Indonesia [Tetap] Paling Korup

Indonesia menduduki peringkat pertama negara terkorup dari 12 negara di Asia yang ekonominya sedang berkembang.

Indonesia menduduki peringkat pertama negara terkorup dari 12 negara di Asia yang ekonominya sedang berkembang. Peringkat korupsi itu kemarin diumumkan lembaga pemeringkat independen yang berbasis di Singapura, Political and Economic Risk Consultancy (PERC).

Penentuan peringkat korupsi itu didasarkan atas jajak pendapat yang dilakukan lembaga tersebut kepada para eksekutif dan pebisnis perusahaan asing. Dari survei itu juga diketahui bahwa korupsi adalah sandungan terbesar dalam pertumbuhan bisnis dan investasi di negara-negara Asia yang ekonominya sedang berkembang.

Singapura dan Hong Kong, menurut survei itu, merupakan dua negara tebersih dengan nilai hampir sempurna (0,89 dan 1,22). Di bawahnya, berturut-turut, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Taiwan, Thailand, Cina, India, Filipina, dan Vietnam. Indonesia di tempat terakhir dengan skor 9,44 atau mendekati angka nilai terburuk, 10.

Korupsi di Indonesia dianggap sebagai masalah paling besar yang dihadapi para investor asing. Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh survei itu, investor luar negeri berharap dan gembira dengan langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam memberantas korupsi. Ada sejumlah tokoh terkenal dan pejabat yang ditangkap dan diadili. Hal ini menaikkan harapan bahwa halangan terbesar untuk berbisnis di Indonesia, yaitu korupsi, tengah berkurang, ucapnya.

Ketua Komite Kamar Dagang Indonesia Bidang Distribusi Thomas Darmawan setuju dengan hasil pemeringkatan PERC. Indonesia memang merupakan negara terkorup di Asia. Hal itu merupakan permasalahan tersendiri, ujarnya dalam wawancara via telepon.

Ketua Divisi Informasi pada Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo tak kaget dengan hasil survei PERC. Hasil survei lembaga lain, kata dia, juga hampir sama.

Menurut dia, untuk mengatasi hal ini, harus ada perbaikan perilaku birokrasi dan segala ketentuan yang menghambat investasi di Indonesia. Banyak inefisiensi dan ketentuan yang berbelit-belit dan menghambat iklim investasi, kata Adnan. AFP | DIAN YULIASTUTI | ZAKY

Sumber: Koran Tempo, 6 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan