Indonesia Harus Atur Norma-norma UNCAC untuk Jerat Koruptor Canggih

Pelaksanaan Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) di Indonesia masih mengecewakan. Indonesia baru sebatas meratifikasi UNCAC dalam UU No. 7 Tahun 2006, namun belum mengadopsi norma-norma konvensi ke dalam hukum Indonesia. Padahal, mengatur UNCAC dalam hukum Indonesia dapat menjerat koruptor yang semakin canggih berkelit dari jerat hukum. Dengan telah meratifikasi UNCAC, tak pelak Indonesia juga terikat konsekuensi yuridis untuk segera mengaturnya ke dalam undang-undang.

ICW mencatat lima hal untuk perbaikan pelaksanaan UNCAC, yaitu: untuk menjerat peningkatan kekayaan yang asal-usulnya tidak sah dan mencurigakan (illicit enrichment), mengatur hukuman untuk perdagangan pengaruh (trading in influence), penghapusan pasal gratifikasi, penghapusan unsur ‘kerugian negara’, dan disparitas vonis koruptor di Indonesia.

“Pemerintah harus serius mengimplementasikan norma-norma UNCAC sebagai bentuk komitmen pemberantasan korupsi. Hal ini juga sebagai konsekuensi yuridis bahwa kita sudah meratifikasi UNCAC,” jelas peneliti ICW Tama S. Langkun dalam jumpa pers di kantor ICW, Minggu (8/12) lalu.

Selain itu, posisi KPK harus diperkuat. “Wewenang KPK sebaiknya diatur Undang-undang Dasar,sehingga ada jaminan konstitusi terhadap KPK. Ini untuk menghindari serangan-serangan lebih gencar pada 2014,” jelas Roby Arya Brata, pengamat antikorupsi dan Pendiri Kelompok Kajian Korupsi di Negara-negara Asia pada kesempatan yang sama.

Illicit enrichment

Illicit enrichment adalah kekayaan yang asal-usul keabsahannya tidak dapat dijelaskan. Dalam UNCAC, norma tentang illicit enrichment tecantum pada Pasal 20. “Pengaturan perampasan aset belum maksimal, makanya kita harus mengatur illicit enrichment,” ujar peneliti ICW Tama S. Langkun dalam kesempatan yang sama.

Sebenarnya, semangat mengatur illicit enrichment sudah berusaha dituangkan dalam UU Tipikor. Namun, ada 4 hambatan utama dalam merampas kekayaan para terpidana korupsi, yaitu: perampasan kekayaan koruptor hanya dapat dilakukan terhadap barang yang digunakan, atau diperoleh dari korupsi, atau barang yang menggantikannya. Selain itu, penggantian kerugian negara tidak maksimal, masih ada celah hukum untuk tidak membayar uang pengganti, dan pembuktian yang sulit.

Harapan mulai muncul saat UU No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) lahir. “Tapi tetap sulit merampas kekayaan penyelenggara negara yang mencurigakan yang tidak mencuci uang. Harta kekayaannya tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban di depan hukum,” jelas Tama.

Trading in influence

Konsep trading in influence (memperdagangkan pengaruh) diatur UNCAC dalam pasal 18. Definisi memperdagangkan pengaruh adalah janji, permintaan, penawaran, atau pemberian kepada pejabat publik atau orang lain untuk mendapatkan keuntungan yang tidak semestinya untuk dirinya sendiri atau orang lain, sehingga orang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya untuk menghasut.

“Contohnya, kasus korupsi kuota impor daging sapi yang menjerat mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq,” jelas Tama.

Partai politik, salah satu lembaga terkorup versi Barometer Korupsi Global Transparansi Internasional, menjalankan perdagangan pengaruh yang perlu mendapat perhatian serius. “Jika yang menjual pengaruh penyelenggara negara atau pegawai negeri, ia bisa diproses delik suap. Namun bagaimana jika pelakunya bukan pejabat? UU Tipikor kita nyaris menemui jalan buntu,” tukas Tama.

Tren sekarang menunjukkan banyak pengurus dan ketua umum parpol yang keluar dari struktur formal pemerintahan, baik lingkaran eksekutif maupun legislatif, namun masih dapat menjual pengaruh untuk merampas dana bagi parpol secara ilegal.

Menghapus pasal gratifikasi, menutup celah berkelit koruptor

ICW juga mengusulkan perbaikan untuk mengatur gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara, terutama yang terdapat dalam pasal 12 C UU Pemberantasan Tipikor No. 20 Tahun 2001. Pasal ini menjadi celah hukum yang potensial digunakan oleh penerima suap untuk lepas dari jerat pidana.

Pasal 12 C dalam UU ini rawan disalahgunakan oleh penerima suap. Sebab, asalkan si penerima suap melapor dalam jangka waktu 30 hari sejak menerima gratifikasi, maka unsur pidananya hilang.

“Pasal ini seolah memberikan kekebalan bagi penerima gratifikasi, asal dia melaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak menerima gratifikasi,” keluh Tama. Hal ini pernah terjadi dalam kasus Tommy Hindratno yang tertangkap tangan oleh KPK, namun berdalih baru akan melaporkan suap tersebut kepada KPK.

“Delik yang sudah selesai dilakukan, artinya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut sudah menerima gratifikasi, hilang unsur pidananya ketika ia melaporkan pemberian pada KPK,” jelas Tama.

“Sebaiknya pasal gratifikasi dilebur saja dengan pengaturan pasal suap,” saran Roby.

Roby juga menekankan 4 kasus korupsi besar yaitu Bank Century, Hambalang, Operasi Tangkap Tangan Akil Mochtar, dan SKK Migas, menghasilkan pelajaran untuk upaya pemberantasan korupsi ke depannya, yaitu: pengaturan tentang pasal suap dan gratifikasi harus juga mengatur pihak ketiga yang menerima atau memberi suap.

Bank-bank di Indonesia harus transparan dan diawasi dalam memberikan Fasilitas Pemberian dan Jaminan Pinjaman (FPJP). “Kasus BLBI dan Kasus Century adalah contoh betapa pentingnya pengaturan ini,” tegas Roby.

Penghapusan unsur “merugikan keuangan negara”, menghindari koruptor lolos dari jerat hukum

Pengaturan tentang korupsi yang merugikan keuangan negara, diatur UU Tipikor No. 31 Tahun 1999 dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3. Meski hanya dua pasal, namun ini favorit aparat untuk menjerat pelaku korupsi yang diduga telah merugikan negara.

Dalam praktek, unsur “merugikan keuangan negara” (khususnya Pasal 2 dan 3 UU Tipikor), sayangnya seringkali menimbulkan masalah. “Pertama, ketika jaksa tidak berhasil membuktikan kerugian negara telah terjadi, meskipun unsur melawan hukum telah terbukti. Ini dapat berdampak pada bebasnya pelaku korupsi, baik karena dihentikan penyidikan atau dibebaskan oleh hakim pengadilan,” terang Tama.

Contohnya, sejumlah kasus korupsi kakap yang ditangani kejaksaan seperti kasus korupsi pengadaan access fee Sisminbakum di Kementerian Hukum dan HAM, pengadaan kapal tanker pertamina (VLCC) dan korupsi di PT Texmaco dihentikan penyidikannnya (SP3) hanya karena tidak ditemukan unsur merugikan negara.

Kewenangan menghitung kerugian keuangan negara juga jadi soal. Selama ini yang dinilai berwenang menghitung adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). “Di luar kedua institusi tersebut, misalkan hitungan auditor independen atau penuntut umum seringkali ditolak hakim,” aku Tama. “Proses penghitungan juga memakan waktu cukup lama, bahkan sering berlarut-larut dengan sejumlah alasan.”

“Unsur ‘merugikan keuangan negara’ harus dibahas dengan serius, karena penghitungan kerugian keuangan negara kerap menghambat proses hukum kasus korupsi. Sering terjadi proses hukum terhambat karena belum adanya hasil audit dari BPK atau BPKP terkait jumlah kerugian negara suatu kasus, contohnya adalah Kasus Hambalang,” saran Tama.

UNCAC sendiri tidak mengenal konsep “merugikan keuangan negara”, karena ada kerugian-kerugian lain yang bersifat imateriil namun tak kalah penting, misalnya kerusakan alam.

Disparitas putusan perkara korupsi masih terlalu jauh

Catatan ICW periode semester 1 2010 sampai semester 1 tahun 2013 menunjukkan vonis bagi koruptor masih rendah. Dari 756 terpidana yang berhasil terpantau, rata-rata vonis berkisar antara 2,1 tahun sampai 5 tahun.

Disparitas atau jarak yang jauh antara putusan-putusan perkara korupsi bukan hal yang baru. Contohnya vonis Urip Tri Gunawan 20 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta, adalah vonis terberat untuk kasus korupsi yang menjerat penegak hukum. “Vonis ini jauh berbeda dengan rata-rata vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam 3 tahun terakhir,” kata Tama.

Salah satu penyebab disparitas putusan adalah belum adanya aturan penjatuhan sanksi pidana. Kejaksaan dan KPK belum memiliki pedoman penuntutan yang berstandar. Misalnya, penuntutan jaksa didasarkan pada besar kecilnya kerugian negara.

Tidak adanya pedoman ini juga membikin hakim punya kebebasan menentukan jenis, cara pelaksanaan, dan tinggi rendahnya pidana. Ini membuka kemungkinan vonis jauh berbeda untuk perkara yang delik atau kerugian negaranya hampir serupa.

“Mencegah disparitas putusan juga sangat sulit, Mahkamah Agung saja menjadikan ini isu krusial,” kata Tama. “Kita perlu mendorong Mahkamah Agung agar menginstruksikan para hakim mempertimbangkan yurisprudensi, sehingga hakim punya standar dalam memberikan hukuman.”

Yurisprudensi (preseden) dapat menguntungkan pemberantasan korupsi karena mampu menunjang pembaharuan serta pembinaan hukum. Namun, sifat  yurisprudensi dalam tata sumber hukum di Indonesia sendiri tidak mengikat hakim untuk menggunakannya untuk perkara serupa.

Integritas proses rekrutmen pejabat publik juga harus ditingkatkan. “Kasus suap Akil Mochtar adalah preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Ini ‘kan awalnya dari rekrutmen yang tidak berintegritas,” tutur Roby.

Roby juga berpendapat sebaiknya Mahkamah Konstitusi tidak memutus uji materi yang berkaitan dengan lembaganya sendiri, sehingga ada kontrol atas kinerja MK.

Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan kekuatan masyarakat sipil yang terorganisasir harus turut melawan korupsi. “Supaya masyarakat bisa mengawasi pemberantasan korupsi dan proses hukumnya,” tukas Bahrain.

Bahrain juga menuturkan buruknya peraturan hukum yang ada, dapat diimbangi dengan aparat penegak hukum yang baik. “Ketika keduanya sudah korup, peran masyarakat sipil harus semakin besar untuk mengontrol dan mengawal,” imbuhnya.

Pemerintah dan DPR tidak komitmen memberantas korupsi?

Komitmen pemerintah dan DPR dalam upaya pemberantasan korupsi layak dipertanyakan. Keberhasilan Indonesia hanya sebatas meratifikasi UNCAC dan menghasilkan banyak rencana aksi dan strategi nasional pemberantasan korupsi. “Pemerintah dan DPR bahkan belum menyelesaikan RUU Tipikor meskipun disepakati masuk dalam Program Legislasi Nasional sejak 2009,” tukas Tama. Pemerintah dan DPR juga harus memprioritaskan RUU Perampasan Aset.

Nampaknya, DPR dan pemerintah juga tidak menilai Revisi UU Tipikor penting. Dampaknya, banyak koruptor kakap masih lolos dan Indonesia masih bercokol sebagai salah satu negara terkorup versi Transparency International.

Unduh Evaluasi Implementasi UNCAC dan Kinerja Antikorupsi 2013 oleh Roby Arya Brata, Ph.D.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan