Ini Momentum Tepat untuk Berbenah

Mahkamah Agung (MA) belakangan menjadi sorotan luas. Itu terkait kasus suap yang menyeret nama Bagir Manan, orang nomor satu di lembaga tersebut. Berikut wawancara Jawa Pos dengan Marianna Sutadi SH, hakim agung yang juga wakil ketua MA. Bagaimana dia melihat kasus tersebut?

Ada yang menilai, isu suap yang melanda MA kini termasuk superdahsyat yang pernah terjadi selama ini. Tanggapan Anda?

Saya kira kita sudah memberikan statemen tentang itu. Begitu kejadiannya muncul Jumat lalu, Senin berikutnya sudah keluar penjelasan resmi dari MA. Kita sangat mendukung langkah KPK membongkar suap ini.

Kita juga memberikan akses seluas-luasnya kepada KPK agar menuntaskan kasus ini. Saya pikir, orang berpendapat itu (kasus di MA superdahsyat, Red). Silakan saja.

Apa bukti bahwa Anda telah membuka akses seluas-luasnya kepada KPK?

Lihat saja, beberapa asisten sudah diperiksa KPK. Mereka kami izinkan. Sebetulnya, dalam peraturan yang berlaku, kalau hakim ingin didengar keterangannya, harus minta izin resmi dulu kepada ketua MA. Tapi, ini tidak. Kita berikan.

Dari awal kita sudah memiliki keinginan besar untuk membantu KPK menuntaskan masalah ini. Menurut saya, ini momentum tepat untuk berbenah diri. Kalaupun selama ini sudah banyak yang dilakukan MA, kan sebanyak yang kita lakukan, sebanyak itu pula yang tidak tertangani.

Apa isu suap mempengaruhi kinerja internal MA?

Tentu saja ada. Apalagi, saat ini perhatian publik begitu besar terhadap MA. Tapi, saya yakin, apa pun masalah yang kita hadapi, pasti ada jalan keluarnya. Tapi, maaf, saya tidak bisa menyebutkan satu per satu dampak itu. Yang jelas, secara psikologi tentu ada.

Bagir Manan dituding ikut terlibat menerima uang suap Rp 5 miliar. Komentar Anda?

Sebelum menjawab pertanyaan Anda, saya harus memberikan contoh dulu. Sangat menyakitkan bila seseorang itu difitnah. Terus terang saya katakan. Pada kesempatan ini, saya tidak mau membicarakan orang lain. Lebih baik saya dulu. Saya kira, saya tidak bermaksud apa-apa. Coba, silakan tanyakan tentang diri saya kepada staf dan orang terdekat saya. Juga kepada pengacara-pengacara. Pernah tidak orang bermain perkara dengan saya? Tapi, toh ada saja laporan negatif tentang saya.

Laporan tentang apa? Bisa Anda ceritakan?

Waktu itu, katanya, saya punya rumah di BSD (Bumi Serpong Damai). Rumah itu, katanya, hasil dari sebuah perkara yang saya tangani. Terus terang, saya tidak tahu apa-apa. Saya jelas terkejut mendengar berita itu.

Kebetulan, saya tahu informasi ini dari salah seorang wartawan. Katanya, saya tidak pernah melaporkan kekayaan saya ke KPKPN soal rumah yang ada di Serpong itu. Informasi ini jelas sangat menyakitkan hati saya.

Kebetulan juga rumah tersebut ditulis atas nama Dodi. Karena Tuhan Maha Mengetahui, saya terlepas dari fitnah itu. Baik anak maupun menantu saya, tidak ada yang namanya Dodi. Rumah itu memang milik salah satu anak mantan hakim agung di MA. Bahkan, rumah itu tidak jauh dari kompleks MA.

Gara-gara fitnah tersebut, saya jadi babak belur. Untuk memperbaiki tercorengnya nama saya, butuh satu tahun lebih. Saya sangat sakit hati. Dengan pengalaman ini, saya bisa rasakan apa yang kini dirasakan Pak Bagir Manan.

Bayangkan. Secara logika, apa mungkin, kalau dengan jumlah uang begitu besar, menjumpai seseorang yang jabatannya sangat tinggi? Apa masuk akal bisa dilakukan oleh staf dari bagian kendaraan? Nah, itu baru menyangkut uang.

Anda yakin Bagir Manan tidak terlibat?

Saya yakin Pak Bagir tidak terlibat. Semua orang tahu siapa Pak Bagir. Itu fitnah. Fitnah itu menyakitkan. Saya punya satu alasan saja yang perlu diketahui publik.

Begini, sekarang misalnya soal dokumen. Bayangkan, begitu melihat di koran-koran dan TV, saya tertawa. Katanya, ada pengacara yang bernama Harini Wijoso, mantan hakim tinggi Jogjakarta.

Mestinya dia tahu dong bahwa dokumen itu berbunyi membebaskan terdakwa dari segala tuntutan. Kemudian, menghukum terdakwa membayar ongkos perkara Rp 700 ribu.

Saya tidak habis pikir. Harini itu mantan hakim tinggi. Saya yakin, Harini sangat tahu. Kalau terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan bukan tuntutan, atau dilepaskan dari segala tuntutan, ongkos perkaranya dibebankan kepada negara. Semua orang tahu. Apalagi, hakim.

Menurut Anda, dokumen putusan perkara kasasi Probosutedjo yang sudah diketahui publik itu palsu?

Seyogianya, pengacara tahu bahwa dokumen putusan itu palsu. Kalaupun terdakwa dihukum, ongkos perkara kan sudah diatur. Mulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung, ongkos perkara itu hanya Rp 7.500.

Bagaimana dalam putusan MA, terdakwa dihukum sampai Rp 700 ribu. Ini kan sudah tidak masuk akal. Saya tidak ingin memberi komentar lebih luas. Cukup mengenai dokumen putusan itu. Sebab, MA justru memberi akses seluas-luasnya kepada KPK dalam membongkar kasus suap ini. Saya juga mengimbau agar yang lain jangan kasih komentarlah. Biarkan saja KPK bekerja dengan baik, menuntaskan masalah ini.

Selama kasus suap melanda MA, pernahkah Bagir mengeluh atau curhat kepada Anda?

Secara pribadi tidak pernah. Tapi, jangan lupa, pimpinan MA itu terdiri atas ketua MA, dua wakil ketua MA, dan beberapa ketua muda. Kita sudah beberapa kali rapat pimpinan (rapim). Tujuannya, memberikan akses seluas-luasnya.

Segala sesuatu harus dibicarakan. Memang, waktu kali pertama saya membuat statemen, Pak Bagir Manan sedang di Lampung, meresmikan pengadilan negeri. Tapi, kemudian saya rapat dengan unsur pimpinan lain untuk menyampaikan bahwa ketua MA sudah mendisposisikan kepada saya. Komitmen MA ingin membantu KPK seluas-luasnya. Itu keputusan bersama yang diambil secara musyawarah.

Berdasarkan laporan KPKPN 2001, harta kekayaan Anda termasuk besar, yakni Rp 2,8 miliar lebih. Apa harta kekayaan ini hasil Anda selama menjabat hakim agung?

Waah, ini pertanyaan yang sangat bagus. Pada awal keluar peraturan itu, saya sebetulnya keberatan karena tidak dipisah.

Sebab, kami khawatir, karena suami bekerja dan istri juga bekerja. Tapi, peraturannya tak begitu. Itu harus digabung. Saya justru lebih senang semua yang saya miliki dilaporkan. Apalagi, waktu itu suami saya masih menjabat duta besar untuk Brazil pada 1999-2002. Artinya, gaji suami dalam bentuk dolar AS itu juga saya laporkan ke KPKPN. Walaupun gaji suami saya diberikan di luar negeri saat itu. Mengapa? Saya khawatir, saat saya purnabakti nanti, orang mengira itu harta saya.

Bayangkan saja, semua orang tahu duta besar itu tidak bayar, mulai listrik, air, sopir, dan bensin. Logis dong kalau gajinya sedikit dipakai untuk makan. Selebihnya, itu kan ditabung. Nah, semua itu saya laporkan. Tidak ada yang saya sembunyikan. Untuk apa disembunyikan?

Soal saya tinggal di Taman Ubud Kuningan yang punya NJOP tinggi, rumah itu kami peroleh dari Departemen Perindustrian dan membayarnya secara mencicil.

PNS kan begitu. Membeli rumah negara tidak boleh dibayar kontan. Terakhir, itu mesti disisakan pembayaran setelah lima tahun. Ini peraturan dari zaman Belanda lho. (budi darmawan)

Sumber: Jawa Pos, 19 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan