culture (budaya politik korup), maka di lingkungan pendidikan telah berlangsung corrupt academic culture (budaya akademik korup).

Tak hanya ranah pendidikan, perilaku koruptif juga menjamur di kalangan profesi seniman. Belakangan cukup marak pemberitaan tentang penjiplakan lagu oleh beberapa grup musik lokal dari kelompok-kelompok musik asing (Kompas, 26/4/2009). Lagu-lagu yang diduga hasil jiplakan tersebut laris manis terjual.

Praktik korupsi yang terjadi sehari-hari dan dialami oleh banyak orang tecermin pula dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 25-27 Agustus 2010. Hasil jajak pendapat ini memperlihatkan bahwa satu dari empat responden yang diwawancarai melalui telepon mengakui pernah mengalami, melihat, ataupun sekadar mendengar terjadinya tindak korupsi di sekitarnya, mulai dari lingkungan sekolah, pekerjaan, tempat tinggal, bahkan di kalangan keluarga sendiri.

Tak kurang dari 40 persen responden menyatakan pernah melihat perilaku korupsi di wilayah pendidikan. Sementara di lingkungan pekerjaan responden, terdapat 36,4 persen yang mengakui mengalami maupun sekadar mendengar adanya tindakan korupsi.

Bahkan, satu dari tiga responden berterus terang pernah memberikan uang ataupun barang di luar prosedur yang resmi ketika mereka berhubungan dengan aparat negara. Saat mereka harus mengurus berbagai surat—misalnya, mulai dari kartu tanda penduduk (KTP), surat-surat kendaraan, seperti surat izin mengemudi (SIM), bukti pemilikan kendaraan bermotor (BPKB), dan surat tilang; hingga segala sesuatu yang berkaitan dengan rumah dan tanah—uang suap menjadi kaidah pokok, entah diminta secara langsung atau tidak oleh aparat yang bersangkutan. Alasannya tak lain adalah agar urusan surat-surat tersebut bisa segera diselesaikan.

Birokrasi pungutan
Korupsi sebagai kaidah pokok kehidupan tumbuh subur di Indonesia pada masa rezim militer Orde Baru. Saat itu, mulai marak apa yang disebut sebagai patronase bisnis, yaitu pola bisnis yang terbentuk berdasarkan hubungan patron-klien. Pola ini memungkinkan para pejabat negara yang memiliki akses kekuasaan kepada sumber-sumber ekonomi menjadi patron dan membagikan akses bisnis kepada keluarga dan konco-konconya sebagai klien. Para pengusaha mengakses para birokrat untuk memperoleh proyek, kontrak, konsesi, hak monopoli, kredit, subsidi, ataupun pembuatan kebijakan (Suryadi A Rajab, 1999).

Patronase bisnis ini menciptakan sebuah lapisan birokrat yang tidak lagi hanya mengurusi politik, tetapi juga mengembangkan kepentingannya sendiri di dalam bisnis, menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan perusahaan-perusahaan negara untuk membiayai investasi mereka. Namun, perkembangan bisnis para birokrat ataupun pengusaha klien itu sangat bergantung pada posisi para pejabat negara. Akibatnya, jabatan politik menjadi ajang rebutan para birokrat.

Praktik koruptif dari patronase bisnis ini berkembang luas dan mendalam di jajaran birokrasi negara. Semua aspek pengurusan bisnis, mulai dari izin investasi hingga akses untuk distribusi komoditas, menjadi ajang tawar-menawar antara birokrat dan kelompok bisnis. Inilah yang kemudian berkembang membentuk yang disebut dengan birokrasi pungutan. Segala urusan yang berkaitan dengan birokrasi dikenai pungutan. Tak lagi terbatas pada perkara izin investasi, tetapi juga menyangkut urusan administrasi kependudukan dan sosial-budaya hingga level terendah. Lebih jauh, praktik birokrasi pungutan ini meluas kepada aparat yudikatif dan legislatif.

Gambaran buram ini disuarakan pula oleh para responden jajak pendapat ini. Dalam pandangan publik, tak ada satu pun lembaga atau institusi negara yang terbebas dari praktik korupsi. Mulai dari aparat penegak hukum, departemen-departemen pemerintah, pemerintah daerah, hingga DPR dan partai politik, semuanya telah terjangkit budaya korupsi. Bahkan, anggota Kabinet Indonesia Bersatu dinyatakan oleh sebagian besar responden (89,4 persen) tak pula terbebas dari tindakan korupsi.

Dari seluruh institusi negara tersebut, DPR menduduki posisi teratas yang dinilai publik sebagai paling korup. Urutan kedua dan ketiga berturut-turut diduduki oleh lembaga kepolisian dan institusi kejaksaan. Tiga institusi inilah yang selama ini menghiasi ruang media massa berkaitan dengan terungkapnya kasus-kasus korupsi para anggotanya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Banalitas korupsi secara jelas juga ditunjukkan oleh buruknya kinerja aparat penegak hukum. Seperti dinyatakan dalam jajak pendapat ini bahwa sebagian besar responden (berturut-turut 84 persen, 83 persen, dan 81,2 persen) tidak puas atas kinerja aparat kejaksaan, kehakiman, dan kepolisian. Alih-alih memberantas korupsi, mereka justru menjadikan perilaku korupsi sebagai kaidah, norma, dan modus kerja mereka. Kasus suap oleh pegawai pajak Gayus Tambunan kepada sejumlah petinggi kepolisian adalah contoh yang aktual.

Motif ekonomi
Lantas apa penyebab perilaku korupsi? Menurut sebagian besar responden jajak pendapat ini (45,3 persen), perilaku korupsi terutama didorong oleh motif-motif ekonomi, yaitu ingin memiliki banyak uang secara cepat dan etos kerja rendah. Responden lainnya menyebutkan tentang faktor rendahnya moral (17,3 persen), penegakan hukum lemah (8,8 persen), dan beberapa penyebab lainnya (28,6 persen).

Motif ekonomi yang mendorong perilaku korupsi sangat kentara pada peristiwa pemilihan umum kepala daerah (pilkada). Umumnya, para kandidat yang berupaya memenangkan kursi kepala daerah telah mengeluarkan dana miliaran rupiah. Tak mengherankan apabila si calon tersebut berpikir untuk mengganti uang tersebut jika memenangi pemilihan.

Dalam hal ini, tindakan korupsi menjadi prinsip penggerak kerjanya sebagai kepala daerah, mengumpulkan materi bagi diri dan kelompoknya sendiri dengan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya dan bukan bekerja untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Fenomena pilkada tersebut disadari oleh publik telah ikut serta menyuburkan korupsi di negeri ini. Seperti diungkapkan oleh tiga perempat responden jajak pendapat ini. Seluruh gambaran ini menjadikan pemberantasan korupsi yang berulang kali didengungkan para pejabat menjadi sekadar retorika usang yang tak bermakna. (Litbang Kompas-OLEH BI PURWANTARI)
Sumber: Kompas, 30 Agustus 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan