Indonesia Darurat Mafia; Kemenangan Anggodo adalah Kemenangan Mafia untuk Hancurkan KPK

Pernyataan Pers

Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang memenangkan Anggodo Widjojo (19/4) adalah kabar buruk bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ancaman serius terhadap upaya memerangi Mafia Hukum. Hakim seolah lupa dan mengesampingkan sejumlah fakta, kemarahan masyarakat Indonesia, dan bahkan tidak peduli dengan segala upaya menghancurkan KPK yang terus terjadi hingga hari ini.

Hakim dinilai terjebak dan tersesat dalam teks-teks hukum yang dibangun oleh pihak Anggodo dan sejumlah saksi ahli yang selama ini justru punya catatan sebagai pembela kasus korupsi. Padahal, seharusnya hakim yang bersih dari Mafia Peradilan mempertimbangkan sisi hukum yang lebih substansial, lebih mementingkan rasa keadilan publik, dan melihat lebih luas adanya serangan sistematis terhadap KPK dan upaya pemberantasan mafia. Wajar rasanya jika publik mengutuk keras putusan yang memenangkan Anggodo tersebut.

Darurat Mafia
Yang terjadi hari ini adalah, pengadilan seolah bergerak berlawanan dengan upaya memerangi mafia dan pemberantasan korupsi. Dalam kondisi “Darurat Mafia”, sangat janggal dan mencurigakan jika pengadilan justru memenangkan kekuatan mafioso yang pada akhirnya akan berakibat serius terhadap buruknya masa depan pemberantasan korupsi. Padahal, dari awal sudah diyakini, dibalik proses hukum dua pimpinan KPK (Bibit dan Chandra) ada sebuah bangunan skandal rekayasa. Setidaknya fakta persidangan Mahkamah Konstitusi yang memperdengarkan rekaman penyadapan KPK dan temuan Tim 8 yang dibentuk Presiden, menguatkan dugaan rekayasa dalam kasus tersebut. Dan, berbicara tentang rekayasa, tidak ada aktor lain yang mampu melakukannya selain para mafia, baik yang ada di institusi penegak hukum, advokat, ataupun pihak swasta yang ingin menghambat pengungkapan kasus korupsi di KPK.

Karena itulah, Koalisi lebih melihat “kemenangan” Anggodo dalam kacamata yang lebih luas. Mulai dari fakta bahwa serangan balik terhadap KPK tidak pernah berhenti; konsolidasi kekuatan mafia yang selalu berupaya menghancurkan semua upaya pemberantasan korupsi; proyek “kuda troya” untuk membajak KPK melalui seleksi pimpinannya (dengan membuang pimpinan yang dianggap tidak sejalan); hingga kondisi “Darurat Mafia” ketika institusi penting bangsa ini dikuasai dan dibawah cengkraman kekuatan mafioso.

Akibat lain putusan kontroversial ini, sejumlah kasus korupsi kelas kakap yang sekarang sedang ditangani oleh KPK terancam penuntasannya. Seperti penanganan kasus Century yang melibatkan mafia politik, mafia perbankan dan mafia hukum; kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI yang melibatkan sejumlah anggota DPR-RI dan mafia bisnis yang selama ini tak tersentuh hukum; kasus di Departemen Sosial dan Departemen Kesehatan yang melibatkan mantan menteri dan sejumlah pejabat; kasus PLN yang menjerat mantan Direktur Utama PLN; dan, bahkan keberlanjutan kasus Anggodo hingga menjerat makelar kasus di tubuh Mabes Polri dan petinggi Kejaksaan Agung;

SKPP lemah
Selain keraguan dan kecurigaan publik terhadap hakim PN Jakarta Selatan, putusan tersebut tidak bisa dipisahkan dari dugaan SKPP yang didisain lemah dari awal. Dengan kata lain, SKPP memang sudah diperkirakan dapat menyandera KPK, hingga sewaktu-waktu bisa “diancam” oleh siapapun, termasuk Anggodo untuk tidak memproses kasus-kasus tertentu. Sehingga, wajar jika Koalisi berpendapat, SKPP itu sendiri rentan dimanfaatkan untuk kepentingan mafia yang tidak pernah berhenti mendelegitimasi KPK. Jika dicermati, alasan penghentian penuntutan dua pimpinan KPK justru ditekankan pada alasan “sosiologis”, bukan alasan “perkara ditutup demi hukum” sebagaimana dimaksud Pasal 140 ayat (2) butir (a) KUHAP.

Maka, tentu saja, Kejaksaan Agung tidak bisa lepas tangan. Institusi ini harus bertanggungjawab. Kecuali Kejaksaan sudah sejalan dengan kepentingan mafia hukum untuk ikut menghancurkan KPK. Tanggungjawab Kejaksaan tersebut seharusnya diwujudkan dalam hal sederhana seperti pengajuan banding ke PT DKI Jakarta dengan memperkuat argumentasi hukum, bahwa yang dimaksud alasan sosiologis di SKPP tersebut lebih bermakna sama dengan “perkara ditutup demi hukum” seperti diatur di KUHAP. Sehingga, SKPP tersebut tidak dinyatakan batal, dan tetap sah.

Pengadilan Tipikor
Di sisi lain, kasus Anggodo  saat ini sudah diajukan ke proses penuntutan, dan dalam waktu dekat akan diproses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Dugaan kejahatan yang dilakukan adalah tindak pidana suap, menghalang-halangi proses pemeriksaan pidana korupsi SKRT, dan permufakatan jahat. Proses di pengadilan Tipikor ini dinilai jauh lebih penting didorong untuk membuktikan apakah Anggodo adalah korban pemerasan seperti yang didalilkan dalam permohonan pra-peradilan dan keyakinan hakim PN Jaksel, atau sebaliknya, sebagai aktor yang punya inisiatif melakukan suap terhadap pimpinan KPK. Jika suap dan rekayasa yang dilakukan Anggodo dan jaringannya terbukti, maka seharusnya klaim pengacara Anggodo bahwa mereka diperas runtuh dengan sendirinya.

Lebih dari itu, forum Pengadilan Tipikor dinilai lebih bersih dari virus Mafia Peradilan, ketimpang melanjutkan kasus dua pimpinan KPK yang dinilai cacat dari awal. Rekayasa proses hukum, konsolidasi kekuatan mafia yang ingin menhancurkan KPK, dan kemenangan kekuatan anti pemberantasan korupsi sudah seharusnya dilawan dan dihentikan. Dan, pengadilan tingkat banding sangat diharapkan memahami konteks yang lebih mendalam dibalik aktor Super Anggodo dan SKPP tersebut.

OLEH KARENA ITU, KAMI MENUNTUT:
1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

§  Bertindak lebih aktif, untuk mengajukan Anggodo sebagai terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan secara serius membuktikan dua hal:

  1. Dugaan percobaan penyuapan terhadap pimpinan KPK untuk mempengaruhi proses hukum Anggoro Widjojo dalam kasus korupsi SKRT;
  2. Adanya rekayasa proses hukum terhadap dua pimpinan KPK dalam berbagai bentuk, mulai dari inisiatif pemberian uang, komunikasi dengan sejumlah penyidik dan pejabat kepolisian, surat pencabutan cekal palsu, dan dugaan gratifikasi terhadap pejabat di Kejaksaan Agung.

§  Bertindak tegas membela pimpinan atau staff KPK yang dikriminalisasi.

   2. Kejaksaan Agung
Mempertanggungjawabkan penerbitan SKPP yang dinilai lemah dari awal, dengan cara:

  1. Mengajukan banding;
  2. Membuktikan bahwa yang dimaksud alasan sosiologis adalah “alasan perkara ditutup demi hukum” seperti dimaksud Pasal 140 ayat (2) butir (a) KUHAP, sehingga SKPP sah dan tidak dibatalkan.

2. Hakim banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Tidak ikut “skenario lupa” terhadap proses panjang rekayasa penghancuran KPK, dan tidak bergerak secara berlawanan dengan perang terhadap mafia dan pemberantasan korupsi.

 4. Pemerintah
tetap serius membersihkan berbagai institusi penegak hukum dari mafia dan praktek kotor korupsi

Jakarta, 20 April 2010

Koalisi Masyarakat Sipil

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan