Istri Bibit Samad Riyanto setelah sang Suami Jadi Tersangka Dugaan

bibidKalau Bapak Terima Suap, Mana Duitnya?

Ny Sugiharti kaget ketika diberi tahu bahwa suaminya, Bibit Samad Riyanto, ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap. Bebe­rapa tetangga juga menanyakan hal itu. Tapi, dia berusaha tegar karena yakin bahwa suaminya tak melakukannya.

ANGGIT S.-AGUNG P.I., Jakarta

BIBIT Samad Riyanto pensiun sebagai po­lisi pada 2000 dengan pangkat inspektur jen­deral (irjen). Dengan pangkat setinggi itu, mes­tinya dia bisa tinggal di perumahan elite.

Tapi, tidak demikian Bibit. Wakil Ketua Ko­misi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinonaktifkan karena tudingan kasus penyalah­gunaan kewenangan dan pemerasan tersebut ter­nyata hidup sederhana di perumahan biasa. Kediaman Bibit terletak di kampung Pedu­renan, belakang Perumahan Griya Kencana I, Ciledug, Tangerang.

Dari jalan raya, kampung itu tidak memiliki pintu masuk sendiri. Untuk mencapainya, ha­rus nebeng pintu masuk perumahan, kemudian melewati jalan sempit yang hanya cukup dilalui satu mobil.

Setelah itu, baru sampai di perkampungan pa­dat penduduk, tempat keluarga Bibit tinggal. Di depan rumah Bibit yang menghadap ke barat tersebut terdapat tanah kosong yang bia­sa dipakai warga untuk membakar sampah. Jadilah asap dan bau bakaran sampah familier dengan keluarga Bibit.

Di samping kanan rumah mantan Kapolda Kal­tim tersebut terdapat bekas kolam yang kini ditumbuhi rumput liar. Berimpitan de­ngan rumah itu, ada bangunan tak seberapa luas. Tempat tersebut dimanfaatkan untuk pe­nitipan gerobak PKL para tetangga yang ber­dagang makanan keliling.

Sebenarnya, rumah yang ditinggali Bibit se­jak 1992 tersebut cukup luas. Rumah itu ber­diri di atas lahan seluas 600 meter persegi. Ada halaman lumayan luas di depan rumah. Du­lu, halaman tersebut kerap dimanfaatkan para tetangga untuk berlatih musik keroncong.

Namun, seluruh bangunannya jauh dari kesan mewah. "Ya, gimana? Meskipun polisi, mam­pu belinya ya yang segini," kata Sugihar­ti kepada Jawa Pos di kediaman tersebut Sabtu lalu (17/10).

Tanah itu dibeli Bibit dari seorang anak buahnya seharga Rp 2 ribu per meter persegi pada 1989. Saat itu Bibit sudah menjadi perwira menengah.

Kendati terpencil, rumah tersebut cukup asri. Sejumlah tanaman dari jenis gelombang cinta dan jemani diletakkan di teras. Beberapa kursi tamu ditata memutari meja kecil. "Maaf, jangan duduk di situ. Kursinya jebol, belum diperbaiki," ujar wanita 59 tahun itu kepada Jawa Pos sebelum duduk di salah satu kursi di teras.

Sugiharti amat tak percaya ketika suaminya dituding terlibat dalam kasus hukum penyalahgunaan kewenangan yang berbumbu pemerasan terhadap dua orang, yakni Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo dan Joko S. Tjandra. "Sama sekali saya tak percaya de­ngan tuduhan itu. Sejak dulu, hidup kami se­perti ini," ucapnya. "Kalau benar, mana duitnya?" terangnya lantas tersenyum.

Dia menjelaskan, anak-anaknya selalu berkumpul di rumah tersebut setiap Bibit diperiksa di Mabes Polri. Mereka terus memotivasi sang bapak agar kuat menghadapi cobaan dari jabatan pimpinan KPK tersebut. Beberapa anaknya juga kerap menyerahkan sejumlah kliping koran yang memberitakan kasus ayahnya. Yang pasti, mereka terus memantau kasus yang menjadi polemik itu. "Kasusnya selalu saya pelototi dari running text televisi," tutur dia.

Titik -panggilan akrab Sugiharti- mengungkapkan, semua anaknya juga tak percaya dengan tudingan tersebut. Sebab, selama ini mereka terbiasa hidup sederhana. Meski sang ayah menyandang jabatan pimpinan penegak hukum paling garang (KPK), papar Sugiharti, anak-anak me­reka tidak semau gue. Mereka hidup seadanya. "Anak-anak saya kalau beli rumah juga nyicil."

Bagaimana para tetangga dan teman? Menurut Sugiharti, kasus yang membelit Bibit memancing para tetangga ikut bersuara. Dia menuturkan, beberapa tetangga bertanya, kemudian ikut mendukung Bibit. Mereka tak percaya jika Bibit benar-benar menerima duit suap seperti yang dituduhkan polisi selama ini.

Sugiharti kali pertama mendengar status tersangka dari Bibit. Ketika itu Bibit diperiksa di Mabes Polri. Kala ditetapkan sebagai tersangka, Bibit langsung mengirim SMS kepada Sugiharti. "Saya sekarang jadi tersangka," terang Sugiharti menirukan bunyi SMS tersebut.

Saat itu Sugiharti kaget. Tapi, dia tetap tidak percaya bahwa Bibit menerima dana Rp 1,5 miliar. Alasannya sederhana. "Lha, kalau ne­rima suap, mana duitnya?" tegasnya.

Salah seorang anaknya yang kini menjadi Kapolsek Pagedangan, Tangerang, AKP Bayu Suseno, berseloroh. "Hati-hati, Pak, kalau makan dan minum. Nanti jadi kayak Munir, lho," ujar Bibit menirukan perkataan anaknya itu.

Sugiharti lahir di Purworejo, Jawa Tengah. Sebelum dinikahi Bibit, wanita kalem tersebut kuliah di Akademi Keperawatan Depkes, Jakarta. Setelah lulus pada 1970-an, dia bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Jiwa Pusat Jakarta hingga pensiun. Ketika itu Bibit muda bertugas di Bagian Intel Polda Metro Jaya sebelum akhirnya masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 1977.

Dia memberi Bibit empat buah hati. Yakni, Yudi Prianto, Bayu, Endah Sintalaras, dan Rini Wulandari. "Itu yang hidup. Sebenarnya, ada empat lagi, tapi saya keguguran," ungkap dia. Semua anaknya kini sudah berkeluarga. Dua di antaranya meniti karir yang sama dengan bapaknya, menjadi polisi.

Bibit yang juga duduk di samping Sugiharti menimpali ucapan istrinya. "Istri saya itu wilteng. Dijawil langsung meteng (Disentuh langsung hamil, Red)," ujar pria asli Kediri tersebut lantas terbahak.

Menurut Sugiharti, sebelum tinggal di tempat tersebut, keluarga mereka tinggal di Perumah­an Cicurug Indah, tak jauh dari rumah sekarang. Rumahnya tipe 45. Tapi, karena berdiri di kawasan aliran sungai, perumahan itu sering kena banjir. "Dulu kami tinggal di sana. Kalau banjir, (genangan air, Red) bisa tiga meter," terangnya. Akhirnya, pada 1991 mereka memutuskan untuk pindah ke rumah sekarang.

Meski bersuami polisi, wanita berambut sebahu tersebut menuturkan memang harus betah bertahan hidup dengan gaji semata. Kesederhanaan itu memang ditunjukkan suaminya sejak menjadi perwira pertama. "Bapak itu polisi yang nggak pintar cari duit," kata dia lantas tersenyum. Bibit yang ikut mendam­pinginya pun tersenyum kecil.

Sejak awal, Sugiharti memang tidak berniat berhenti dari kerja. Maklum, gaji polisi memang tak seberapa. Sebagai istri Bibit, dia rela tinggal di mes polisi kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Meskipun perwira, Bibit dan keluarganya tak sungkan tinggal di kompleks bersama polisi berpangkat tamtama. "Kondisinya dulu menyedihkan. Lantainya disapu berkali-kali pun selalu berdebu," ungkapnya. Tapi, kesetiaannya sebagai istri Bibit sama sekali tak luntur.

Sebagai perwira pertama, saat itu Bibit memiliki banyak tanggungan. Di antaranya, dia harus membiayai banyak adiknya. Mulai adik kandung sampai adik-adik istrinya. Bibit muda adalah gantungan hidup keluarga.

Karena kurangnya penghasilan, Bibit tak hilang akal. Beberapa kali dia minta izin kepada istrinya untuk jadi sopir angkot setiap lepas dinas. Namun, keinginan tersebut tak pernah kesampaian. Untuk menambah pendapatan, dia ikut membantu menjadi petugas keamanan di salah satu hotel kecil di kawasan Kemayoran. "Itu dijalani bapak selama beberapa saat," ucap Sugiharti. Prinsipnya, yang penting halal. Saat kuliah di PTIK, Bibit rela mendapatkan tambahan uang sebagai penata arsip kepolisian. "Itu tadi, yang penting halal," tegas dia. De­ngan begitu, perlahan beban ekonomi keluarga terkurangi. Kesederhanaan itu pula yang melambungkan namanya hingga dinominasikan sebagai calon Kapolri di era Presiden Gus Dur.

Demikian juga setelah pensiun dari dinas kepolisian, Bibit tak ingin aktivitasnya berhenti begitu saja. Menurut Sugiharti, Bibit mengajar di sejumlah kampus. Di antaranya, Universitas Bina Nusantara, Universitas Negeri Jakarta, dan Universitas Indonesia. Dia mengajar manajemen, mulai jenjang S-1 hingga S-3.

Aktivitas Bibit makin banyak saat menjabat wakil ketua KPK. Sampai di rumah setelah beraktivitas seharian penuh, dia masih betah berlama-lama di depan komputer. "Dia langsung menulis buku," papar dia. Demikian halnya setelah kini nonaktif. Dia masih menyempatkan menulis buku, yakni Anatomi Korupsi di Indonesia. (nw)

Sumber: Jawa Pos, 21 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan