Ini 19 Alasan Tolak Reklamasi Jakarta

Antikorupsi.org, Jakarta, 12 April 2016 – Reklamasi pantai utara Jakarta kembali mendapat perhatian publik setelah ditemukan kasus korupsi dalam pelaksanaannya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus tersebut.

Mereka adalah Ketua Fraksi Gerindra DPRD Provinsi Jakarta Mohamad Sanusi, Presiden Direktur PT. Agung Podomoro Land (Tbk) Ariesman Widjaja, dan Personal Assistant di PT. Agung Podomoro Land Trinanda Prihantoro. Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka salah satunya memiliki posisi strategis dalam pengambilan kebijakan.

Terkait kasus tersebut, beberapa pihak bahkan telah dicekal untuk pergi ke luar negeri. Diantaranya ialah Sunny Tanuwidjaja, Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Richard Halim Kusuma, Direktur Utama PT. Agung Sedayu, dan pemilik PT Agung Sedayu Sugianto Kusuma atau Aguan.

Kepala Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Martin Hadiwinata mengatakan, melihat kasus korupsi yang terjadi, proyek ini mestinya dihentikan. Apalagi jika melihat korupsi tersebut berpotensi melibatkan pihak yang lebih luas.

“Mungkin yang terlibat tidak hanya DPRD, tapi juga pihak pengembang. Kami mencurigai bisa juga menyangkut pihak-pihak dari eksekutif, siapapun ini,” kata Martin di Jakarta, 11 April 2016.

Menurutnya, keterlibatan pihak-pihak tersebut menjadi mungkin, mengingat korupsi dalam kasus ini menggunakan cara memuluskan reklamasi melalui rancangan Peraturan Daerah (Perda) yang akan ditetapkan.

Selain alasan terdapatnya kasus korupsi dalam proses reklamasi, terdapat hal-hal lain yang menjadi alasan reklamasi pantai utara Jakarta ini harus dihentikan. Berikut alasan penolakan yang dikutip dari laman resmi LBH Jakarta:

1. Melanggar Hak Rakyat yang Dijamin Konstitusi UUD 1945
Reklamasi telah melepaskan hak menguasai Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat kepada pengusaha properti. Melanggar Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Reklamasi mengurangi wilayah kelola nelayan tradisional dan memperparah pencemaran. Sehingga nelayan tradisional kehilangan sumber kehidupannya. Melanggar Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin Hak atas Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak bagi Kemanusiaan bagi semua warga negara.

Reklamasi akan menggusur pemukiman nelayan  atasnama penertiban. Hanya untuk pembangunan bagi segelintir kelas ekonomi atas. Melanggar Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menjamin Hak untuk Bertempat Tinggal dan Mendapatkan Lingkungan yang Baik dan Sehat bagi semua warganegara.

2. Jakarta Tenggelam
Banjir di Jakarta akan semakin menggila dan menghebat. Reklamasi menghilangkan fungsi daerah tampungan yang memperbesar aliran permukaan. Aliran sungai akan melambat sehingga terjadi kenaikan air di permukaan. Akibatnya sedimentasi bertambah dan terjadi pendangkalan muara yang berefek pembendungan yang signifikan. Praktis, frekuensi banjir pun meningkat karena kapasitas tamping sungai yang terlampaui oleh debit sungai. Apalagi di Teluk Jakarta bermuara sekitar 13 sungai.

Ditambah dengan penurunan muka tanah di Jakarta Utara sejak tahun 1985 – 2010 mencapai -2,65 meter di Cilincing hingga -4,866 meter di Penjaringan (NiccoPlamonia& Prof. Arwin Sabar). Beban pembangunan telah melampaui daya dukung dan daya tampung (carrying capacity) Jakarta yang memperparah bencana ekologis berupa banjir rob di sepanjang teluk Jakarta. Pada saat ini saja di setiap musim hujan Jakarta selalu terendam banjir, banjir dalam skala luas bias terjadi akibat reklamasi pantai utara Jakarta.

3. Proyek Warisan Orde Baru yang Berpihak pada Pemodal
Ditetapkan oleh Keppres No. 52 Tahun 1995 tanpa adanya kajian dan pertimbangan lingkungan hidup (sebelum adanya UU PPLH dan Tata Ruang) serta penuh dengan kolusi dan korupsi. Reklamasi adalah proyek orde baru tanpa partisipasi dan konsultasi masyarakat serta prinsip perlindungan warga nelayan tradisional dan lingkungan hidup. Keppres 52 Tahun 1995 telah dicabut oleh Perpres No. 54 Tahun 2008.

4. Merusak Lingkungan Hidup
Telah dinyatakan tidak layak dan merusak lingkungan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Reklamasi dan Revitalisasi Teluk Jakarta. Putusan pengadilan membatalkan tetapi tidak menghilangkan penilaian ketidaklayakan lingkungan hidup dari Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

5. Menghancurkan Ekosistem Sumber Pasir Urugan
Setiap hektar pulau reklamasi akan membutuhkan 632.911 m3 pasir. Jika dikalikan luas pulau reklamasi yang direncanakan 5.153 ha (Tempo, 2015), maka akan membutuhkan sekitar 3,3 juta ton m3 pasir.

Pengambilan bahan urugan (pasir laut) dari daerah lain akan merusak ekosistem laut tempat pengambilan bahan tersebut. Juga terjadi konflik berdarah dengan nelayan lokal seperti di Lontar, Serang-Banten.

6. Mengancam Jakarta sebagai Kawasan Strategis Nasional
Jakarta ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional yang berfungsi penting bagi kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. Jika reklamasi diteruskan dengan berbagai dampak lingkungan hidup diatas akan menghancurkan Jakarta sebagai ibukota negara, situs sejarah nasional, dan kawasan ekonomi nasional yang penting.

7. Tidak  Ada Reklamasi Alamiah Tetapi Sebuah Proyek Rekayasa Lingkungan yang Merusak dan Menghancurkan Ekosistem
Bentang alam Jakarta terbentuk secara alamiah melalui proses akresi yang berlangsung dalam waktu yang lama. Proses tersebut terjadi dengan terbentuknya 13 sungai yang mendorong sedimentasi secara alamiah yang kemudian mencapai hilir di Teluk Jakarta lalu mengeras dalam waktu ratusan hingga ribuan tahun. Proses ini sangat alamiah dan tidak merusak lingkungan. Jadi tidak pernah terjadi reklamasi alamiah di Jakarta, karena reklamasi merupakan rekayasa lingkungan yang mengabaikan kondisi Teluk Jakarta.

8. Menghancurkan Ekosistem di Kepulauan Seribu
Pertumbuhan  karang di  Kepulauan Seribu akan terganggu akibat tekanan bahan pencemar dan sedimen. Ditambah lagi dengan adanya perubahan arus yang semakin meningkat akan menghantam pulau-pulau kecil di pulau Seribu, karena Perubahan arus akan menggerus gugusan pulau kecil dari Kepulauan Seribu yang terdekat Teluk Jakarta akibatnya akan tergerus, rusak dan bahkan lenyap. Salah satu pulau kecil yang bersejarah adalah Pulau Onrust sebagai situs sejarah perkembangan VOC di Indonesia.

9. Merusak Tata Air di Wilayah Pesisir
Jika reklamasi dilakukan seluas 5.100 ha, maka sistem tata air di wilayah pesisir lama akan rusak. Kerusakan sistem tata air terjadi setidaknya pada radius 8-10 m. Karena reklamasi akan menambah beban sungai Jakarta di saat musim hujan. Jika air sungai terhambat keluar, maka akan menyebabkan penumpukan debit air di selatan.

10. Menghancurkan Mangrove Muara Angke dan Habitat Satwa yang Dilindungi
Hutan bakau sebagai tempat bertelur dan habitat ikan-ikan kecil (nursery) dan hutan mangrove penangkal abrasi akan digantikan oleh tumpukan pasir dan semen. Pada tahun 1992 Jakarta memiliki 1.140,13 Ha yang dikonversi seluas 831,63 Ha menjadi pemukiman elit, lapangan golf, kondominium dan sentra bisnis di kawasan pemukiman Pantai Indah Kapuk (PIK).

Saat ini, hutan mangrove di Teluk Jakarta tersisa seluas 25,02 ha dan akan rusak secara perlahan karena sirkulasi arus yang berubah. Tanggul laut akan menambah tekanan dan mengakibatkan kerusakan suaka marga satwa tersebut. Jakarta Green Monster mencatat seluruhnya ada 91 jenis burung, yakni 28 jenis burung air dan 63 jenis burung hutan, yang hidup di wilayah ini. Sekitar 17 jenis di antaranya adalah jenis burung yang dilindungi.

11. Merusak Situs Sejarah Jakarta
Situs sejarah kota Jakarta sebagai kota bandar dengan pulau-pulau bersejarahnya di sekitar Teluk Jakarta akan tergerus dan hilang. Pelabuhan Sunda Kelapa juga akan terancam dengan keberadaan 17 pulau reklamasi yang direncanakan oleh Pemerintah.

12. Mengancam Obyek Vital Nasional
Terdapat PLTGU dan PLTU di Muara Karang, Pelabuhan Perikanan Samudra Nizam Zachman di Jakarta Muara Baru. Reklamasi Pulau akan merusak kabel pipa kabel dan gas bawah laut yang menjadi suplai listrik Ibukota Jakarta.

13. Reklamasi Untuk Siapa? 
Reklamasi dibangun untuk kelas ekonomi atas, tidak untuk semua kelas apalagi kelas menengah ke bawah. Harga properti yang dijual paling rendah seharga Rp. 3.77 M (LB 128M2/LT 90M2). Siapa yang sanggup membelinya?

Kekurangan tanah menunjukkan kesalahan model pembangunan yang tersentralistik di Jakarta. Reklamasi hanyalah proyek rakus kemaruk menguntungkan pengusaha properti.

14. Teluk Jakarta Butuh Restorasi Bukan Reklamasi, Revitalisasi Tanpa Reklamasi
Pencemaran logam berat di perairan Teluk Jakarta masih dalam standar aman nasional tapi telah melampaui standar Netherlands Standards for Water Sendiment. Reklamasi akan memperberat pencemaran logam berat di teluk jakarta.  Yang seharusnya dilakukan adalah melakukan restorasi lingkungan dengan membenahi pencemaran sungai dan mengembalikan fungsi teluk jakarta sebagai tempat pertumbuhan mangrove, kawasan hijau, dan biota laut bukanlah reklamasiyang justru akan menambah kerusakan dan pencemaran laut dan pesisir.

15. Pembusukan dan Comberan Raksasa Berakibat Kematian Ikan Makin Hebat
Perairan di Teluk Jakarta pasca proyek reklamasi dan Giant Sea Wall akan menjadi comberan raksasa sebab arus laut yang diharapkan dapat mencuci limbah dari sungai-sungai di jakarta dihalangi oleh Giant Sea Wall dan pulau-pulau reklamasi. Sementara limbah dari 13 sungai akan masuk ke daerah pulau-pulau rekmalasi yang akan mengakibatkan menumpuknya limbah-limbah dari sungai didasar pesisir sekitar pulau. Akibatnya terjadi kematian ikan akan semakin hebat karena kemampuan pembilasan alami (natural flushing) semakin hancur, pemumpukan sedimen beracun dari 13 sungai, terjadi ledakan alga (booming fithoplankton) yang mengakibatkannya kadar oksigen rendah dan terjadi kematian ikan.

16. Mengancam Identitas Nelayan sebagai Penopang Kedaulatan Pangan
Reklamasi akan merampas dan menghilangkan wilayah penangkapan ikan didaerah pesisi. Sebanyak 16.000. KK nelayan pesisir terancam tergusur dari wilayah hidup dan kehilangan pekerjaannya. Reklamasi 17 Pulau akan mengganggu aktivitas 600 kapal dari total 5.600 kapal nelayan yang ada di DKI Jakarta. Padahal nelayan merupakan pahlawan protein bangsa, salah satu penopang kedaulatan pangan. Hal ini telah diakui dunia internasional dengan mengubah paradigm nelayan tradisional sebagai solusi lapangan pekerjaan, pemenuhan pangan perikanan dan ketimpangan kemiskinan. Untuk diketahui bahwa ikan didaerah pesisir dan daerah laut dalam berbeda jenisnya, berbeda cara tangkapnya dan berbeda alatnya. Reklamasi secara langsung membunuh nelayan pesisir / tradisional.

17. Memperkuat Pemiskinan dan Ketidakadilan terhadap Perempuan Pesisir
Proyek reklamasi Teluk Jakarta tidak pernah memperhitungkan situasi khusus perempuan di pesisir Teluk Jakarta. Tidak pernah ada data terpilah gender maupun kajian dampak yang berbeda terhadap perempuan. Perempuan pengupas kerang hijau menurun tajam pendapatannya, sehingga banyak yang bekerja serabutan termasuk menjadi buruh cuci ataupun pemulung. Ditambah dengan beban kerja domestiknya, rata-rata perempuan di pesisirTeluk Jakarta bekerja setidaknya 18 jam sehari yang membahayakan kesehatan reproduksinya.

18. Reklamasi Tidak Memberi Nilai Tambah Pada Jakarta
Reklamasi hanya akan menjadi perumahan dan pusat komersial dengan desain arsitektur medioker yang tidak menjadi inspirasi ataupun kebanggaan Jakarta. Tidak ada capaian besar maupun urgensi ekonomi padahal biaya sosial dan lingkungannya sangat tinggi. Jangan bayangkan Esplanade di Singapura atau Pantai Rio di Brazil, atau fasilitas publik yang bermanfaat, tetapi bayangkan reklamasi akan sekedar menjadi Pantai Indah Kapuk seluas separuh Kota Bogor.

19. Mimpi Buruk Poros Maritim
Prof AB. Lapian menyatakan Indonesia adalah sebagai “Negara kelautan yang bertabur pulau-pulau”, namun reklamasi menjadikannya negara daratan rekayasa dan pembohongan kelautan. Reklamasi memungunggi lautan dengan menimbun laut menjadi daratan baru. Oleh karena itu reklamasi adalah mimpi buruk poros maritim yang hanya akan menjadi omong kosong.

(Egi)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan