Integritas Calon Pimpinan KPK

"Devil is in the details". Kejahatan, termasuk korupsi, selalu dikaitkan dengan hal-hal detail dan teknis dalam melakukannya. Konsekuensinya, orang yang ingin mengungkap kejahatan korupsi perlu memiliki indera yang kuat dalam mendeteksi setiap elemen tersembunyi yang ada pada hal yang detail dan teknis itu.
 
Akan tetapi, korupsi bukan hanya melulu bergelut dengan detail dan teknis. Sebab, redup atau perkembangbiakan korupsi sangat bergantung pada sistem besar yang berlaku di sebuah negara, baik itu sistem politik, hukum, ekonomi, maupun sosial yang saling berinteraksi satu dengan yang lain.
 
Membongkar kejahatan korupsi dengan senjata kemampuan teknis dan mencari siasat/cara/solusi agar korupsi bisa ditekan dengan pemahaman yang kuat atas fenomena kekuasaan yang bekerja adalah kombinasi ideal yang semestinya dimiliki setiap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Seandainya salah satu dari dua hal itu absen, KPK bisa saja terjebak pada rutinitas dalam mengungkap kasus korupsi baru tanpa ada visi besar untuk membangun sistem yang lebih imun terhadap korupsi. Atau sebaliknya, memiliki mimpi besar pemberantasan korupsi, tetapi tidak dibarengi dengan kinerja penanganan kasus korupsi yang memuaskan.
 
Apakah dengan demikian Panitia Seleksi (Pansel) KPK perlu mencari manusia setengah dewa agar mereka yang terpilih di kemudian hari dapat menjalankan mandat UU KPK dengan efektif danefisien? Yang pasti, di alam nyata, manusia setengah dewa tidak pernah ada sehingga Pansel KPK tidak perlu bersusah payah menemukannya.
 
Para mantan pimpinan KPK dan pimpinan KPK yang kini masih menjabat tidak ada satu pun yang disebut manusia setengah dewa. Mereka hanya memiliki satu kelebihan, di luar dua hal yang sudah disinggung di atas, yakni integritas. Sikap yang konsisten untuk tidak terbujuk, terintimidasi, dan menggadaikan penanganan kasus korupsi dengan kekuasaan mana pun, terlepas dari kadar judgment publik yang berbeda-beda antara satu pimpinan dan yang lain. Juga terlepas dari tingkat sterilitas mantan pimpinan dan pimpinan KPK dari kekuasaan politik yang tengah memegang kendali.
 
Integritas pimpinan KPK
Integritas calon pimpinan KPK menjadi syarat yang mahapenting karena kelahiran KPK sendiri, salah satunya, berangkat dari sebuah penilaian politik bahwa lembaga penegak hukum lain yang selama ini ditugasi memberantas korupsi mengalami disfungsi. Meskipun tidak secara terang-terangan disebutkan bahwa ada masalah yang berkaitan dengan integritas penegak hukum, arah terbentuknya KPK adalah membangun institusi penegak hukum yang memiliki integritas kelembagaan dan personal yang tinggi serta bebas dari intervensi cabang kekuasaan mana pun.
 
Demikianlah, karena korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa, KPK yang diserahi tugas untuk menangani korupsi. Lembaga ini lalu dibekali dengan wewenang yang lebih besar daripada lembaga penegak hukum lainnya.
 
Cita-cita ideal itu perlu menjadi rujukan terus-menerus bagi Pansel KPK sehingga dalam melakukan penjaringan calon pimpinan KPK mereka perlu menimbang secara matang aspek integritas calon. Pasalnya, dengan wewenang yang besar, minus integritas yang baik, pimpinan KPK bisa serta-merta menyalahgunakan kekuasaannya. Walaupun di sisi lain UU KPK telah mengantisipasi adanya potensi abuse of power dengan membangun mekanisme kepemimpinan yang kolektif dan kolegial, yang memiliki makna kesetaraan antara satu pimpinan dan pimpinan yang lain dalam pengambilan keputusan sekaligus sebagai mekanisme kontrol internal.
 
Integritas calon pimpinan KPK tidak dapat digadaikan dengan kemampuan teknis-prosedural, plus dengan pengalaman kerja sekalipun. Oleh karena itu, jika ada opini yang berkembang bahwa calon pimpinan KPK harus berasal dari institusi hukum tertentu—karena KPK adalah lembaga penegak hukum sehingga dibutuhkan pimpinan KPK yang memahami teknis-prosedural penanganan korupsi, kita perlu kembalikan perdebatan ini pada kriteria calon pimpinan KPK serta definisi pimpinan KPK sebagaimana UU KPK telah sebutkan. Paling tidak, secara tekstual, tak satu pun frase dalam UU KPK yang menyebutkan atau mengharuskan hal itu.
 
Fakta empiris
Fakta empiris perjalanan KPK selama lebih kurang 10 tahun sejak berdirinya juga setidaknya membeberkan jawaban atas perdebatan mengenai komposisi pimpinan KPK. Pada era pimpinan KPK jilid I, bidang penindakan ditangani langsung oleh Tumpak Hatorangan Panggabean, yang kebetulan adalah seorang jaksa. Akan tetapi, fakta bahwa Tumpak akhirnya dipilih adalah karena perkawinan dari banyak pertimbangan, salah satunya karena karakter pribadinya yang kuat serta integritasnya.
 
Demikian halnya pada pimpinan KPK jilid II, Chandra M Hamzah yang berlatar belakang advokat menjadi penanggung jawab bidang penindakan. Kinerja KPK dalam penanganan kasus korupsi tak terbantahkan kian moncer, apalagi KPK mulai aktif menangani kasus korupsi yang melibatkan penegak hukum. Pun pada KPK jilid III ketika Bambang Widjojanto yang berlatar belakang campuran, yakni aktivis-pengacara, mulai lebih banyak menginisiasi pendekatan operasi tangkap tangan yang terbukti efektif dalam mengungkap korupsi.
 
Dengan merujuk keterangan di atas, sesungguhnya perdebatan dan penegasan bahwa pimpinan KPK harus berasal dari lembaga penegak hukum tertentu secara empiris telah terbantahkan. Justru sebaliknya, serangan yang kian deras kepada KPK, hingga berujung pada kriminalisasi pimpinan KPK, tidak kemudian menjadi justifikasi bagi Pansel KPK untuk mencari sosok pimpinan KPK yang dapat "berkompromi". Sosok pimpinan KPK yang ada, terlepas dari beberapa kekurangannya, sebenarnya telah memberikan kontribusi yang jelas pada agenda pemberantasan korupsi.
 
Seandainya selama ini masalah utama dari pimpinan KPK adalah karena mereka tidak banyak yang berasal dari latar belakang penegak hukum, sehingga tidak memahami teknis penanganan perkara korupsi, tentu seharusnya angka penanganan kasus korupsi di KPK tidak beranjak naik. Demikian halnya kasus korupsi yang diajukan ke pengadilan tindak pidana korupsi semestinya ada yang berakhir dengan vonis bebas jika KPK teledor dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Akan tetapi, faktanya tidak demikian, KPK masih memegang rekor 100 persen conviction rate.
 
Barangkali yang dicari Pansel KPK sebenarnya bukanlah sesuatu yang sulit. Rekam jejak calon pimpinan KPK akan dengan sendirinya memberikan otoritas bagi Pansel KPK untuk mencoret atau memberikan jalan bagi calon pimpinan KPK untuk maju hingga kelak terpilih menjadi pimpinan KPK. Bukan karena ia mantan pejabat publik, bukan pula karena ia berasal dari trah lembaga tertentu sehingga dapat melenggang menjadi pimpinan KPK dengan meninggalkan kotoran integritas di hadapan Pansel KPK.
 
Adnan Topan Husodo, Koordinator ICW
-------------------
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi (12/8/2015), di halaman 7 dengan judul "Integritas Calon Pimpinan KPK".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan