Irawady Divonis 8 Tahun

Hebat, kata istri Irawady.

Hebat, kata istri Irawady.

Irawady Joenoes divonis delapan tahun penjara. Komisioner nonaktif Komisi Yudisial itu dinyatakan terbukti melakukan korupsi karena menerima uang sebagai gratifikasi dalam pengadaan tanah untuk kantor Komisi Yudisial.

Fakta itu didukung beberapa saksi, terdakwa Freddy Santoso, dan keterangan terdakwa sendiri, ujar ketua majelis hakim Masrurdin Chaniago membacakan putusan di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi kemarin. Unsur menerima hadiah terpenuhi.

Selain memvonis delapan tahun, hakim Masrurdin mewajibkan Irawady membayar denda Rp 400 juta atau hukuman pengganti enam bulan penjara. Vonis ini lebih berat dua tahun dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Pada 22 Februari, jaksa menuntut Irawady enam tahun penjara.

Irawady ditangkap pada 26 September 2007 di Jalan Panglima Polim Raya 31 dengan barang bukti uang Rp 600 juta dan US$ 30 ribu. Uang itu berasal dari Direktur PT Persada Sembada Freddy Santoso sebagai fee (komisi) setelah tanah Freddy di Jalan Kramat Raya 57, Jakarta Pusat, dibeli oleh Komisi Yudisial untuk kantor barunya.

Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan terdakwa Irawady menerima uang yang berkaitan dengan jabatannya sebagai anggota Komisi Yudisial. Terdakwa mengetahui yang dilakukannya itu bertentangan dengan sumpah jabatan, ujar Edward Patinasarani, anggota majelis hakim.

Irawady dalam pembelaannya menyatakan tindakan yang dilakukan adalah sebagai agen provokator untuk mengetahui apakah ada permainan dalam pengadaan tanah kantor Komisi Yudisial. Dia juga menyatakan tidak menyesali perbuatannya. Sebab, tindakannya berdasarkan surat tugas Ketua Komisi Yudisial Nomor 37/GAS/P.KY/IX/2007 soal pengawasan dan penertiban di lingkungan Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial.

Namun, menurut hakim, tindakan itu bukan kewenangannya sebagai anggota Komisi Yudisial. Tindakan sebagai agen provokator, kata hakim, hanya bisa dilakukan penyidik. Kewenangan dalam surat tugas tidak memungkinkan terdakwa melakukan tindakan itu, ujarnya.

Keputusan itu langsung disambung Irawady dengan mengajukan banding. Menurut dia, tindakannya sebagai agen provokator berdasarkan surat tugas yang diterimanya sebagai supervisor. Saya merasa benar, ujarnya.

Ruang sidang selama putusan dibacakan dipenuhi pendukung Irawady. Setelah Irawady menyatakan mengajukan banding, istri Irawady langsung berteriak dengan nada sinis, Hebat. Ia tampak kecewa dengan putusan hakim.

Seusai sidang, Firman Wijaya, pengacara Irawady, mengatakan bahwa putusan hakim mengedepankan kekuasaan daripada keadilan. Hakim kontradiksi dalam putusannya, ujarnya. Firman menilai seharusnya yang membuat surat tugas juga bertanggung jawab. PURBORINI | SUKMA

Sumber: Koran Tempo, 15 Maret 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan