Instruksi Memburu Koruptor

Ketika membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2005 di Istana Merdeka kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan segera mengeluarkan instruksi untuk memburu para koruptor yang kabur ke luar negeri. Targetnya terutama para koruptor yang terlibat dalam kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Pernyataan Presiden ini terasa janggal. Kejanggalan pertama, kenapa harus ada instruksi segala? Apakah jika tidak ada instruksi, para penegak hukum terutama kepolisian tidak bisa berbuat apa-apa? Apalagi kalau targetnya adalah koruptor BLBI yang sudah divonis bersalah oleh pengadilan negeri. Lucu jika aparat penegak hukum hanya bertindak kalau ada instruksi. Padahal tugasnya ya harus menangkap koruptor itu, bahkan semestinya sudah melakukan pencekalan sebelum koruptor itu bisa jalan-jalan ke luar negeri.

Kejanggalan kedua, instruksi ini tidak ada artinya karena tidak akan mengubah status hubungan antarnegara. Kalau negara tempat koruptor asal Indonesia itu bermukim belum memiliki perjanjian ekstradisi, ada atau tidak ada instruksi akan sama saja sulitnya menangkap mereka. Singapura, misalnya, baru dalam tahap berunding untuk mewujudkan perjanjian ekstradisi dengan kita. Artinya, sampai instruksi presiden nanti keluar, kita belum punya perjanjian ekstradisi dengan negeri pulau itu. Apakah lewat instruksi perburuan koruptor ini Singapura jadi melunak? Tak ada hubungannya sama sekali.

Kejanggalan ketiga, kenapa prioritasnya memburu koruptor yang lari ke luar negeri? Memang ini perlu, tapi yang lebih penting adalah memberi semangat kepada aparat hukum untuk lebih gencar memberantas korupsi di dalam negeri. Kita memiliki tiga instansi yang bisa memberantas korupsi dari tingkat penyidikan, yakni kepolisian, kejaksaan, dan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari ketiganya, hanya KPK yang kini naik daun. Setelah berhasil menyeret Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh ke pengadilan, KPK menggarap beberapa kasus, termasuk yang kini ramai diperbincangkan: Komisi Pemilihan Umum.

Meski terasa janggal, anggaplah instruksi presiden ini pertanda pemerintah masih serius memerangi korupsi, tapi sekaligus juga bisa dijadikan indikasi betapa belum maksimalnya kerja aparat yang diberi tugas memberantas korupsi itu. Jika pertanda yang terakhir ini yang lebih dominan, kenapa Presiden tidak mengganti saja pejabat yang lamban itu? Langkah penggantian itu barangkali lebih baik ketimbang setiap saat mengeluarkan instruksi baru.

Masyarakat sangat merasakan kelambanan pemerintah memberantas korupsi. Dalam berbagai kasus dugaan korupsi yang sudah gamblang diungkap, misalnya pembalakan kayu liar, tak kunjung ketahuan siapa yang dijadikan tersangka. Indikasi lainnya, laporan BPK yang setiap tahun menyebutkan ada kebocoran di berbagai instansi tak pernah tuntas ditindaklanjuti oleh pemerintah. Kalau laporan BPK saja dikesampingkan, bagaimana dengan laporan dari masyarakat?

Ayo buru koruptor di mana pun mereka bermukim di luar negeri, tapi jangan lupa memburu koruptor di rumah sendiri dengan lebih serius--ada atau tidak ada instruksi.

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 14 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan