Industri Kekuasaan Politik

Debat calon presiden yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum terkesan hambar (18/6). Tidak banyak isu krusial bisa ditelisik lebih dalam.

Khusus untuk pemberantasan korupsi dan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yang mengemuka justru kesan kurang pahamnya calon. Pesan sederhana dari semua jawaban adalah pemberantasan korupsi tidak ditempatkan sebagai prioritas. Kalaupun dicantumkan dalam visi-misi, ia tidak lebih sekadar sebagai politik klaim. Padahal, akar masalah bangsa ini terletak pada apa yang disebut Mochtar Lubis sebagai roots of all evil.

Korupsi
Capres nomor urut satu, misalnya, pada kesempatan lain menggunakan sejumlah produk hukum yang lahir pada era pemerintahannya sebagai basis argumentasi. Meski, UU Komisi Yudisial, UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahkan keppres pembentukan pengadilan Tipikor ditandatanganinya pada Juli 2004. Namun, komitmen pemberantasan korupsi tentu jauh lebih besar daripada sebuah tanda tangan.

Demikian juga pasangan incumbent SBY-JK yang pada Pilpres 2009 ini berjalan terpisah. Klaim bahwa pemberantasan korupsi berhasil pada era presiden dari Partai Demokrat ini tentu kurang tepat jika yang digunakan adalah prestasi KPK. Sebab, posisi ketatanegaraan KPK yang independen jelas dicantumkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.

Hampir tidak ada ”tangan” presiden atau wakil presiden dalam kinerja komisi antikorupsi itu karena institusi ini diharapkan dapat memberantas korupsi dalam kondisi politik apa pun. ”Siapa pun presidennya, KPK harus tetap jalan,” kurang lebih demikian tagline-nya.

Kalaupun evaluasi pemberantasan korupsi dilakukan untuk pemerintahan SBY-JK, yang harus dilihat adalah kinerja kejaksaan dan kepolisian. Termasuk upaya pembenahan birokrasi melalui Inpres No 5/2004, Rancangan Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN-PK) 2004-2009, dan kinerja Timtas Tipikor yang dipimpin langsung SBY. Dari aspek legislasi, ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada 2006 juga menjadi catatan tambahan.

Lantas, apakah itu berarti pemberantasan korupsi era 2004-2009 berhasil? Tunggu dulu. Kriteria dan indikator keberhasilan pemberantasan korupsi Indonesia harus melihat pada kondisi korupsi itu sendiri. Misal, perkembangan korupsi yang mengarah pembajakan fungsi negara menggunakan kekuatan politik-bisnis (state capture).

Varian potret ini terwujud pada kebijakan yang memberi keuntungan tidak pantas pada pebisnis tertentu, potensi konflik kepentingan bisnis keluarga, terhambatnya proses hukum jika pelaku berasal dari partai tertentu, gelap dana kampanye, diskriminasi kebijakan, dana stimulus, dan kebijakan insentif pajak untuk perusahaan tertentu, proteksi saham, dan lainnya. Apakah dari komunikasi politik capres dapat terbaca adanya program antikorupsi yang minimal telah memetakan secara serius keadaan korupsi itu? Tentu, belum.

Karena itu, sebelum pemilihan presiden dilakukan pada 8 Juli mendatang, masyarakat berhak mengetahui fenomena di balik gegap gempita klaim dan janji politik. Sejumlah data tentang rekam jejak komitmen antikorupsi tiap pasangan calon seharusnya dapat menjadi acuan.

Pada tahun 2002, misalnya, sulit melupakan pemberian release and discharge terhadap lima obligor kakap BLBI. Sjamsul Nursalim merupakan salah satu obligor yang ”dimaafkan” saat itu. Kebijakan ini kurang lebih berarti sama dengan ”pemutihan” megaskandal BLBI. Padahal, tahun lalu terbukti, di balik proses penghentian kasus korupsi Sjamsul Nursalim itu ada suap 660.000 dollar AS terhadap seorang jaksa di Kejaksaan Agung.

Dalam upaya membaca korupsi sebagai gejala dari konsepsi oligarki politik dan bisnis, kasus ini merupakan cermin yang amat penting.

Selain merugikan keuangan negara dalam jumlah besar, adanya indikasi persekongkolan sejumlah elite mulai dari lingkaran utama eksekutif pun amat jelas. Bahkan, ”pembenaran” hukum oleh sejumlah oknum petinggi Kejaksaan Agung juga terjadi.

Dengan kata lain, peta aktor di balik kasus ini mencakupi wilayah-wilayah strategis seperti puncak eksekutif, legislatif, penegak hukum, dan imperium bisnis. Masa depan kasus BLBI ini diperparah saat alih-alih menguatkan proses hukum, presiden era berikutnya justru menerima beberapa obligor di Istana.

Varian lain adalah ketertutupan dana kampanye partai politik dan tim calon presiden. Tesis yang ingin dibangun, tidak pantas seorang calon pemimpin bicara pemberantasan korupsi jika belum mampu membuka sumber dana politik yang mereka terima. Bagian ini punya titik penting berbeda daripada kasus BLBI. Analisisnya terletak pada saling korelasi pelaku bisnis selaku penyumbang dana dengan calon presiden.

Hubungan saling tergantung dua pihak ini menjadi amat riskan disimpangi ketika itu dilakukan secara tertutup. Bukan tak mungkin kewenangan dan posisi sentral presiden nantinya dibajak kepentingan pihak penyumbang dana (pelaku bisnis) melalui kebijakan yang diterbitkan atas nama rakyat.

Di sinilah konsepsi rent-seeking behaviour menemukan relevansinya. Saat itu, Gordon Tullock (1967) mewanti-wanti perilaku pemburu rente dari sudut pandang analisis ekonomi-politik, bahwa ia dilihat sebagai pelaku bisnis yang memengaruhi kebijakan negara, memanfaatkan, dan merekayasanya demi kepentingan akumulasi keuntungan bisnis. Sejumlah kasus korupsi anggota DPR yang diproses KPK membuktikan, kelompok seperti ini nyata dan eksis.

Dua contoh itu dan potret rent-seeking dinilai lebih penting menjadi prioritas pasangan capres 2009. Ditambah, upaya untuk memperkuat KPK dan Pengadilan Khusus Tipikor sebagai infrastruktur yang dapat memangkas lebih dalam akar korupsi. Namun sayang, belum ada tanda-tanda munculnya konsep pemerintahan ke depan yang mengacu pada deskripsi itu.

Karena itu, tak berlebihan jika proses pemilihan presiden 2009 yang sedang berjalan ini dinilai lebih mengarah pada pengertian ”industri kekuasaan”. Di mana, proses politik yang terjadi hanya ditempatkan sebagai tahapan layaknya industri atau perusahaan, untuk mendapatkan hasil berupa kekuasaan dan legitimasi publik.

Akhirnya, kekuasaan itu digunakan untuk memperkuat basis perolehan keuntungan oleh kelompok tertentu. Kesimpulan ini boleh jadi salah jika dalam proses berikutnya mulai dilakukan perubahan penting dalam tawaran kebijakan pasangan calon presiden. Mungkinkah?

Febri Diansyah Peneliti Hukum; Anggota Badan Pekerja ICW

Tulisan ini disalin dari Kompas, 4 Juli 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan