Indonesia Bebas Korupsi

Menjelang Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember 2011,masalah korupsi masih menjadi pekerjaan rumah yang harus kita tuntaskan. Namun, bukan berarti kita tidak punya capaian sama sekali.

Adalah benar, korupsi belum tuntas diberantas, tetapi bukan berarti semua ikhtiar kita dalam memberantas korupsi sia-sia belaka ataupun hanya jalan di tempat. Data korupsi yang sekarang muncul tidak hanya bisa dilihat dari segi persoalan, tapi juga dapat dibingkai dari kacamata pencapaian.

Regulasi Lebih Baik
Betul bahwa aturan antikorupsi kita belum sempurna. Lagi pula, pastilah tidak ada peraturan yang tanpa cacat. Namun, kita juga harus adil menilai,dibandingkan dengan masa sebelum reformasi, regulasi antikorupsi kita jauh lebih baik. Undang-Undang (UU) Antikorupsi jelas telah mengalami perbaikan beberapa kali. Terakhir dengan diratifikasinya Konvensi PBB Antikorupsi.

Saat ini Kemenkumham— bersama-sama dengan KPK—sedang memfinalisasi draf RUU Antikorupsi. Terkait regulasi, UU KPK,UU Pengadilan Tipikor, UU Keterbukaan Informasi Publik,UU Tindak Pidana Pencucian Uang—yang bahkan diubah dengan UU TPPU yang baru, UU Ombudsman,serta UU Perlindungan Saksi dan Korban. Di luar UU diterbitkan pula regulasi antikorupsi Peraturan Presiden tentang Pengalihan Bisnis TNI.

Selama ini kita terfokus pada belum sempurnanya regulasi, yang memang tidak dapat dibantah karena tidak ada aturan yang sempurna.Sebab itu, UU Antikorupsi, UU PSK misalnya sedang dipersiapkan draf perubahannya,sehingga akan lebih baik. Namun, di tengah upaya untuk terus melakukan perbaikan, kita juga harus mensyukuri, regulasi antikorupsi kita telah membaik dibandingkan masa sebelum reformasi.

Institusi Lebih Baik
Di samping regulasi, institusi antikorupsi kita lebih lengkap dan baik. Sebut saja KPK, Pengadilan Tipikor, PPATK, LPSK, Ombudsman, Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, Komisi Informasi—termasuk Mahkamah Konstitusi yang terus mengawal regulasi semangat antikorupsi melalui keputusannya yang terus menghadang serangan para koruptor.

Benar bahwa beberapa institusi korupsi harus ditingkatkan efektivitas kerjanya. Banyak yang menyoal kinerja Pengadilan Tipikor—khususnya di daerah, LPSK,Kompolnas, Komisi Kejaksaan, dan lembaga antikorupsi lainnya. Namun, di balik persoalan efektivitas kinerja institusiinstitusi antikorupsi tersebut, penilaian yang fair harusnya diberikan.

Dibandingkan era sebelum reformasi, institusi antikorupsi kita sekarang lebih baik. Keberadaan KPK, PPATK, Mahkamah Konstitusi jelas membawa angin segar. Wilayah dan pelaku korupsi yang dulu tak tersentuh (untouchable), sekarang sudah tidak lagi bisa tidur nyenyak. Mantan menteri, mantan Kapolri, anggota DPR/DPRD, kepala daerah sekarang sudah tidak lagi kebal dengan penegakan hukum antikorupsi.

Ke depan setiap pengisian jabatan strategis di kementerian dan lembaga harus memperhatikan analisis laporan harta kekayaan yang dimiliki KPK, laporan analisis rekening yang dimiliki PPATK, dan laporan pembayaran pajak yang dimiliki Ditjen Pajak.

Partisipasi Publik Lebih Baik

Sistem antikorupsi pascareformasi tidak hanya ditandai dengan membaiknya regulasi dan institusi, tapi yang tidak kalah pentingnya adalah partisipasi publik yang semakin luas dan efektif untuk melakukan pengawasan. Partisipasi dilakukan oleh semua elemen masyarakat mulai dari lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dunia perguruan tinggi, hingga mahasiswa.

LSM semacam Indonesia Corruption Watch setiap hari lebih nyaring menyuarakan agenda pemberantasan korupsi, bersama-sama dengan Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT), Fakultas Hukum UGM. Di luar itu tentu ada pula Masyarakat Transparansi Indonesia serta lembaga swadaya masyarakat lainnya. Di daerah-daerah, lembaga semacam ICW tumbuh subur bak jamur di musim hujan.

Meskipun, perlu pula diberi catatan, tidak sedikit ada pula LSM abal-abal yang dibentuk justru dengan praktik yang koruptif. LSM demikian bukanlah menjadikan garda depan pemberantas korupsi, melainkan justru menjadi pelaku korupsi itu sendiri, dengan modus pemerasan berdasarkan kasus yang mereka advokasi. Kepada LSM abal-abal demikian, penertiban harus dilakukan dengan tegas.

Pers Lebih Bebas
Sistem antikorupsi yang lebih baik dari sisi regulasi, institusi dan partisipasi publik tersebut, menjadi lebih efektif dengan semakin tingginya tingkat kebebasan pers.Tanpa pemberitaan kasus korupsi yang lebih marak seperti sekarang, pengawasan atas perilaku koruptif tidak akan pernah efektif. Bagaimanapun publik bisa mengontrol kasus korupsi melalui partisipasi jurnalisme investigatif yang akurat.

Di tengah kebebasan pers yang terus meningkat,tantangan agar pers tetap independen dan profesional juga meningkat tajam.Kekuasaan pers juga adalah kekuasaan yang tidak boleh nihil kontrol. Akuntabilitas atas kerja pers tetap harus menjadi standar kerja yang tidak bisa ditawar. Karena itu, efektivitas kerja Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia harus terus ditingkatkan.

Di sisi lain prinsip dasar kebebasan pers berupa keberagaman isi (diversity of content) dan keberagaman kepemilikan (diversity of ownership) tidak boleh ditawar. Tidak boleh dibiarkan kepemilikan media dimonopoli oleh pemilik modal tunggal, apalagi hanya berafiliasi kepada organisasi politik tertentu. Kekuatan politik tentu absah mempunyai media, namun harus dengan tetap membuka ruang pengaturan kepemilikan yang jelas, dan pemberitaan yang berimbang.

Tantangan ke Depan
Di tengah berbagai tantangan perbaikan regulasi, efektivitas institusi, partisipasi publik yang harus tetap antikorupsi, serta pers yang harus dijaga independensi dan profesionalitasnya, ikhtiar antikorupsi kita tetap membawa kabar baik. Berita baik teranyar adalah indeks persepsi korupsi (IPK) kita yang meningkat menjadi 3,0 pada 2011. Itu berarti dalam tujuh tahun,sejak 2004,IPK kita naik 1 poin.

Sekilas itu adalah capaian yang rendah.Namun, jika dibandingkan dengan 10 negara ASEAN, kenaikan 1 poin itu adalah kenaikan tertinggi di seluruh negara ASEAN. Sebagai perbandingan pula, tren kenaikan kita lebih baik dibandingkan China yang sering dijadikan acuan keberhasilan.

China pernah naik 1,3 poin dalam 16 tahun (1995—2010), sementara kita naik 1 poin hanya dalam tujuh tahun. Bahkan dalam rentang waktu yang sama, 2004 ke 2011, China hanya naik 0,2 poin, dari 3,4 ke 3,6.Sedangkan kita dalam rentang waktu yang sama—sekali lagi—naik 1 poin. Meskipun naik 1 poin dan tertinggi di antara banyak negara, utamanya di ASEAN, tantangan pencegahan dan pemberantasan korupsi kita tetap tinggi.

Di bidang regulasi, pengaturan terkait antibenturan kepentingan (conflict of interest), pembatasan pembayaran tunai (non-cash payment) dan perampasan aset haram (unexplained wealth) belum ada, dan karenanya perlu dilahirkan. Di bidang implementasi, banyak persoalan yang harus dibenahi di antaranya praktik politik uang yang masih marak serta komersialisasi lisensi—khususnya izin pertambangan—harus segera ditindak tanpa pandang bulu.

Per September 2011, tercatat 4.485 izin tambang yang dikategorikan bermasalah (non-clean and clear). Maka, sambil mensyukuri capaian, termasuk IPK yang sekarang ada pada poin 3—kita harus terus melakukan pemberantasan korupsi tanpa henti. Karena itu, dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Semarang pada 9 Desember, di hadapan Presiden, Kementerian Hukum dan HAM akan melaporkan berbagai capaian dan tantangan pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Tema besar acara tersebut adalah, ”Terus Berjuang Berantas Korupsi”. Ke depan Indonesia harus bebas dari korupsi serta tidak ada tempat untuk koruptor. Meskipun untuk menuju ke sana perjuangan pasti tidaklah mudah,namun kita harus terus optimistis.Keep on fighting for the better Indonesia.
DENNY INDRAYANA Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 6 Desember 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan