Intel Juga Manusia

Hari ini dua tahun lalu, 7 September 2004, seorang aktivis hak-hak asasi manusia, Munir SH, tewas di atas pesawat Garuda Indonesia yang membawanya terbang dari Jakarta ke Amsterdam via Singapura. Sebagai seorang sahabat yang mengetahui keadaan kesehatannya, penulis mengira bahwa kepergian almarhum disebabkan oleh penyakitnya.

Betapa terkejut kami, kawan-kawan almarhum, ketika mengetahui bahwa kematian Munir tidaklah alamiah. Ia diracun dengan arsen oleh sindikat pembunuh yang diduga melibatkan beberapa individu di dalam Badan Intelijen Negara (BIN).

Munir hanyalah satu contoh dari banyak kasus tindakan brutal agen-agen intelijen negara kita. Peneroran, penganiayaan, penculikan, penangkapan, dan pembunuhan merupakan contoh tindakan yang dulu lazim dilakukan personel intelijen negara. Namun, praktik-praktik Intelijen Hitam masa Orde Baru ternyata masih terus berlangsung di era reformasi ini.

Gambaran buruk di atas menunjukkan bahwa keamanan negara (state security) tidaklah identik atau bahkan bertentangan dengan keamanan insani (human security) warga negara. Padahal, seharusnya keamanan negara juga mencakup keselamatan dan keamanan insani seluruh warga negara. Keamanan negara tidaklah mungkin dihasilkan dengan cara-cara menciptakan rasa takut warga negara.

Bagi sebagian kalangan masyarakat sipil, kini berlaku semboyan Intel Juga Manusia, karena itu bisa direformasi! Jika main bola atau merokok aja ada aturannya, mengapa intelijen enggak? Tak heran jika Simpul Aliansi Nasional untuk Demokratisasi Intelijen (SANDI), yang difasilitasi oleh Pacivis Universitas Indonesia, telah menerbitkan seri buku mengenai reformasi intelijen negara. Hingga kini telah lima buku yang diterbitkan, salah satunya didedikasikan khusus Untuk Cak Munir berjudul Negara, Intel dan Ketakutan, yang terbit pada Agustus 2006.

Kita butuh kerangka kerja demokratik bagi intelijen negara yang diatur dalam undang-undang. Masyarakat sipil juga harus memiliki perhatian agar aparat atau agen intelijen negara kita tidak lagi menjadi intelijen hitam yang menakutkan dan sewenang-wenang. Pengawasan atasnya merupakan suatu keniscayaan.

Pengawasan terhadap intelijen
Kita tentunya ingin agar intelijen negara kita dapat bekerja dengan baik. Namun, pada saat yang sama kita juga tidak ingin melihat intelijen negara kita melakukan tindakan sewenang-wenang atau bekerja di luar yang seharusnya mereka lakukan. Ini menunjukkan betapa pentingnya pengawasan terhadap institusi intelijen negara dilakukan.

Lalu, apa saja yang harus diawasi dari kinerja intelijen negara kita?

Pada tahap awal, ketika RUU Intelijen Negara masih digodok di BIN, kita harus mengawasi apakah misi utama dari BIN hanya sebatas memberi payung hukum bagi pengembangan kapasitas internal dinas-dinas intelijen negara, atau untuk membentuk kerangka kerja demokratik bagi intelijen negara. Dua hal tersebut tentunya amat berbeda. Jika misi utama BIN yang lebih mengemuka, ini berarti berbagai institusi intelijen negara tersebut hanya membutuhkan payung hukum untuk melakukan tugas-tugasnya dengan mengesampingkan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM), demokrasi, dan kebebasan sipil atau kebebasan individu warga negara.

Dengan kata lain, BIN dan institusi intelijen negara lainnya hanya ingin agar segala tindak-tanduknya sesuai dengan aturan hukum yang mereka rancang sendiri. Kalaupun ada tiga dari 48 pasal RUU Intelijen versi Mei 2006 yang berkaitan dengan kerangka kerja demokratik, yaitu Pasal 14, Pasal 42, dan Pasal 43, itu hanya bunga-bunga untuk memperindah RUU tersebut. Bukan mustahil dalam pelaksanaannya di lapangan, tindakan-tindakan buruk di masa lalu akan terulang.

Terkait dengan itu, apakah demi mencegah terjadinya pendadakan strategis, intelijen negara perlu diberi kewenangan khusus untuk melakukan penangkapan, seperti pada Pasal 12 RUU Intelijen Negara? Apakah intelijen negara dapat masuk ke ranah penegakan hukum yang seharusnya dimiliki oleh Kepolisian Negara RI (Polri) dan kejaksaan?

Dari RUU tersebut ada suatu kemajuan, khususnya dari segi anggaran bahwa anggaran intelijen negara didapat sepenuhnya dari APBN. Namun, kita juga patut bertanya, apakah anggaran khusus untuk intelijen negara itu dari APBN ataukah juga masih dapat meminta anggaran dari APBD atau anggaran sampingan lain dari negara? Ini patut dikemukakan karena kita tahu bahwa ada dualisme kegiatan intelijen negara di daerah, yaitu kegiatan cabang-cabang BIN dan unsur intelijen lain di daerah dan pembentukan Kominda (Komite Intelijen Daerah).

Bentuk-bentuk pengawasan lain ialah pengawasan internal, pengawasan yudikatif, eksekutif, dan legislatif. Pengawasan internal perlu dilakukan agar personel intelijen negara sesuai dengan hakikat, fungsi, asas, tugas dan wewenangnya. Mereka harus bersikap imparsial (tidak memihak dan tidak berpolitik) dan tentunya tidak dapat menugasi dirinya sendiri (self-tasking). Artinya, jangan sampai ada personel intelijen yang karena kepentingan ideologi atau politiknya bertindak sendiri-sendiri atau bertindak sesuai dengan kepentingan politik partai yang sedang berkuasa. Intelijen juga tidak dapat menugasi dirinya sendiri tanpa ada perintah yang jelas dari atasannya atau negara.

Dalam melakukan tugasnya, personel atau institusi intelijen sering kali melakukan tindakan yang bertentangan dengan kebebasan sipil atau individu, seperti melakukan penggeledahan rumah, penyadapan telepon, atau pencarian informasi mengenai jati diri seseorang. Dalam hal- hal yang bersifat sensitif tersebut, perlu adanya warrant atau surat persetujuan dari Kejaksaan Agung. Ini untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh aparat intelijen negara demi kepentingan pribadi atau institusinya.

Tindakan pendadakan
Pertanyaan pokok lain yang amat mendasar ialah apakah intelijen negara, demi keselamatan negara, dapat melakukan tindakan pendadakan untuk membunuh atau menjatuhkan Presiden jika ia dianggap melakukan tindakan yang merugikan negara? Pertanyaan amat menggelitik ini penulis kemukakan karena di AS pun muncul analisis bukan Lee Harvey Oswald yang menembak Presiden John F Kennedy di Dallas pada 1963, melainkan agen CIA.

Pengawasan legislatif terhadap intelijen negara dapat dilakukan oleh Sub-Komisi Intelijen pada Komisi I DPR dan Komisi Anggaran DPR. Secara khusus pembentukan Sub-Komisi Intelijen memang suatu keniscayaan agar Dewan dapat memonitor dan mengevaluasi kinerja intelijen negara secara intens dan berkesinambungan. Mengapa subkomisi ini hanya terdiri atas sedikit anggota yang disumpah. Karena, kita tahu masalah intelijen negara terkait dengan masalah kerahasiaan negara. Komisi Anggaran DPR juga dapat melakukan fungsi pengawasan melalui pengkajian atas anggaran yang diajukan dan/atau digunakan oleh badan-badan intelijen negara.

Kita sebagai warga negara dapat juga melakukan fungsi pengawasan dengan cara mengkaji anggaran, proses kerja, dan hasil kerja intelijen agar intelijen negara kita dapat menjadi bagian dari sistem keamanan negara yang andal dan bekerja sesuai dengan kerangka kerja demokratik yang kita idam-idamkan.

Ikrar Nusa Bhakti Peneliti LIPI dan Anggota Tim Perumus RUU Intelijen Negara Versi Masyarakat Sipil.

Tulisan ini disalin dari Kompas, 7 September 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan