Integritas Pejabat dan Transfer Duit Tommy
If men were angles, no government would be necessary. If angles were to govern men, neither external nor internal controls on government would be necessary. (James Madison, Federalist Paper 51, 1787)
Integritas penyelenggara negara adalah tonggak pemerintah yang bersih. James Madison dalam nukilan di atas mengingatkan orang akan pentingnya pengawasan integritas pamong negeri. Karena pamong bukan malaikat, standar integritas perlu ditegakkan. Segala langkah dan perilaku pejabat juga harus diawasi publik.
Prinsip inilah yang kini tengah diuji di negeri Garuda kita ini. Sejauh mana pejabat atau penyelenggara negara kita telah terbukti bersih? Kabinet Indonesia Bersatu tak kunjung sepi akan skandal integritas. Belum tuntas ingar-bingar kasus pengadaan peralatan untuk identifikasi sidik jari otomatis--yang melibatkan Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra--orang yang sama kembali tersangkut skandal transfer dana dari rekening milik Tommy Soeharto.
Tak hanya Menteri-Sekretaris Negara, tapi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Menteri Pertahanan juga terseret kasus yang sama. Sebelum berkomentar bagaimana seharusnya menegakkan integritas pejabat, mari (sekali lagi) kita becermin pada negara tetangga, Australia, yang tengah menghadapi masalah serupa.
Pertanggungjawaban publik
Di Negeri Kanguru, para politikus dari Partai Liberal yang berkuasa ataupun Partai Buruh oposisi sedang terbelit skandal Burke. Beberapa anggota parlemen dan menteri dikabarkan bertemu dengan Brian Burke, mantan premier (setara dengan gubernur) Negara Bagian Australia Barat (Western Australia/WA). Burke adalah orang paling berpengaruh di kawasan Pantai Barat, tapi juga dipenjara karena terbukti korupsi beberapa tahun lampau.
Burke, yang belakangan dipecat dari keanggotaannya di Partai Buruh, dijatuhi hukuman penjara pada 1994 atas penyalahgunaan anggaran perjalanan, dan tiga tahun kemudian, dia kembali dipenjara atas pencurian donasi dana kampanye. Keluar dari penjara, Burke bersama Julian Grill (mantan menteri transportasi di era Burke) mendirikan konsultan lobi di negara bagian WA, dan menawarkan jasa lobi untuk memperlancar kepentingan bisnis dengan pemerintah daerah.
Konon, perusahaan Burke menjadi sangat berpengaruh dalam pergaulan politik di WA. Toh, karena jasa lobi ini berkonotasi negatif, Gubernur Geoff Gallop (Partai Buruh) dan penggantinya, Gubernur Alan Carpenter (Partai Buruh), melarang semua anggota Partai Buruh, termasuk para anggota parlemen dari partai itu, serta pegawai pemerintah Negara Bagian WA berinteraksi dengan Burke dan Grill dalam bentuk apa pun. Kebijakan ini untuk mengurangi jejaring pengaruhnya terhadap kebijakan pemerintah daerah serta meminimalkan selingkuh kepentingan (The Age, 3 Maret 2007).
Belakangan terungkap bahwa sejumlah pejabat dan politikus melanggar larangan itu. Tak ayal, Premier Alan Carpenter langsung memecat dua orang menteri Negara Bagian WA, yang ketahuan berhubungan dengan Burke dan Grill. Crime and Corruption Commission menyadap percakapan telepon Menteri Lingkungan Tony McRae dengan Grill, yang sedang melakukan deal di bawah tangan. Investigasi itu membuktikan McRae mempergunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Menteri Local Government John Bowler ketahuan membocorkan dokumen rahasia kepada Grill, yang menggunakannya sebagai alat melobi kepentingan perusahaan-perusahaan tambang.
Skandal ini bahkan juga melilit calon penantang Perdana Menteri John Howard untuk pemilihan umum mendatang, Kevin Rudd, pemimpin oposisi dari Partai Buruh. Ia mengaku bertemu dengan Burke tiga kali pada 2005. Tak pelak pertemuan itu dicurigai bertalian dengan upaya mencari dukungan sebagai pemimpin oposisi federal (The Age, 4 Maret 2007). Perdana Menteri Howard dan Menteri Keuangan Peter Costello tak mengenal ampun, langsung mengkritik motivasi terselubung dari pertemuan Rudd dengan Burke. Akibatnya, kans Rudd memenangi pemilu menjadi tak menentu. Integritasnya pun dipertanyakan publik.
Pemerintah Howard ternyata tak luput dari skandal Burke. Menteri Human Services Senator Ian Campbell akhirnya mundur dari jabatannya. Ia mengaku tak sengaja bertemu dengan Burke sewaktu menjabat Menteri Lingkungan Federal dalam pembahasan isu kesejahteraan bagi penduduk asli (indigenous welfare). Campbell memilih mengundurkan diri demi menyelamatkan integritas pemerintah Howard di mata publik, sebelum pemilu menjelang.
Nyatanya, skandal ini terus mengoyak kabinet Howard. Menteri kehakiman yang baru dilantik, Senator David Johnston, ternyata politikus yang terlilit jaringan Burke. Johnston memiliki saham di dua perusahaan pertambangan: Murchison Metal dan Croesus Mining, yang menggunakan jasa Burke sebagai pelobi. Johston mencoba berkelit menyelamatkan karier politiknya. Meski duduk sebagai pemegang saham, dia mengaku tak tahu Burke dibayar oleh kedua perusahaannya. Tapi Johston tampaknya sulit bertahan karena situasi politik kian memanas.
Katebelece
Mari kembali ke ranah negeri sendiri. Skandal fasilitasi yang diberikan Kementerian Hukum dan Perundangan (kini Hukum dan HAM) kepada terpidana Tommy Soeharto juga merembet ke Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono--yang ketika pemrosesan transfer dana simpanan Tommy di BNP Paribas, London, menjabat duta besar. Majalah Tempo memberitakan seorang pejabat tinggi negara sekaliber Yusril Ihza Mahendra, sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan, memberikan katebelece sebagai jaminan uang halal kepada BNP Paribas demi memperlancar transfer dana bagi Tommy? Padahal sebelumnya Tommy selalu gagal melakukan transfer, meski menggunakan jasa pihak ketiga, karena pihak bank meragukan keabsahan dana yang tersimpan di rekening itu. Apalagi Tommy tengah diadili dalam kasus dugaan korupsi tukar guling Goro.
Sungguh aneh, suatu institusi pemerintah menjadi penjamin sekaligus memberikan rekening guna menerima transfer tersebut. Atas motivasi apa Departemen Hukum dan Perundang-undangan kala itu berubah menjadi biro jasa atas transaksi keuangan pribadi Tommy yang tidak ada kaitannya dengan tugas kenegaraan?
Dahsyatnya, Departemen Hukum bahkan mengutus pejabatnya untuk mengurus hingga ke London. Juwono Sudarsono, kini Menteri Pertahanan, seperti dikutip Detik.com, membenarkan bahwa kedutaan besar juga membantu memfasilitasi urusan sang pejabat. Dana US$ 10 juta kemudian meluncur ke rekening Departemen Hukum dan HAM semasa Menteri Hamid Awaludin.
Skandal ini tak hanya menggambarkan diskriminasi hukum terhadap seseorang secara gamblang, tapi juga memperlihatkan penggunaan kekuasaan dan institusi negara untuk kepentingan pribadi. Skandal ini hanya miniatur dari praktek penyalahgunaan kekuasaan dan betapa institusi publik begitu rentan terhadap intervensi kepentingan, sekalipun pihak yang diistimewakan sedang dalam status terpidana.
Baik Menteri-Sekretaris Negara, Menteri Hukum dan HAM, maupun Menteri Pertahanan harus menjelaskan secara tuntas dan terbuka keterlibatan mereka dalam proses transfer duit milik Tommy. Presiden juga perlu bertindak tegas terhadap ketiga pembantunya itu karena cacat integritas yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap integritas pemerintah secara keseluruhan. Relakah Presiden mengabaikan kepercayaan publik yang pernah memilihnya?
Di Australia, para politikus dan pejabat secara sadar menjunjung tinggi integritas institusi yang diembannya dengan jalan mengundurkan diri dan mengambil langkah tegas dengan pemecatan pejabat busuk. Di Jepang, tak asing lagi para pejabat menempuh jalan seppuku (mengakhiri hidup) dengan mundur dari jabatannya demi pertanggungjawaban moral. Lantas apakah memang semua pejabat di Indonesia adalah malaikat--tak bisa berdosa, kebal pengawasan publik, dan bebas dari segala pertanggungjawaban?
Luky Djani, PENELITI INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 16 Maret 2007