Integritas Keuangan Calon Legislator

Proses verifikasi administratif yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum terhadap daftar calon anggota legislatif dari partai politik akan segera berakhir. Sayangnya, di ujung tahapan penting ini, kepentingan publik terkait dengan soal integritas masih belum benar terpuaskan. Integritas keuangan salah satu di antaranya. Hal ini sangatlah mengkhawatirkan. Buruknya integritas keuangan calon legislator berarti ancaman bagi akuntabilitas keuangan politik, termasuk dana kampanye pemilu. Di kemudian hari, hal ini juga dapat berekor korupsi.

Dalam bingkai democratic governance, kredibilitas dari seleksi internal partai politik terhadap calon wakil rakyat ikut menentukan keberhasilan pemilu dan kualitas demokrasi. Pemilu, yang secara substansial adalah tahapan perguliran kursi-kursi kekuasaan, sangatlah memerlukan calon-calon yang kredibel, yang dapat mendorong representasi, dan menjunjung nilai-nilai integritas tanpa potensi pengkhianatan kepada publik. Di titik inilah, soal transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan hukum para calon diuji. Dalam konteks integritas keuangan, para calon seharusnya bebas dari catatan kriminal. Pernah menjadi tersangka kasus korupsi misalnya. Atau pernah terbukti mengumpulkan harta dari sumber yang tidak jelas dengan cara melanggar hukum. Salah satu syarat integritas yang penting adalah pelaporan kekayaan calon kepada publik.

Integritas rendah

Rendahnya komitmen partai politik dan lemahnya aturan persyaratan calon legislator adalah faktor utama yang membuat daftar calon kali ini memiliki nilai integritas yang rendah. Di bawah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, partai politik memang diberi kewenangan yang besar dan otonom dalam menentukan rekrutmen calon. Prakteknya, proses rekrutmen di tingkat partai politik dilakukan secara tertutup, elitis, dan nyaris tanpa ruang partisipasi publik. Jangankan orang luar partai, kader sekelas anggota parlemen aktif saja tidak memiliki akses atas proses ini.

Proses yang sedemikian oligarkis dan tertutup dapat memunculkan politik dagang sapi. Bukan hal aneh jika para calon ramai membicarakan nomor jadi dan daftar tunggu berdasarkan nilai sumbangan yang harus diberikan. Otonomi kewenangan di dalam undang-undang ternyata bukanlah solusi untuk memandirikan partai politik dalam menata pengkaderan internal. Hal ini justru berbuah penguatan oligarki yang sebelumnya memang telah bersifat laten. Pertanyaannya, bagaimana bisa mendorong persoalan integritas finansial jika masalah "setoran" masih dominan di dalam proses seleksi internal oleh partai politik?

Kondisi partai politik yang oligarkis dan tertutup memunculkan fenomena ketidakpercayaan atas daftar calon legislator yang dihasilkan. Antusiasme dari perubahan sistem pemilihan yang menjadi sedemikian terbuka dan langsung seakan menjadi tidak berarti sama sekali. Ibarat warung yang menyuguhkan dagangan tanpa label layak konsumsi atau kedaluwarsa, dapat dipastikan sepi dari pembeli.

Persyaratan lemah

Selain karena faktor lemahnya komitmen partai politik, nilai integritas yang rendah disebabkan oleh lemahnya persyaratan integritas keuangan yang diatur di dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif (UU Nomor 10 Tahun 2008). Pasal 50 undang-undang ini mengatur sangat minimalis persyaratan calon anggota DPR/DPRD, terutama terkait dengan integritas keuangan. Dari 16 persyaratan yang ada (Pasal 50 ayat 1 poin a sampai p) yang menyangkut integritas keuangan hanyalah dua persyaratan, yaitu poin l dan m tentang rangkap jabatan profesional dan rangkap jabatan pada posisi publik.

Persyaratan kandidat seperti disebut di atas menunjukkan kemunduran jika dibandingkan dengan persyaratan yang terdapat dalam Undang-Undang Pemilu Legislatif sebelumnya (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003). Selain memuat persyaratan terkait dengan rangkap jabatan, Pasal 68 undang-undang ini mengatur keharusan menyerahkan bukti pendaftaran laporan kekayaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (ayat 1 poin e), yaitu dalam bentuk fotokopi tanda bukti penyerahan daftar kekayaan yang dimiliki setiap calon dari instansi yang berwenang kepada KPU.

Penyerahan daftar kekayaan sebagai calon pejabat publik seharusnya bukan barang tabu. Dalam semangat mendorong pemerintahan yang bersih, calon pejabat publik seharusnya tidak perlu risi untuk buka-bukaan terkait dengan kekayaannya. Dengan pelaporan kekayaan, kandidat bisa membuktikan kepada publik bahwa kekayaan yang bersangkutan didapatkan secara wajar dari aktivitas ekonomi yang tidak melanggar hukum. Menjalankan komitmen ini juga sebenarnya dapat menjadi wujud kesediaan kandidat untuk nantinya patuh terhadap kewajiban penyelenggara negara sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pasal 6 ayat 3 undang-undang ini menyebutkan bahwa salah satu kewajiban penyelenggara negara adalah melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan setelah menjabat.

Meretas dilema

Tingginya harapan publik akan pentingnya pemenuhan persyaratan integritas seharusnya terbaca dengan terang oleh Komisi Pemilihan Umum. Kewenangan membuat regulasi untuk setiap tahapan pemilu seharusnya juga berfungsi menambal kekurangan di dalam Undang-Undang Pemilu. Mempersyaratkan laporan kekayaan untuk daftar calon legislator masih dapat dilakukan lewat keputusan KPU. Sekadar bersikap normatif dapat mengancam pemenuhan kualitas pemilu secara substansial.

Inisiatif mendorong integritas finansial seharusnya juga disambut oleh partai politik dan kandidat. Di tengah kondisi ketidakpercayaan yang rendah, partai politik yang memulai inisiatif mendorong kewajiban menyertakan laporan kekayaan sebagai aturan internal akan mendapatkan citra positif di mata pemilih dan dapat mendongkrak suara partai di dalam pemilu. Bagi kandidat, kondisi ini juga dapat digunakan sebagai media kampanye dan alat kompetisi yang ampuh. Inisiatif untuk secara sukarela transparan soal kekayaan tentu akan menjadi sarana memikat publik pemilih di daerah pemilihan masing-masing. Tentu ini hanya dapat dilakukan oleh kandidat yang merasa kekayaannya wajar dan bersih.

Ibrahim Fahmy Badoh;  Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 30 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan