Indeks Suap Indonesia Peringkat Empat
Praktik suap agaknya tak hanya dilakukan pejabat. Hasil survei terbaru Transparency International (TI) menunjukkan perusahaan-perusahaan Indonesia cenderung memberi suap saat menjalankan bisnis di luar negeri.
Dari daftar Indeks Pembayar Suap (Bribery Payers Index/BPI) yang terdiri atas 28 negara, Indonesia menempati peringkat keempat daftar pengusaha yang gemar memberi suap untuk memuluskan urusan bisnisnya.Namun, survei ini tidak menjelaskan di negara mana saja pengusaha Indonesia ditengarai kerap memberi suap.
Menurut Manajer Tata Kelola Ekonomi Transparansi Internasional Indonesia Franky Simanjutak, kecenderungan membayar suap ini merupakan gabungan antara kebiasaan yang dilakukan di Indonesia dan lemahnya hukum di negara tempat mereka berbisnis.”Jika pengusaha Indonesia berbisnis di negara yang hukumnya longgar, kecenderungan memberi suap ini semakin tinggi.
Tetapi jika mereka berbisnis di negara yang aturannya ketat, kecenderungan itu menurun,” ungkap Franky,kemarin. Survei yang melibatkan 3.000-an eksekutif perusahaan ini menunjukkan indeks penyuapan Indonesia mencapai 7,1. Sebagai perbandingan,Rusia, China, dan Meksiko (tiga negara terbawah) masingmasing memiliki Indeks Pembayar Suap 6,1; 6,5; dan 7.Dalam survei tersebut,TI menetapkan poin indeks paling tinggi yakni angka 10 yang berarti tidak pernah melakukan suap.
Sedangkan indeks paling buruk ditandai dengan angka 0 yang berarti sering menyuap. Negara dengan tingkat paling sedikit melakukan praktik suap yaitu Belanda dan Swiss dengan poin masing-masing 8,8. Sementara Inggris berada di peringkat kedelapan dengan indeks 8,3,tepat berada di atas Amerika Serikat (AS) dan Prancis masing-masing di angka 8,1 dan 8,0. Lewat hasil survei ini,TI menyerukan kepada komunitas internasional untuk melakukan langkah tegas bagi perusahaan yang membayar suap.
”Para pemimpin G-20 harus segera mencegah praktik suap di luar negeri. Investigasi dan hukuman harus ditingkatkan,” kata Ketua TI Huguette Labelle. Anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat mengatakan, apa yang dilansir TI adalah cerminan apa yang ada diIndonesia. Ketika pengusaha terbiasa menyuap di dalam negeri, hal itu terbawa ketika pengusaha tersebut ke luar negeri.
”Karena dipikir dengan uang semuanya lancar. Ketika aksi suap biasa dilakukan di luar negeri,mereka akhirnya cenderung menyuap,” kata politikus Partai Gerakan Indonesia Raya ini kemarin. Martin mengungkapkan, apa yang dilakukan pengusaha Indonesia tersebut jelas memperburuk citra Indonesia di luar negeri,sehingga keburukan tersebut harus dihilangkan. Indonesia harus membuat sistem yang memungkinkan seorang pengusaha tidak menyuap untuk melancarkan bisnisnya.
Peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, pengusaha melakukan penyuapan adalah fenomena lazim yang terjadi di Indonesia. Kendati demikian dia mengakui bahwa tidak semua pengusaha melakukan praktik suap untuk memperlancar bisnisnya.”Dalam beberapa kasus korupsi,ada beberapa pengusaha yang memangmenggunakan kemampuan finansialnya memengaruhi kebijakan,” katanya. BBC/Rtr/
Sumber: Koran Sindo, 3 November 2011
-------------
SURVEI TRANSPARENCY INTERNATIONAL
Pebisnis Indonesia Gemar Menyuap
Perilaku tercela pengusaha Indonesia diungkap oleh Transparency International. Lembaga ini menempatkan mereka pada posisi gemar menyuap ketika berbisnis di luar negeri. Posisinya berada di urutan keempat berdasarkan Bribery Payers Index.
"Indeks ini hanya menggambarkan tren di kalangan pengusaha ketika berbisnis di luar negeri," ujar Manajer Tata Kelola Ekonomi Transparency Internasional Indonesia Franky Simanjuntak kepada Tempo kemarin.
Dalam indeks tersebut, pengusaha Rusia dinilai paling rendah dengan skor 6,1, diikuti pebisnis Cina dengan skor 6,5, dan usahawan Meksiko dengan skor 7,0. Sedangkan pengusaha Indonesia mendapatkan skor 7,1.
Semakin rendahnya indeks menunjukkan bahwa para pengusaha semakin sering menyogok untuk melancarkan usaha. Lembaga ini menempatkan para pebisnis Belanda (skor 8,8), Swiss (8,8), disusul Belgia (8,7), sebagai pengusaha paling bersih dan rendah dalam kasus penyuapan.
Menurut Franky, hasil survei ini menjadi peringatan kepada para pengusaha Indonesia. Bila perilaku buruk itu tak dihilangkan, kepercayaan negara lain dalam menjalin bisnis dengan pengusaha Indonesia bisa luntur.
Survei dilakukan terhadap 3.000 pebisnis yang masuk kategori antikorupsi. Hasilnya, penyuapan terbanyak terjadi saat pengusaha ingin memenangi kontrak kerja di proyek-proyek yang menyangkut publik. Menurut laporan itu, negara-negara maju diminta ikut menindak perusahaan yang melakukan praktek suap saat berbisnis.
"G-20 (20 negara kelompok utama dunia) bisa menghambat praktek suap sesegera mungkin, karena kondisinya sudah darurat," kata Huguette Labelle, anggota Dewan Pimpinan Ketua Transparency International.
Survei juga membeberkan bahwa penyuapan biasa dipraktekkan negara-negara dengan integritas rendah dalam memberantas korupsi. Sektor yang menjadi ladang subur penyuapan adalah pengadaan barang untuk proyek publik serta proyek yang melibatkan banyak subkontraktor. Proyek perumahan juga cenderung memiliki tingkat penyelewengan tinggi. Sektor bisnis yang memiliki indeks terendah ialah kontrak minyak dan gas, seperti yang terjadi di Rusia dan Cina.
Kalangan pebisnis Indonesia ragu terhadap validitas survei tersebut. "Saya bingung karena tidak dijelaskan di negara mana kami melakukan praktek itu," ujar Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Chris Kanter.
Survei tersebut, kata dia, tidak bisa digeneralisasi kepada seluruh pengusaha. Apalagi banyak negara memiliki aturan ketat dan tak memungkinkan praktek suap terjadi. "Di negara-negara Eropa, Amerika, dan Singapura, sangat sulit suap dilakukan."
Lagi pula, kata Chris, para pengusaha Indonesia tidak tertarik berinvestasi di luar negeri. Para pengusaha lebih banyak berbisnis di dalam negeri. "Ada memang (pengusaha di luar negeri), tapi tidak banyak, dan itu mereka berada di negara yang hukumnya sangat ketat."ALI NY | DIANING SARI | FERRY FIRMANSYAH | ABDUL RAHMAN
Sumber: Koran Tempo, 3 November 2011