Ironi Dana Serap Aspirasi

Setelah publik diberi hadiah berita menarik, berupa dicopotnya anggota DPR bernama Aziddin dari Partai Demokrat karena rekomendasi Badan Kehormatan (BK), berita kurang sedap muncul. Kali ini berupa pemberian jatah dana serap aspirasi (DSA) Rp 43,2 juta per masa reses atau Rp 186 juta per tahun.

Kritik tajam segera bermunculan. Berbagai kalangan pemantau parlemen mempertanyakan dasar keputusan dan konteks pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut. Selama ini, mereka getol menyorot kinerja anggota dewan, termasuk tingkah laku mereka saat masa reses terjadi. Menurut berbagai pengamatan yang mereka lakukan, masa reses tidak sepenuhnya dipakai untuk menyerap aspirasi konstituen, tetapi untuk urusan-urusan lain.

Di internal DPR sendiri terdapat pendapat beragam. Ada yang bereaksi biasa-biasa saja terhadap keputusan itu, bahkan senang walau masih mengeluh: kurang. Alasannya, bila diasumsikan setiap anggota DPR akan betul-betul memiliki program dan kegiatan nyata selama masa reses tersebut, maka dana sebesar itu masih tergolong cupet.

Ada pula yang mengatakan tidak sepakat dengan adanya jatah DSA itu, dengan alasan yang lebih prinsipiil. Mereka merasa belum perlu dan tak ada alasan kuat untuk menerimanya sebagai sebuah hak. Tetapi, kelihatannya, fenomena kebanyakan, adalah mereka yang bersikap mempersoalkan dana tersebut, tetapi tetap diterima juga.

Alasan mereka menerima bukan lagi prinsipiil, tetapi telah berubah menjadi yang lebih teknis: bingung bagaimana nanti mempertanggungjawabkannya secara formal. Mereka menuntut adanya mekanisme pertanggungjawaban penggunaan DSA itu untuk mengantisipasi kalau saja kelak mereka dikenai sanksi oleh Badan Kehormatan (BK) DPR.

Kritik Publik
Alasan utama publik memprotes keras setiap adanya keputusan untuk menaikkan gaji atau tunjangan-tunjangan DPR adalah karena terganggunya rasa keadilan. Secara komparatif, rakyat yang mereka wakili pada hari-hari ini masih dibebani berbagai persoalan hidup yang memberatkan. Pengangguran, kemiskinan, dan bencana alam yang bertubi-tubi membuat beban hidup rakyat makin susah.

Karena itu, sungguh ironis dilihat dari segi tata krama sosial dan hati nurani, apabila di tengah-tengah situasi demikian, para wakil rakyat terkesan membutakan diri dan mempertontonkan diri sebagai wakil rakyat yang makin hari makin meningkat privilege-nya. Mereka sepakat menaikkan berbagai macam tunjangan, memperbesar gaji, dan menerima gaji ke-13. Logikanya, seolah-olah mereka lebih menderita ketimbang jutaan rakyat yang diwakilinya. Wajar kalau rakyat mengumpat.

Disadari bahwa para anggota DPR sendiri juga punya sejumlah kebutuhan. Dalam banyak kesempatan, mereka membela diri. Mereka kerap masih mengeluh, bagaimana seorang anggota DPR dapat bekerja secara profesional kalau gaji, tunjangan-tunjangan, dan aneka fasilitas yang ada ternyata tidak cukup?

Mereka juga meminta publik memahami bahwa kinerja wakil rakyat itu berat, tetapi dukungan finansialnya terbatas, setidaknya apabila dibandingkan dengan anggota-anggota dewan di beberapa negara lain.

Pengeluaran setiap anggota dewan dapat tidak terbatas, kiranya, bila mereka betul-betul mau profesional dan berjiwa sosial. Secara profesional, mereka idealnya punya tenaga-tenaga ahli yang jumlahnya bisa mencapai lima hingga sepuluh orang dengan honorarium tinggi. Dia juga butuh informan dan networker, baik di pusat maupun daerah, yang pastinya tidak dapat bekerja kalau tanpa insentif.

Belum lagi beban-beban sosial lain. Setiap anggota dewan di hampir semua partai harus rela gajinya dipotong untuk kepentingan-kepentingan partai. Dia juga menerima beragam permintaan sumbangan baik dari partai, ormas-ormas, maupun perorangan. Dus, dihitung dari segi pengeluaran, tak jarang banyak anggota dewan mengeluh. Gaji dan tunjangan yang mereka peroleh masih kurang layak. Apalagi apabila mereka tergolong anggota dewan yang kurang lincah.

Tidak Tepat Momentum
Alasan tidak memenuhi rasa keadilan di atas adalah alasan prinsipiil. Sementara itu, alasan susah mekanisme pertanggungjawaban DSA merupakan alasan teknis. Walaupun teknis, itu tetap penting juga dan dapat ditarik ke wilayah prinsipiil. Bahwa akuntabilitas wakil rakyat, bagaimanapun, tidaklah sekadar akuntabilitas formalistis, kapan dia menerima uang dan kapan pula melaporkan penggunaannya. Tetapi, itu terkait erat dengan prinsip amanah.

Dalam konteks akuntabilitas, siapa yang dapat memantau penggunaannya? Baik BK DPR, kalangan masyarakat pemantau parlemen, media massa, maupun Badan Pengawasan Keuangan (BPK) bisa ambil bagian. Namun, mereka tetap memiliki sejumlah keterbatasan, apalagi mekanisme pertanggungjawabannya belum jelas. Ditambah pula bahwa kenyataannya, tradisi akuntabilitas politik kita memang masih lemah.

Survei Masyarakat Transparansi Internasional (MTI) beberapa waktu lalu mencatat bahwa partai-partai politik, khususnya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, merupakan lembaga yang terkorup dibanding lembaga-lembaga lain. Kesannya, selama ini, para elite politik sengaja mempertahankan sistem yang telah terbangun karena lebih menguntungkan. Dengan demikian, pemasukan dana partai berjalan lancar tanpa terkontrol. Kelihatannya, hal demikian sudah menjadi rahasia umum.

Akhirnya, pemberian DSA terhadap para anggota dewan belum tepat momentum. Ironis kalau dipaksakan juga. Rakyat akan mengapresiasi positif terhadap setiap anggota DPR, yang dengan segala keterbatasan yang ada, dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Wallahu a

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan