Impeachment Hakim, Muskilkah?

Dalam dua ratus tahun sejarah Amerika Serikat, tercatat 11 hakim Pengadilan Federal dan satu hakim Mahkamah Agung telah dikenai dakwaan impeachment. Dari jumlah tersebut, tujuh hakim telah dinyatakan bersalah dan diberhentikan dari jabatannya.

Kasus impeachment terakhir yang memberhentikan Hakim Walter L Nixon pada tahun 1989 bahkan sempat berlangsung berlarut-larut. Hakim Nixon yang sudah masuk penjara menolak untuk mundur dari jabatannya dan mengajukan perlawanan ke Mahkamah Agung dengan alasan impeachment terhadap dirinya inkonstitusional.

Perlawanan Hakim Nixon sendiri akhirnya ditolak oleh MA AS, dan dia harus menghabiskan waktunya di penjara. Peristiwa ini bisa memberi pelajaran bagi kita bahwa pemberhentian hakim bukanlah sebuah hal yang gampang untuk dilakukan kendati sudah ada aturan yang jelas tentang hal itu. Pelajaran ini penting bagi kita untuk mencermati perseteruan antara Mahkamah Agung (MA) dengan Komisi Yudisial (KY) yang sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 23 Agustus 2006.

Cabang kekuasaan keempat?
Kelahiran KY dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tidak bisa dilepaskan dari keprihatinan akan muramnya dunia peradilan di Indonesia dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Hal ini kemudian tercermin lebih lanjut dalam pembentukan UU Nomor 22 Tahun 2004, di mana KY diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi, termasuk pemberhentian hakim. Bisa terbaca besarnya harapan pembentuk undang-undang dan masyarakat agar KY bisa membersihkan dunia peradilan Indonesia dari anasir-anasir korup.

Harapan tersebut tentu mulia adanya, tetapi dalam konteks struktur ketatanegaraan Indonesia harapan itu diterjemahkan secara kurang tepat. Pertama, jikalau sanksi pemberhentian terhadap hakim dimaknai sama dengan proses impeachment hakim federal di AS, hal itu tidak bisa diterapkan. Karena, menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 7A, hanya Presiden dan Wakil Presiden saja yang bisa diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usulan DPR. Hal ini berbeda dengan Konstitusi AS yang mengatur bahwa hakim federal juga termasuk pejabat publik yang bisa di-impeach.

Kedua, konsep impeachment terhadap hakim adalah salah satu terjemahan dari konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers) di mana antarcabang kekuasaan terdapat sebuah proses pengawasan dan penyeimbangan (check and balances). Kalaupun diasumsikan KY diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan dalam kerangka check and balances, maka pemikiran tersebut juga mengandung masalah, karena tugas tersebut hanya bisa dijalankan oleh badan Legislatif dan Eksekutif terhadap Yudikatif. Jikalau KY adalah organ pendukung MA tentu tidak tepat jika dia menjalankan check and balances terhadap MA sebagai organ utamanya, sedangkan di sisi lain KY juga tidak diposisikan secara jelas sebagai organ pendukung pemerintah ataupun DPR. Ataukah KY sudah menjelma menjadi cabang kekuasaan keempat dalam struktur ketatanegaraan kita?

Dalam konteks inilah putusan MK pada tanggal 23 Agustus 2006 harus dipahami, bahwa harapan kita untuk melihat seorang hakim biasa atau hakim agung diberhentikan ala impeachment oleh KY adalah tidak mungkin dalam konteks ketatanegaraan Indonesia. MK telah keluar dengan keputusan yang tepat bahwa hubungan MA serta KY harus dipahami dalam konteks check and balances, dan dalam hal ini hubungan check and balances tidak bisa berlangsung antara MA dan KY.

Bisa dipahami bahwa putusan MK tidak disambut gembira oleh banyak pihak yang ingin melihat anasir-anasir korup di MA bisa dibersihkan oleh KY. Kalaupun dalam hal ini MK dianggap tidak peka terhadap aspirasi masyarakat, kesalahan terbesar tidak bisa ditimpakan kepada MK. Kesalahan terbesar haruslah dialamatkan kepada para politisi di MPR yang dulu melakukan perubahan atas UUD 1945, karena mereka telah memasukkan sebuah lembaga baru bernama KY tanpa memikirkan secara mendalam tentang posisi dan peran KY dalam konteks ketatanegaraan Indonesia. Lebih lanjut lagi para legislator di DPR yang melahirkan UU KY juga harus bertanggung jawab karena telah merumuskan kewenangan KY yang tidak tepat dalam konteks check and balances.

MK juga sudah mengambil tindakan yang tepat dengan mengembalikan permasalahan ini kepada Presiden dan DPR untuk mengambil langkah-langkah penyempurnaan UU KY dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang menyangkut peradilan terpadu.

Masalah mendasar dari fenomena perseteruan MA-KY adalah hilangnya proses check and balances terhadap MA sebagai pemegang kekuasaan Yudikatif. Di negara yang sangat ketat dengan penerapan pemisahan kekuasaan seperti di AS, check and balances terhadap MA diterjemahkan dengan ketentuan bahwa seorang Presiden mempunyai hak penuh untuk menominasikan hakim agung yang kemudian harus disetujui oleh Senat, dan hakim federal di AS bisa di-impeach oleh Senat.

Sementara di Indonesia, karena trauma dari kekuasaan Presiden yang besar di masa Orde Baru, dengan serta-merta kewenangan Presiden untuk menominasikan hakim agung dihilangkan. Jadilah kemudian MA mengusulkan pengangkatan hakim agung sendiri dan baru belakangan muncul KY yang diberi kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung. Secara teoretis bisa dikatakan bahwa MA merupakan cabang kekuasaan yang tidak bisa diimbangi dan diawasi lagi oleh cabang kekuasaan lainnya, terlebih ketika fungsi pengawasan KY sendiri tidak jelas. Masalah inilah yang seharusnya menjadi pekerjaan rumah untuk diselesaikan oleh DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang.

Pada tahun 1937, Presiden AS Franklin Delano Roosevelt gelisah melihat sepak terjang para hakim agung yang konservatif dan tidak bersimpati pada program reformasi ekonomi pemerintah. Roosevelt pun akhirnya mengusulkan RUU Reorganisasi Peradilan (Judicary Reorganization Bill 1937) yang tujuannya adalah membersihkan MA dari anasir-anasir konservatif. Tindakan tersebut mungkin bisa dianggap sebagai ancaman terhadap independensi peradilan, tetapi tindakan Roosevelt juga bisa dimaknai sebagai upaya cabang kekuasan Eksekutif untuk mengimbangi kekuasaan Yudikatif dalam kerangka konstitusional.

Bagaimana cerita di Indonesia, kita masih harus menunggu langkah yang akan diambil oleh Presiden dan DPR, setelah MK melempar bola kepada mereka.

Hendri Kuok Kandidat Doktor, University of Washington School of Law, Seattle

Tulisan ini disalin dari Kompas, 25 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan