Indonesia Terkorup Nomor 36; Survei Transparency International
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih harus lebih digiatkan. Dalam survei terbaru lembaga Transparency International (TI), Indonesia masih duduk di ranking 143 dari 179 negara di dunia dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan peringkat itu, Indonesia berada di nomor 36 sebagai negara dengan pemberantasan korupsi terlemah di dunia.
Dalam hasil survei yang dirilis kemarin, disebutkan kepercayaan publik atas pemberantasan korupsi di Indonesia cenderung menurun. Indonesia mengantongi skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,3. Angka tersebut turun dari IPK 2,4 pada 2006.
Ketua Dewan Pengurus TI Indonesia Todung Mulya Lubis menjelaskan, IPK merefleksikan pandangan pelaku bisnis dan pengamat dari seluruh dunia, termasuk para ahli yang menjadi penduduk pada negara yang dievaluasi. IPK terentang dari skala 0, yang berarti sangat korup, hingga 10 yang berarti sangat bersih.
Turunnya skor IPK Indonesia menunjukkan jika negara dipersepsikan publik mengalami kemunduran dalam pemberantasan korupsi, ujar Todung dalam jumpa pers di Jakarta kemarin. Di peringkat 143, Indonesia sejajar dengan Gambia, Rusia, dan Togo. Bahkan, kalah dari Timor Leste dengan IPK 2,6.
Angka indeks persepsi Indonesia itu jauh dibanding Malaysia yang besarnya 5,1 dan Singapura 9,3. Di kawasan Asia Selatan dan Tenggara, posisi Indonesia hanya lebih baik dibanding Bangladesh, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Papua Nugini.
Posisi teratas penanganan korupsi ditempati Denmark, Finlandia, dan New Zealand. Tiga negara itu memiliki nilai 9,4. Sedangkan posisi terbawah ditempati Myanmar dan Somalia dengan angka 1,4.
Menurut Todung, publik Indonesia sudah cerdas melihat apakah pemerintahnya benar-benar sudah melakukan pemberantasan korupsi secara menyeluruh atau hanya kosmetik. Nurdin Halid, ECW Neloe, dan Syaukani telah ditangkap, tapi masih banyak yang imun. Soeharto, Tommy Soeharto, dan kasus KPU misalnya yang tidak juga diselesaikan hingga kini, tambahnya.
Tumpukan kasus kakap itulah yang membuat publik Indonesia mempersepsikan bahwa pemerintah belum serius dalam memberantas korupsi. Pemerintah masih tebang pilih. Jangan menyepelekan memori kolektif orang. Apa yang dilakukan SBY dalam memberantas korupsi tidak akan membuat rakyat terkesima untuk (bisa dipilih) pada 2009, lanjutnya.
Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki yang hadir dalam kesempatan tersebut mengaku, penurunan skor itu jelas membuatnya kecewa ketika dia dan KPK bekerja keras memberantas korupsi. Tapi, mantan Kapolwil Malang itu mengaku tidak marah dengan hasil tersebut. Ini cermin besar untuk introspeksi, tambahnya. Dia juga mengatakan bahwa dirinya sering merasa kesepian dalam pemberantasan korupsi.
Bagi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi, IPK tersebut bukan sekadar persepsi, tapi fakta. Sebagai pengusaha dirinya tahu betul buruknya birokrasi di Indonesia. Kalau dulu yang dilayani hanya Soeharto, kini ada pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan DPR, ujarnya.(naz)
Sumber: Jawa Pos, 27 September 2007
-----
Pemerintah Dinilai Belum Serius Berantas Korupsi
Dengan dipermalukan seperti ini, diharapkan aparat birokrasi malu.
Pemberantasan korupsi di Indonesia dinilai masih belum serius. Berdasarkan survei Transparency International Indonesia, indeks persepsi korupsi di Indonesia menurun dari 2,4 pada 2006 menjadi 2,3 pada tahun ini.
Persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia belum berubah, kata Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia Todung Mulya Lubis di Jakarta kemarin.
Transparency International menyurvei 180 negara. Hasil survei terhadap Indonesia diperoleh dari hasil 14 polling berbeda dan dari 12 lembaga independen. Pengusaha dan pengamat menjadi responden survei. Tahun lalu Indonesia berada di peringkat tiga terbawah dari 163 negara yang disurvei.
Indonesia berada di posisi 143 bersama Gambia, Togo, dan Rusia. Angka maksimal indeks adalah 10. Semakin tinggi angka indeks, negara tersebut semakin bersih dari korupsi.
Angka indeks persepsi Indonesia ini jauh dari indeks Malaysia (5,1) dan Singapura (9,3). Di Asia Tenggara, Indonesia lebih baik dibanding Bangladesh, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Papua Nugini.
Posisi teratas ditempati Denmark, Finlandia, dan New Zealand. Ketiga negara itu memiliki indeks persepsi 9,4. Adapun posisi terbawah ditempati Myanmar dan Somalia (1,4).
Todung menilai masyarakat indonesia menganggap pemerintah tak konsisten dalam memberantas korupsi. Publik menilai Indonesia tetap tak serius memberantas korupsi. Angka indeks tinggi hanya jika ada konsistensi pemberantasan korupsi, katanya.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki mengakui pemberantasan korupsi di Indonesia hampir tak berubah. Ia muak melihat hasil survei yang menunjukkan tak ada perbaikan dalam pemberantasan korupsi.
Biarpun KPK sudah menangkap sana-sini, tetap saja duit negara ditilep, kata dia. Tapi diharapkan, dengan dipermalukan seperti ini, aparat birokrasi jadi merasa malu.
Menurut Ruki, pemberantasan korupsi tak hanya tanggung jawab KPK yang merupakan pelatuk kejaksaan dan kepolisian. KPK, kata dia, hanya menangani kasus di masa depan, tapi tak menangani kasus lama yang merupakan wewenang kejaksaan.
Pemimpin negara, kata Ruki, harus berkomitmen kuat memberantas korupsi. Ia mencontohkan Singapura pada 1960-an yang merupakan sarang penyelundup. Komitmen kuat Perdana Menteri Lee Kuan Yew menjadikan Singapura kini memperoleh indeks persepsi 9,3.
Ruki menyarankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersuara lebih kencang terhadap pemberantasan korupsi. Suara keras itu perlu dukungan lembaga hukum, Mahkamah Agung, atau hakim.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi menganggap indeks persepsi konsumen mempengaruhi iklim investasi. Angka indeks persepsi korupsi yang rendah menjadikan investor enggan menanamkan modal. Para investor, kata Sofjan, enggan berurusan dengan praktek suap.
Adapun anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Bagus Suryama, menganggap hampir tak ada profesi bebas dari korupsi, bahkan anggota legislatif, pengacara, polisi, jaksa, dan hakim. Tapi, katanya, pemberantasan korupsi mulai membaik dibandingkan dengan dalam pemerintahan lalu. Meskipun masih tebang-pilih, katanya. PRAMONO
Sumber: Koran Tempo, 27 September 2007