Ironi Kemiskinan di Tengah Korupsi

Odaria (32), perempuan berwajah pucat itu, duduk lesu di lantai semen yang keropos. Tatapan murungnya seakan menyatu dengan perabotan yang reyot: lemari usang, sepotong terpal lusuh, dan baliho kampanye pemilihan umum kepala daerah yang dicantolkan begitu saja di langit-langit.

Saya baru selesai operasi usus buntu di Kota Palu. Untung ada Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Jadinya gratis.” Suara lirih perempuan tersebut tenggelam di tengah hujan yang mengguyur Desa Uwe Manje, Kecamatan Kinovaro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, akhir Februari lalu.

Anak lelaki Odaria, Maxin, duduk menunggui ibunya. Dahulu dia tinggal dan disekolahkan nenek. Saat neneknya meninggal, bocah itu terpaksa putus sekolah, hanya sampai kelas III SMP. Penghasilan keluarga ini memang minim.

Suami Odaria, Iwan Mathius (29), sedang bekerja di tromol, tempat penambangan emas di Poboya, Palu. Maxin terkadang ikut membantu sebagai buruh angkut. Tetapi, pendapatan keduanya masih belum cukup memenuhi kebutuhan.

”Setiap hari kami makan nasi dengan lauk sayur. Tiga kali sebulan, kami beli tiga ekor ikan,” paparnya, sambil berusaha tersenyum.

Kesengsaraan Odaria mewakili kisah ribuan keluarga miskin di Kabupaten Sigi, daerah hasil pemekaran dari Kabupaten Donggala tahun 2008. Ini adalah salah satu lumbung kemiskinan di Sulteng. Dari sekitar 208.000 jiwa penduduknya, sekitar 40 persennya atau sekitar 83.000 jiwa termasuk miskin.

”Kemiskinan itu menyebar di sejumlah kecamatan. Ini menjadi tantangan kami sebagai kabupaten baru,” kata Wakil Bupati Sigi Livingstone Sango.

Kemiskinan juga mewarnai Kabupaten Poso, wilayah yang pernah dirundung konflik berlatar belakang agama pada tahun 1998-2007. Hingga kini sebagian dari ribuan pengungsi kerusuhan itu masih belum mempunyai pekerjaan yang jelas. Padahal, saat kekacauan tersebut rumah mereka ludes terbakar, sementara ladang rusak akibat ditinggal lari.

”Kami bertahan dengan kerja apa saja. Kadang di ladang, kadang melaut,” kata Samsul (47), warga Desa Tiwaa, Kecamatan Poso Pesisir.

Di kabupaten lain, kemiskinan juga jadi masalah utama. Di Kabupaten Morowali, misalnya, sekitar 40.000 jiwa dari sekitar 210.000 jiwa penduduk juga tergolong miskin. Ditambah kemiskinan di sejumlah daerah lain, Sulteng menjadi provinsi dengan angka kemiskinan tinggi. Sekitar 500.000 warga atau 18 persen dari total 2,8 juta penduduknya terhitung miskin.

Seperti di wilayah lain di Nusantara, kemiskinan itu berakar dari minimnya lapangan pekerjaan dengan penghasilan layak. Banyak penduduk yang menganggur, setengah menganggur, atau bekerja serabutan. Dengan bekal pendidikan yang rendah, mereka sulit menciptakan peluang kerja mandiri.

Sebagian penduduk Sulteng mengandalkan ladang kakao, cengkeh, atau padi. Namun, tanpa dukungan teknologi pertanian yang memadai, produksi pertanian itu tidak stabil. Apalagi, sebagian ladang berada di wilayah terpencil dengan infrastruktur jalan yang buruk. Transportasi untuk menjual hasil panen yang mahal akhirnya menipiskan keuntungan petani.

Sebagian penduduk di pantai bekerja melaut. Sayangnya, hasil tangkapan ikannya belum besar karena bergantung pada peralatan tradisional. Industri modern pengolahan ikan tidak berkembang. Para nelayan nyaris tidak memperoleh nilai tambah, selain ikan mentah saja.

Korupsi
Fenomena kemiskinan itu menjadi ironi di tengah maraknya kasus korupsi di Sulteng. Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat (PBHR) Sulteng mencatat, ada 40 kasus korupsi di Sulteng selama tahun 2007. Jumlah itu meningkat menjadi 97 kasus pada tahun 2008 dan kemudian menjadi 87 kasus pada 2009.

Perkara yang rata-rata ditangani Kepolisian Daerah Sulteng dan Kejaksaan Tinggi Sulteng itu menggerogoti APBD provinsi atau kabupaten. Modusnya beragam, seperti penyimpangan anggaran, penggelembungan anggaran (mark up), penggelapan, penyunatan, manipulasi, suap, penyalahgunaan wewenang, proyek akal-akalan, sampai dengan kegiatan fiktif.

Ironisnya lagi, sebagian terdakwa korupsi itu divonis bebas. Beberapa memang hanya diganjar hukuman ringan. Banyak pula kasus yang terkatung-katung.

Ambil contoh, dugaan korupsi penyaluran dana pemulihan (recovery) pascakonflik Rp 58 miliar di Kabupaten Poso tahun 2007. Ditangani Kejati Sulteng sejak tahun 2008, hingga kini hanya ada seorang tersangka.

Ada lagi dugaan korupsi pajak penerangan jalan di Kota Palu dan kasus dugaan korupsi reklamasi pantai di Kabupaten Morowali senilai Rp 2 miliar. Sudah dua tahun ditangani kasusnya belum dilimpahkan ke pengadilan. Begitu pula dugaan korupsi dana Pilkada Donggala tahun 2008 dengan kerugian negara Rp 16,7 miliar.

Kasus lain, dugaan korupsi dana Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Sulteng, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Sulteng, dan pembangunan gedung Dharma Wanita Sulteng. Berkas perkaranya masih bolak-balik dari Polda ke Kejati Sulteng.

”Ketika masuk ke polisi, kejaksaan, atau pengadilan, kasus korupsi itu justru seperti dimainkan. Jika dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau masuk ke Mahkamah Agung di Jakarta, kasusnya sulit diikuti perkembangannya,” kata Direktur PBHR Sulteng Muhammad Masykur.

Memprihatinkan
Kondisi ini memprihatinkan. Bayangkan saja, dana miliaran rupiah yang semestinya disalurkan untuk pembangunan ”lenyap” begitu saja. Tersangkanya justru pejabat pemerintah daerah yang semestinya bertanggung jawab mengurus rakyat.

Jika saja dana APBD provinsi, kabupaten, atau kota itu tidak dikorupsi dan benar-benar disalurkan bagi program kesejahteraan rakyat, tentu masalah kemiskinan di provinsi ini berangsur bisa tertangani. Setidaknya infrastruktur ekonomi sudah berkembang lebih baik.

”Sayangnya, setiap tahun tidak ada catatan penggunaan APBD yang beres. Pemerintah daerah di Sulteng seperti beternak gurita korupsi,” tambah Muhammad Masykur.

Gurita itu sulit dikendalikan karena penegakan hukum lemah. Seperti halnya di daerah lain dan di pemerintah pusat, korupsi telanjur menjelma bak kanker yang menjalari tubuh berbagai lembaga penegak hukum. Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan kerap menjadi bagian dari masalah korupsi itu ketimbang menjadi alat pemberantasnya.

Idealnya, masyarakat sipil, katakanlah seperti lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, atau kelompok lain, tampil sebagai kekuatan kritis. Namun, kelas menengah itu ternyata tak berdaya. Praktik mafia hukum juga berlangsung di daerah dengan ditopang unsur-unsur kekuasaan lokal yang saling melindungi.

Jika tak segera diatasi dengan langkah-langkah radikal, korupsi bakal terus menghantui Sulteng. Anggaran pembangunan tidak sampai ke tangan rakyat dan kemiskinan akan tetap bercokol, bahkan direproduksi lagi. Oleh karena itu, jangan heran, jika kisah kehidupan Odaria atau keluarga miskin lain akan terus terdengar. [Oleh ILHAM KHOIRI danRENY SRI AYU]
Sumber: Kompas, 7 Maret 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan