Integritas KPK Tangani Korupsi di Sektor Tambang Dipertanyakan

Sektor pertambangan telah lama menjadi ladang utama praktik korupsi di Indonesia. Potensi korupsi di sektor ini, menurut penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW) mencapai ratusan triliun rupiah.

Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW, Firdaus Ilyas, mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus secara ketat mengawasi sektor ini, sebab, potensi korupsinya sangat besar dan berdampak luas pada publik. Firdaus menjelaskan, potensi korupsi terjadi akibat ketertutupan sistem perijinan, penerimaan royalti negara dan pajak yang besar, serta rancunya kerangka kebijakan pengelolaan energi ekstraktif. Sayangnya, hingga saat ini KPK belum banyak 'berbicara' di sektor industri ekstraktif. KPK juga tidak memenuhi undangan ICW untuk hadir dalam diskusi hari ini.

"Kami mempertanyakan komitmen KPK dalam menangani korupsi di sektor ekstraksi ini," ujar peneliti Monitoring Anggaran Publik ICW, Firdaus Ilyas, dalam diskusi di sekretariat ICW, Kamis (16/12).

KPK, kata Firdaus, dapat memulai dengan menginvestigasi kecurangan pengelola industri pertambangan dalam membayarkan royalti. Catatan ICW, ditemukan kekurangan penerimaan negara di sektor Mineral dan Batubara senilai Rp 30,651 triliun selama kurun waktu 2001-2008. Kekurangan itu terdiri dari kekurangan royalti batubara senilai Rp 18,417 triliun dan mineral lainnya (emas,perak,tembaga,nikel dan timah) senilai Rp 12,233 triliun.

Potensi korupsi lain yang harus diselidiki, penerimaan negara dari recovery cost yang harus dibayarkan oleh perusahaan tambang. "Dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, inevesiensi recovery cost menyebabkan kerugian negara senilai Rp 40 triliun selama periode 2005 hingga 2007," ujar Firdaus.

Sementara, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Hendrik Siregar menyoroti dampak buruk usaha ekstraksi di bidang lingkungan dan masyarakat. Hendrik menyebut, terjadi ketimpangan sosial di area usaha pertambangan yang menyebabkan pemiskinan penduduk setempat. "Di sumber ekstraksi, biasanya justru terdapat kantong-kantong kemiskinan," ujar Hendrik.

Penyebab kemiskinan itu, karena perusahaan tambang umumnya mengabaikan unsur masyarakat dalam pemanfaatan hasil ekstraksi. "Perusahaan juga cenderung mengabaikan lingkungan, dengan membiarkan limbah dan bekas area tambang tak terurus," pungkas Hendrik. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan