Investigasi Publik Atas Kejahatan Korupsi

BASMILAH korupsi, maka Anda bisa menekan pengangguran. Semakin kecil angka pengangguran, semakin mudah untuk mengendalikan situasi sosial. Begitu barangkali jalan pikiran Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Sekurang-kurangnya dalam perkiraan saya.

Kini, mereka telah berkuasa dan ke mana pun pergi janji itu akan mengikutinya. Dengan asumsi total populasi Indonesia sebanyak 220 juta jiwa, mereka sedapat-dapatnya harus mengentaskan 11 juta pencari kerja. Bukan perkara sederhana. Pekerjaan baru hanya bisa tersedia kalau perekonomian mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan hanya bisa terjadi jika aktivitas investasi berkembang. Aktivitas investasi bisa berkembang kalau ada aliran dana investasi dari luar mengingat investor dalam negeri sedang lesu.

Usaha untuk mengundang investor luar, juga sama peliknya. Mereka hanya akan datang kalau Indonesia dianggap kompetitif untuk kegiatan investasi. Dan ukuran kompetitif antara lain dinyatakan dengan indeks country risk. Celakanya, indeks beginian tak kunjung membaik, terutama sejak krisis ekonomi berlangsung. Di luar stabilitas politik yang rapuh dan rendahnya sumber daya manusia, gawatnya kejahatan korupsi dianggap sebagai penghambat terbesar perbaikan indeks tadi. Terakhir, laporan Transparency International 2004 mengungkapkan, Indonesia sekarang berada di urutan kelima klasemen negara terkorup di dunia.

Apapun motivasi Yudhoyono-Kalla, perang terhadap korupsi bukan hal yang jauh benar dari garis kepentingan publik. Siapa misalkan yang tak ingin mengurusi KTP, STNK , sertifikat tanah, kredit usaha, uang sekolah, dan sebagainya dengan cepat dan biaya sesuai aturan.

Itu dalam skala kecil. Dalam skala yang lebih besar, ancaman terhadap kepentingan publik juga sering terasa, meski tak serta-merta. Taruhlah korupsi di lembaga keuangan, dengan jumlah sekian miliar, bahkan triliunan, praktis bisa mengganggu stabilitas keuangan negara.

Korban pertama dari korupsi, struktural atau kultural, selalu publik. Bukan pembesar negara atau elite pengusaha. Inilah barangkali alasan terkuat, betapa perang terhadap korupsi seharusnya menjadi perang total, yang menghadapkan poros pelaku KKN vs rakyat Indonesia dan sekutunya. Mungkin konteks ini pula yang memantik lahirnya lembaga-lembaga independen pemantau korupsi, mulai Indonesian Corruption Watch (ICW), Transparency International, Masyarakat Pemantau Aset-aset Negara (MAPAN), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), hingga yang baru saja berdiri, Indonesia Procurement Watch (IPW).

Lembaga-lembaga milik publik semacam itu diperlukan mengingat sumber utama epidemi dan endemi korupsi justru terletak pada sistem kekuasaan. Power tends to corrupt, kekuasaan cenderung bertindak korup. Lembaga-lembaga independen itu bisa menjadi pemantau yang efisien bagi kantong-kantong korupsi, tanpa perlu kuatir dengan ungkapan jeruk makan jeruk --suatu ungkapan yang bisa saja muncul saat, umpamanya saja, polisi baik menyelidiki polisi buruk, atau politisi jujur menyelidiki politisi busuk.

**

MEDIA sebagai institusi publik terpenting yang paling maju di Indonesia --sekurang-kurangnya menurut peneliti Anneli Strom Leijel dalam The New Press Law in Indonesia (2002)-- keterlaluan sekali kalau tak mengambil bagian di garis depan dalam perang total itu.

Orang tahu, media punya segalanya. Sumber daya manusia yang terbiasa mengungkap kasus-kasus kejahatan, modal operasi yang dikontribusi pembaca dan pemasang iklan, dan tentu saja undang-undang yang menjamin kebebasan pers untuk mendapatkan informasi. Dengan segenap sumber daya yang dimilikinya, media akan memberi tambahan tenaga bagi publik untuk melakukan aktivitas investigasi dalam mengungkap kasus-kasus korupsi.

Soal reputasi, tak perlu khawatir. Jauh sebelum lembaga-lembaga pemantau korupsi dilahirkan, media sudah duluan berada di garis depan. Sejarah jurnalisme modern memperlihatkan dengan jelas penyelidikan atas kasus-kasus korupsi sedikitnya telah dilakukan secara konsisten oleh majalah McClure's sejak awal abad ke-20. Puncak reputasi, ketika Ida Tarbell, wartawan di majalah itu, menemukan indikasi politik uang dalam tubuh raksasa bisnis Amerika milik industriawan John D. Rockefeller, Standar Oil Company.

Penyelidikan itu melambungkan nama Ida Tarbell, yang belakangan dianggap sebagai peletak dasar muckraking journalism --sebuah terminologi untuk aktivitas jurnalisme pembongkar korupsi dan ponakan-ponakannya sejak kolusi, manipulasi, dan kejahatan kerah putih yang berhubungan dengan uang lainnya.

Di Indonesia, investigasi media atas kasus-kasus korupsi juga dimulai dari dunia perminyakan. Wartawan generasi tua barangkali masih ingat betul bagaimana Indonesia Raya membongkar habis-habisan kasus korupsi di Pertamina, pada paruh akhir 1960-an hingga awal tahun 1970-an. Muckraking journalism yang dipraktikkan Indonesia Raya secara konsisten, dianggap sebagian kalangan sebagai embrio lahirnya jurnalisme investigatif di Indonesia, sebagaimana McClure's yang mendorong lahirnya konsep jurnalisme investigasi modern di dunia.

Konsep jurnalisme investigatif modern sendiri berkembang hampir berbarengan dengan tuntasnya kerja investigasi Indonesia Raya. Konsep itu berkembang, nun jauh di seberang benua, yang ditandai oleh usaha Washington Post dalam membongkar politik busuk yang dijalankan Richard Nixon saat mencalonkan kembali sebagai presiden Amerika, pada Juni 1972.

Pada tahap awal, Washington Post memulai kerja investigasi dengan menyusuri aliran uang dari dan ke luar kas Partai Republik, tempat Nixon bernaung. Dari sana, muncul ungkapan Ben Bradlee --redaktur eksekutif koran tersebut, setara dengan jabatan pemimpin redaksi di banyak suratkabar Indonesia-- yang kelak menjadi kredo utama dalam investigasi atas kejahatan korupsi: Follow the money.

Keberhasilan the Post dalam membongkar kecurangan politik Nixon, implisit di dalamnya politik uang, bukan saja membawa the Post ke puncak kejayaan, tetapi juga menempatkan Bob Woodward dan Carl Bernstein --duet investigator dalam kasus tersebut-- sebagai selebritas dari genre baru. Genre yang sama sekali berbeda dari dunia Hollywood dan Broadway. Popularitas mereka, meminjam kata-kata wartawan terkemuka Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, mendefinisi ulang citra profesi ini.

**

SALAH satu kekhawatiran saya dalam aktivitas investigasi oleh media adalah tiadanya perlindungan yang sungguh-sungguh kuat bagi media untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam melakukan penyelidikan, sebagaimana dimiliki oleh negara-negara demokratis lain. Amerika umpamanya, tanpa Undang-Undang Pers sekalipun, media di sana memiliki kekuatan yang dapat memaksa institusi mana pun untuk mengeluarkan dokumen-dokumen terkait. Ini lantaran media punya payung hukum yang jauh lebih meneduhkan: Undang-Undang Kebebasan Informasi (Freedom of Information Act).

Melalui undang-undang tersebut, media dimungkinkan dapat melakukan penyingkapan penuh (full disclosure) atas kasus-kasus yang diduga akan merugikan publik. Anda tahu kasus The New York Times ketika menyelidiki seluk-beluk Pentagon Papers, sebuah bendel dokumen berisikan 47 volume hasil analisis kebijakan politik tentang keterlibatan Amerika di Vietnam.

Media tersebut bukan saja terhindar dari tuduhan telah membocorkan rahasia negara dan dianggap membahayakan departemen pertahanan Amerika, tetapi bahkan memaksa pemerintah Amerika untuk mengeluarkan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan kasus tersebut. Putusan pengadilan distrik New York untuk menghentikan publikasi the Times atas kasus tersebut bisa dikatakan gagal total, sebab dianggap melanggar konstitusi yang lebih tinggi, Amandemen Pertama. Sebagaimana diketahui, amandemen tersebut adalah fondasi utama Undang-Undang Kebebasan Informasi itu, yang sangat ketat dalam melindungi kebebasan berbicara dan kebebasan pers di sana.

Kabar paling hangat datang dari Inggris, awal Desember 2004 ini. Surat kabar prestius The Guardian berhasil memaksa para petinggi Alvis, sebuah pabrik pembuat tank di Coventry, untuk mengeluarkan dokumen mengenai skandal pembelian tank Scorpion oleh Indonesia dari Inggris. Skandal ini bermula dari kampanye yang dilakukan beberapa organisasi hak-hak asasi manusia, antara lain Tapol di London, yang menuding tank-tank yang dibeli Indonesia digunakan untuk tindakan-tindakan represif di berbagai wilayah, termasuk Timor Timur (Timor Leste, sekarang) dan Aceh. Fokus pemberitaan The Guardian adalah upaya pengungkapan terhadap sinyalemen kolusi di antara beberapa jenderal di Inggris dengan keluarga Soeharto.

Undang-Undang Kebebasan Informasi tak hanya melindungi media dari represi pihak-pihak yang hendak menyembunyikan kejahatan, tetapi juga punya kesanggupan untuk melindungi warga seumumnya dari kebingungan akan suatu informasi.

Secara teoretis, aktivitas investigasi publik di negara-negara demokratis yang memiliki undang-undang semacam itu cenderung lebih maju. Konstitusi ini bahkan menjadi sandaran terpenting bagi organisasi investigasi publik terkemuka saat ini, Investigative Reporters and Editors, untuk meminta dokumen-dokumen yang diperlukan kepada semua pihak yang sedang jadi objek investigasinya. Mereka sadar sepenuhnya, dokumen adalah nyawa dari sebuah laporan investigasi.

Di Indonesia, kebutuhan akan konstitusi seperti itu dirasakan makin mendesak karena satu dan lain hal. Di luar kebutuhan untuk memerangi korupsi, Undang-Undang Kebebasan Informasi niscaya akan jadi sandaran krusial buat media dan institusi publik lainnya dari implikasi Undang-Undang Intelijen dan Undang-Undang Rahasia Negara, yang kini sedang digodok rancangannya. Dalam banyak kasus di berbagai negara, kedua konstitusi tersebut sering jadi entry barrier bagi para investigator untuk bekerja secara optimal.

Perang total melawan korupsi, perlu konstitusi total yang membebaskan publik untuk mengembangkan improvisasinya. Tanpa itu, ibaratnya Anda berperang dengan tangan terbelenggu melawan raksasa Rahwana. Kemungkinan menang ada, dengan catatan Anda harus lebih sakti dari Sri Rama.(Agus Sopian, anggota badan pendiri Yayasan Pantau,Jakarta, pernah mengikuti Seapa Advance Course on Investigative Reporting di Kuala Lumpur)

Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 27 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan