Ironi Penanganan Bank Century

DI tengah semakin jauhnya orientasi perbankan kita dari visi pemberdayaan ekonomi rakyat (kredit bagi usaha kecil dengan suku bunga rendah), pemerintah justru selalu bersikap protektif terhadap bank-bank yang pengelolaannya bermasalah. Kali ini, pola kesalahan dalam kasus penggelontoran dana BLBI ke bank-bank bermasalah pada 1998 diduga terjadi pula dalam upaya penyelamatan Bank Century.

Sebagaimana diberitakan, pemerintah lewat Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) "terpaksa" menyuntikkan dana (bailout) Rp 6,77 triliun ke Bank Century dengan dalih force majeure untuk menghindari dampak sistemis penyakit akut bank itu terhadap stabilitas perbankan nasional. Jadi, betapa "baiknya" sikap pemerintah terhadap pemilik bank bermasalah yang selama ini hanya mementingkan untung sebesar-besarnya ketimbang ikut program pengentasan kemiskinan dan membantu usaha kecil/menengah.

Menurut Mubyarto (2004), orientasi perbankan kita memang ironis. Di satu pihak, usaha-usaha kecil lari ke "rentenir" dengan membayar bunga tinggi. Tetapi, di pihak lain, kelompok masyarakat ekonomi kuat menyimpan uang mereka di bank dalam bentuk deposito dengan harapan menerima bunga "menarik". Para pelepas uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi. Sebaliknya, kelompok usaha kecil dan mene­ngah harus membayar bunga tinggi kepada masyarakat ekonomi kuat tersebut.

Itulah karakter kegiatan perbankan dalam sistem ekonomi individualis-liberal yang jelas tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.

Dugaan Penyimpangan

Suntikan dana ke Bank Century seha­rusnya mengikuti prinsip-prinsip pemberian kredit dalam dunia perbankan, terutama prinsip kehati-hatian. Jika prinsip itu tidak dijalankan oleh LPS, pemberian bailout tersebut patut dicurigai sebagai tindakan yang berindikasi korupsi.

Aneh, UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mewajibkan semua bank berhati-hati dalam memberikan pinjaman. Namun, LPS malah tidak hati-hati dalam memberikan bailout ke Bank Century. LPS seharusnya sejak awal menerapkan the five C's of credit analysis terhadap Bank Century sebagai debitor yang membutuhkan dana tala­ngan. Artinya, LPS harus meneliti character (kejujuran pemilik bank), collateral (jaminan utang bank), capital (modal bank), capacity (kemampuan mengelola bank), dan condition of economy sebelum bailout diberikan.

Sayang, prinsip itu rupanya tidak diterapkan oleh LPS. Padahal, dalam proses hukum Bank Century, pemilik Bank Century Robert Tantular dan beberapa pejabat Bank Century di Surabaya telah ditetapkan sebagai terdakwa atas tuduhan penggelapan dana nasabah. Bahkan, manajemen Bank Century telah terlibat dalam memasarkan produk reksadana PT Antaboga Delta Sekuritas (ADS), yang jelas-jelas dilarang dalam pasal 10 UU Perbankan tentang batasan jenis-jenis usaha yang boleh dilakukan oleh bank.

Artinya, dari segi the five C's of credit analysis, Bank Century sebenarnya tidak layak sama sekali mendapatkan dana talangan dari LPS. Tetapi, LPS justru mengucurkan dana sampai Rp 6,77 triliun ke bank itu. Ironis, bukan? Akibatnya, menurut anggota Komisi XI DPR Dradjad Wibowo, penyelamatan Bank Century malah berpotensi merugikan negara Rp 4,5 triliun hingga Rp 5 triliun pada 2011, saat LPS melepas kepemilikannya (Jawa Pos, 30/8).

Belajar dari kasus BLBI 1998, LPS seharusnya justru lebih hati-hati dalam memberikan bantuan ke bank bermasalah saat krisis. Alasan pemerintah memberikan bailout agar penyakit Bank Century bisa berdampak sistemis terhadap perbankan nasional sebenarnya tidak cukup kuat. Publik hanya menuntut kejujuran pemerintah tentang bank yang bermasalah dan yang tidak atau bank yang patut ditalangi dan yang tidak patut.

Karena itu, jika bailout sebesar triliunan rupiah tersebut ternyata tidak kembali ke negara, kasus tersebut tidak bisa lagi hanya dilihat dari aspek utang piutang antara LPS dengan Bank Centruty. Patut diduga pemberian suntikan ke Bank Century berindikasi korupsi (criminal act by contract). Pertanyaannya, ke mana saja larinya dana bailout itu?

Kemungkinan pertama, pejabat LPS ceroboh dalam bertindak sehingga dimanfaatkan oleh pejabat bank bermasalah yang terafiliasi dengan kekuatan politik tertentu. Kedua, pejabat LPS dan pejabat bank bermasalah serta kekuatan politik tertentu ikut bersekongkol mengemplang dana bailout.

Pengambilan uang negara dengan memperalat tindakan pemerintahan (pejabat LPS) untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain maupun suatu korporasi adalah tindak pidana korupsi (vide pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Apalagi tindakan itu dilakukan saat negara mengalami krisis, sang pelaku bisa dihukum mati (pasal 2 ayat 2).

Tindakan hukum perdata oleh pejabat pemerintah yang dapat berindikasi korupsi memang tidak dirumuskan secara spesifik dalam UU Pemberantasan Korupsi. Namun, korupsi yang timbul dari hubungan perdata (penyediaan dana talangan) tetap bisa dirunut melalui penye­lidikan, apakah ada unsur penipuan terhadap negara atau tidak, menyang­kut objek bantuan atau bailout yang sesuai dengan perjanjian.

Pelaku bisa saja pejabat negara (ambtenaar) yang membuat perjanjian utang-piutang (bailout) dan individu-individu (persoon) dari badan hukum swasta yang menerima dana talangan (bank). Lalu, si objek kriminal ialah dana talangan tersebut. KPK bertugas menyelidikinya.

Augustinus Simanjuntak, dosen Fakultas Ekonomi UK Petra, Surabaya

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 31 Agustus 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan