Izin Pemeriksaan Anggota Legislatif

Mahkamah Konstitusi, Selasa— (22/9), memutuskan keharusan adanya izin dari presiden apabila penegak hukum ingin melakukan pemeriksaan terhadap anggota DPR.
 
Putusan MK lahir setelah adanya permohonan pengujian Pasal 245 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pasal ini mengatur, pemanggilan dan permintaan keterangan oleh penyidik terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Dalam amar putusan, Hakim Konstitusi menyatakan, frasa ”persetujuan tertulis dari MKD” diubah menjadi frasa baru ”persetujuan tertulis dari presiden”.
 
Tidak saja anggota DPR, dalam putusannya MK juga menyatakan, untuk memeriksa anggota DPD dan MPR, penyidik harus dapat izin pemeriksaan dari presiden. Sementara izin pemeriksaan anggota DPRD provinsi harus dikeluarkan menteri dalam negeri dan izin pemeriksaan anggota DPRD kabupaten/kota dikeluarkan gubernur. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, adanya izin itu dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum memadai dan bersifat khusus bagi anggota legislatif dalam melaksanakan fungsi dan hak konstitusionalnya.
 
Enam hal
Terdapat sedikitnya enam hal yang penting dicermati setelah putusan MK tentang keharusan izin untuk memeriksa anggota legislatif yang tersangkut masalah hukum.Pertama, MK dapat dinilai tak konsisten karena bertentangan dengan putusan sebelumnya yang juga berkaitan dengan izin pemeriksaan. Pada 26 September 2012, MK membatalkan ketentuan yang mengharuskan adanya izin dari presiden untuk memeriksa kepala daerah.
 
MK menyatakan, sepanjang masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, penegak hukum dapat langsung memeriksa kepala daerah tanpa meminta izin presiden selaku kepala negara. MK juga beralasan, izin presiden pada tahap penyelidikan dan penyidikan berpotensi menghambat proses hukum dan secara tak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan. Persetujuan tertulis presiden untuk memeriksa kepala daerah dinilai tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup. Pasalnya, sebagai subyek hukum, kepala daerah pun harus mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum.
 
Kedua, berpotensi menghambat penegakan hukum, termasuk upaya pemberantasan korupsi yang melibatkan anggota legislatif. Pada praktiknya, anggota legislatif, baik di tingkat pusat maupun di daerah, merupakan salah satu pelaku korupsi yang banyak diproses oleh penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sepuluh tahun terakhir, terdapat sedikitnya 60 anggota DPR yang diproses secara hukum karena terlibat perkara korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri tahun 2014 menyebutkan, terdapat 3.169 anggota DPRD se-Indonesia yang tersangkut perkara korupsi selama kurun waktu 2004-2014.
 
Ketiga, keharusan adanya izin dari presiden akan menambah masalah birokrasi. Belajar dari pengalaman sebelumnya ketika penyidik harus mendapatkan izin dari presiden untuk memeriksa kepala daerah, prosesnya harus melalui birokrasi yang cukup panjang. Misalnya, penyidik kejaksaan negeri ingin memeriksa kepala daerah yang tersangkut korupsi. Prosesnya, permintaan izin tak bisa langsung diajukan oleh kejaksaan negeri kepada presiden, tetapi harus melalui tahapan, antara lain, melalui kejaksaan tinggi, Kejaksaan Agung, lalu ke Sekretariat Negara dan kemudian baru diterima presiden. Artinya, jika ada keharusan izin, butuh waktu cukup lama bagi penegak hukum untuk memeriksa seorang pejabat publik.
 
Akibat proses birokrasi yang rumit, dalam catatan ICW, pada 2011, penuntasan sedikitnya 30 perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah terhambat hanya karena menunggu persetujuan presiden.
 
Persoalan hukum baru
Keempat, berpotensi menimbulkan persoalan hukum baru. Putusan MK hanya menyatakan, pemeriksaan anggota legislatif harus seizin pihak eksekutif, tetapi menjadi persoalan apabila izin tertulis dari pihak eksekutif tak juga dikeluarkan meski sudah diajukan oleh penegak hukum. Muncul pertanyaan, apakah proses hukum terhadap anggota legislatif tetap dapat dilanjutkan ataukah harus dihentikan. Tidak juga disebutkan berapa lama pengajuan izin pemeriksaan harus segera diputuskan oleh pihak eksekutif. Hal ini berpotensi menimbulkan kemacetan ataupun intervensi terhadap penegakan hukum yang sedang berjalan.
 
Kelima, diskresi pemberian izin untuk pemeriksaan anggota Dewan akan sangat mungkin dipolitisasi atau disalahgunakan oleh pihak eksekutif. Secara tak langsung pihak eksekutif, yaitu presiden, mendagri, dan kepala daerah, yang berkuasa saat ini memiliki latar belakang kader parpol tertentu. Jika disalahgunakan, izin pemeriksaan anggota Dewan yang dianggap sebagai oposisi dari pihak eksekutif akan lebih cepat keluar jika dibandingkan anggota Dewan yang pro eksekutif yang berkuasa.
 
Keenam, tugas memberikan izin pemeriksaan kenyataannya akan menambah beban pihak eksekutif, dalam hal ini presiden, mendagri, dan gubernur. Padahal, tugas yang dimandatkan oleh konstitusi ataupun UU juga belum tentu sepenuhnya dapat terlaksana dengan baik, apalagi ditambah dengan tugas baru soal pemberian izin.
 
Lepas dari sejumlah polemik yang ada, putusan MK soal izin pemeriksaan anggota legislatif adalah sebuah realitas hukum yang harus dihadapi. Tak ada upaya hukum banding atas putusan itu karena, menurut hukum, putusan MK bersifat final dan mengikat.Selain mendorong revisi UU MD3, solusi sementara yang dapat dilakukan adalah Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan kebijakan dalam bentuk instruksi presiden untuk percepatan pemberian izin pemeriksaan terhadap anggota legislatif yang tersangkut masalah hukum. Jika dalam 30 hari belum keluar izin pemeriksaan dari pejabat yang berwenang, penegak hukum dapat langsung memproses anggota legislatif tersebut.
 
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja ICW
-------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Izin Pemeriksaan Anggota Legislatif".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan