Imigrasi Siap Cekal Bachtiar Chamsyah

Setelah Dinyatakan Tersangka Kasus Korupsi Mesin Jahit

Setelah penetapan bekas Menteri Sosial (Mensos) Bachtiar Chamsyah sebagai tersangka korupsi pengadaan mesin jahit dan sapi impor, bola penyidikan KPK terus menggelinding. Tim penyidik KPK kemarin (2/2) memulai memeriksa sejumlah pejabat teknis. Selanjutnya, pemeriksaan dikerucutkan ke tersangka utama.

Juru Bicara KPK Johan Budi S.P. mengatakan, penyidikan kasus itu dimulai dengan memeriksa tiga pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian Sosial/Kemensos (dulu Depsos). Mereka diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Bachtiar. "Kami memulai pemeriksaan kepada para pegawai, baru bergerak ke dalam (Bachtiar),'' jelas Johan di gedung KPK kemarin.

Menurut Johan, langkah itu bisa mem­berikan gambaran lebih jelas bagi para penyidik perihal dugaan korupsi yang menyeret tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersebut. "Kalau semuanya jelas, barulah Pak BC (Bach­­tiar Chamsyah) akan kami panggil,'' terangnya.

Kasus yang menyeret eks Mensos itu sesungguhnya telah diselidiki KPK sejak akhir 2007. "Awalnya, ada laporan masyarakat yang setelah ditelaah dilimpah­kan ke meja penyelidikan,'' jelas mantan wartawan tersebut. Untuk mengumpulkan bukti, lanjut Johan, penyelidik diam-diam turun ke daerah. Misalnya, KPK memastikan apakah mesin jahit yang dibeli dengan dana APBN itu benar-benar diterima yang berhak atau diselewengkan. Kabarnya, KPK mencermati dua daerah. Antara lain, Lampung dan Jatim. "Banyak yang tidak sesuai dengan peruntukan,'' ungkap Johan.

Kasus terus bergulir, termasuk di tingkat penyelidikan. Tim penyelidik KPK juga telah memeriksa Bachtiar Chamsyah sendiri. "Yang bersangkut­an juga banyak kami korek keterangannya soal itu," katanya.

Tetapi, Johan tidak menjelaskan lebih detail peran Bachtiar dalam kasus tersebut. Dia membantah tudingan bah­wa Bachtiar dijadikan target utama pengusutan kasus itu.

Tudingan itu muncul karena, biasanya, dalam penanganan skandal pengadaan barang dan jasa, KPK lebih dulu menetapkan pejabat tingkat operasional sebagai tersangka. Misalnya, kepala bagian perencanaan. Selanjutnya, pengusutan bergerak ke direktur jenderal (Dirjen), lantas ke menteri. KPK biasanya juga tidak lupa meminta tanggung jawab rekanan.

Namun, dalam kasus itu, KPK lebih dulu membidik menteri sebagai penanggung jawab. "Ya kalau ada dua alat bukti yang cukup, pasti kami minta pertanggungjawaban," ucapnya.

KPK beralasan tidak semua pengusutan kasus korupsi bergerak dari pinggir. Dalam kasus pengadaan alat kesehatan (alkes) pada 2003 di Depkes, KPK juga bergerak dengan lebih dulu meminta pertanggungjawaban mantan Menkes Achmad Sujudi.

Johan mengungkapkan, selama peng­usutan kasus itu, KPK belum menerima pengembalian uang korupsi. La­zim­nya, dalam penanganan skandal pengadaan barang dan jasa, KPK menerima pengembalian banyak dana. Itu berasal dari para pejabat yang merasa diuntungkan oleh proyek tersebut.

Hingga kemarin, KPK belum mela­yang­kan larangan bepergian ke luar negeri atau mencekal Bachtiar. Direktur Penyidikan dan Penindakan Ditjen Imigrasi Depkum HAM Muchdor me­nyatakan, belum menerima surat permintaan dari KPK. "Begitu ada, hari itu juga kami cegah," ujar Muchdor di kantornya kemarin.

Sebagaimana diberitakan, KPK menetapkan Bachtiar Chamsyah sebagai tersangka korupsi program pengentas­an kemiskinan. Menurut penyelidikan KPK, proyek pengadaan mesin jahit pada 2004 yang menelan anggaran Rp 51 miliar merugikan negara Rp 24 miliar. Proyek impor sapi pada 2006 yang menghabiskan anggaran Rp 19 miliar merugikan negara Rp 3,6 miliar. Selain Bachtiar, KPK masih mem­bidik penanggung jawab lain.

Begitu mendengar kabar ditetapkan sebagai tersangka, Bachtiar langsung menunjuk pengacara. Enam pengacara akan mendampingi dirinya menjalani pemeriksaan. Ketuanya Fauzie Yusuf Hasibuan. "Pak Bachtiar tersenyum setelah menerima kabar (penetapan ter­sangka). Beliau bilang, mungkin ini salah, Fauzie," katanya kemarin.

Fauzie membantah tudingan bahwa kliennya menerima dana dari proyek pengadaan itu. "Beliau (Bachtiar) berani bersumpah tidak ada sepeser pun dana yang diterima," ujarnya.

Menurut Fauzie, kliennya hingga ki­ni belum menerima surat pemberitahuan resmi dari KPK terkait dengan penetapan tersangka tersebut. Lazimnya, kata Fauzie, seseorang diperiksa terlebih dahulu di tingkat penyidikan, baru ditetapkan sebagai tersangka. "Saya tidak tahu, tapi semua itu kewenangan KPK," katanya.

Fauzie mengungkapkan bahwa Bachtiar sama sekali tidak tahu pengadaan barang dan jasa itu. Proses pengadaan semacam itu biasanya diurus oleh bagian perencanaan atau direktorat jenderal yang membawahkan proyek pengadaan mesin jahit dan sapi impor, yakni Ditjen Bantuan Sosial (Bansos). "Untuk proyek-proyek semacam itu, Dirjen Bansos yang lebih tahu. Pak Bachtiar itu urusannya banyak. Tak mung­kin mengurusi hal-hal teknis se­macam itu," ujarnya. (git/agm)

Kader Demokrat Belum Tersentuh
Kasus Korupsi Mesin Jahit dan Impor Sapi

SELAIN mantan Mensos Bachtiar Chamsyah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membidik sejumlah pejabat dan mantan pejabat Kementerian Sosial (Kemensos) yang menangani pengadaan mesin jahit dan impor sapi. Salah satunya adalah mantan Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial (Banjamsos) Amrun Daulay.

Proyek pengadaan mesin jahit dan impor sapi berada di bawah kendali Direktorat Pemberdayaan Fakir Mis­kin. Direktorat itu merupakan bagian dari Ditjen Banjamsos.

Sebelum menjadi anak buah Bach­tiar, Amrun menjabat Sekda Pemprov Sumut pada 1997 hingga 2002. Akhir 2002, pria kelahiran Sibolga itu lantas dipromosikan menjadi Dirjen Banjamsos Depsos (kini Kemensos). Amrun menjadi pejabat eselon satu hingga pensiun pada 2006. Artinya, saat kasus itu terjadi pada 2004 dan 2006, dia adalah pejabat yang tahu betul seluk-beluk proyek tersebut.

Setelah pensiun, Amrun masuk Partai Demokrat. Dia bahkan mencalonkan diri sebagai wakil rakyat le­wat dapil II Sumut. Dia sukses di pe­milu dan kini menjadi anggota Komisi II DPR.

Saat ditemui di gedung DPR kemarin (2/2), Amrun irit komentar. Dia enggan menjelaskan posisinya dalam kasus tersebut. Dia bahkan tampak gugup berhadapan dengan wartawan. Buktinya, saat hendak di­potret, lelaki bertubuh subur itu me­nepis kamera dan tergesa-gesa masuk ke ruang rapat komisi.

Namun, dia menyatakan pernah dipanggil KPK untuk diperiksa dalam kasus tersebut. ''Saya sudah menje­laskan semua (kepada KPK, Red),'' ujar lelaki berkumis tipis itu.

Menurut Amrun, kasus tersebut sudah selesai. Sebab, semua sudah ditangani KPK. ''Saya sudah nggak ma­salah dengan itu. Semua sudah selesai ya,'' tegasnya.

Bukan hanya Amrun yang masih me­lenggang bebas. Di bawah dia, ter­dapat direktur pemberdayaan fakir miskin. Direktur itulah yang memiliki proyek pengadaan sapi dan mesin jahit tersebut.

Ketika Amrun menjadi Dirjen, direktorat tersebut dipegang Mul­yana Macasin. Namun, jabatan Mulyana hanya seumur jagung. Berdasar informasi yang diterima Jawa Pos, Mulyana di-nonjob-kan, kemudian diberhentikan saat kasus itu sempat mencuat pada 2005.

Pengadaan mesin jahit dan sapi impor tersebut juga memunculkan nama Kasubdit kala itu, yakni Yus­rizal. Yusrizal adalah bawahan Mulyana dan masih aktif sebagai pegawai negeri sipil (PNS) saat proyek mesin jahit dan sapi tersebut dilakukan. Bahkan, saat Mulyana di-nonjob-kan, Yusrizal menggantikannya sebagai direktur pada 2006. Pada tahun yang sama pula, Direktorat Pem­berdayaan Fakir Miskin dipindah di bawah Direktorat Pemberdayaan Sosial. (aga/agm)

Beli Peretelan Biar Lebih Murah

MESIN jahit dan sapi impor bakal menjadi sandungan serius bagi mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Apalagi, mesin jahit tersebut diimpor dalam bentuk peretelan. Itu agar margin harga beli dan jual lebih banyak. Untung besar bisa diraup.

Sumber di Kementerian Sosial menyebutkan, pengadaan mesin jahit itu bermula dari pemberhentian hubungan kerja (PHK) masal pada 2004 di sejumlah pabrik garmen. Saat itu Depsos (sekarang Kemensos) berinisiatif memberdayakan mantan pekerja garmen dengan memberikan mesin jahit.

Mesin jahit itu bermerek Jitu. Mesin itu sebenarnya dari merek Jepang, Juki. Namun, mesin itu diimpor ke Indonesia dalam bentuk peretelan. Begitu masuk ke Indonesia, mesin jahit itu dirangkai kembali dan diberi merek baru bernama Jitu. ''Itu agar harganya lebih murah,'' kata sumber itu sambil mewanti-wanti agar namanya tak dikorankan.

Harga asli mesin jahit Juki sekitar Rp 6 juta. Namun, karena diimpor dalam bentuk pecahan, harga per unit jadi Rp 1,1 juta. Pemenang tender, PT Lasindo (Ladang Sutera Indonesia, pemegang merek Jitu) lantas merakitnya dan memberi harga jual Rp 3,250 juta. Selisih harga beli dan harga jual itu sempat diprotes sejumlah pihak. Sebab, ada kerugian negara Rp 2,1 juta per tiap unit mesin jahit yang disalurkan.

Sumber di kementerian pimpinan Salim Segaf Al Jufri itu menambahkan, pengadaan mesin jahit dan sapi tersebut tidak sekadar pengadaan. Mesin jahit dan sapi disalurkan kepada fakir miskin untuk diberdayakan. Mesin jahit, misalnya. Mesin itu dibagikan kepada Kube (Kelompok Usaha Bersama) agar mampu memproduksi produk garmen. ''Dari situ ada pengusaha yang membeli dan menjualkannya,'' katanya.

Begitu pula sapi impor jenis Brahman cross steer. Sapi itu tidak diserahkan begitu saja. Sapi itu menjadi media pemberdayaan fakir miskin. ''Dipelihara oleh fakir miskin, kemudian ada pengusaha yang membelinya dengan harga yang bagus,'' katanya.

Karena itu, Depsos memilih menunjuk langsung pelaksananya. Sebab, tak banyak perusahaan yang mau bekerja sama dengan perjanjian yang rumit. ''Umumnya ingin pengadaan saja. Tanpa mau kerja sama untuk membeli kalau masyarakat fakir miskin sudah mampu berproduksi,'' katanya.

Namun, dia buru-buru menambahkan bahwa penunjukan langsung itu hanya sekali dilakukan untuk mesin jahit. ''Pengadaan mesin jahit dilakukan lagi pada 2005, tapi gagal. Sedangkan pada 2006 sudah melalui lelang,'' katanya.

Apakah Bachtiar Chamsyah menerima komisi hasil perjanjian itu? Sumber itu mengaku mendengar kabar tersebut. Dia menyebut jumlahnya sekitar Rp 750 juta. Uang itu diberikan sebagai rasa terima kasih karena proyek itu lolos. Namun, Bachtiar tidak menerima langsung. ''Pengusaha pemenang tender menyerahkannya ke yayasan milik Pak Bachtiar,'' katanya.

Namun, saat kasus itu mencuat pada 2005, Bachtiar takut. Dia lantas mengembalikan uang itu ke pengusaha tersebut. Bachtiar bahkan sempat me-nonjob-kan Yusrizal yang saat itu menjabat direktur Pemberdayaan Fakir Miskin. Bachtiar menduga Yusrizal terlibat. ''Pak Bachtiar kesal karena merasa ditipu,'' katanya.

Saat dikonfirmasi, Kepala Biro Humas Kementerian Sosial Heri Krissritanto enggan berkomentar. Menurut dia, semua informasi telah diberikan kepada KPK. ''Kita ikuti saja proses hukumnya. Biar hukum yang menentukan salah benarnya,'' katanya.(aga/nw)

Karena Proyek Sapi Ditunjuk Langsung

KEPALA Biro Humas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Dwita Pradana mengatakan, hasil audit BPK memang selalu diserahkan kepada aparat penegak hukum, baik KPK, kepolisian, maupun kejaksaan. ''Selama ini, banyak temuan yang sudah ditindaklanjuti dan diproses secara hukum,'' ujarnya.

Berdasar data yang dihimpun Jawa Pos, kasus mesin jahit di Depsos diungkap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam audit sampai semester II Tahun Anggaran 2005. Audit tersebut menghasilkan 70 temuan pemeriksaan di Departemen Sosial Rp 287,89 miliar. Dari jumlah itu, 63 temuan senilai Rp 189,28 miliar telah ditindaklanjuti.

Temuan BPK itu, antara lain, inefisiensi anggaran pada pengadaan mesin jahit dan sapi potong. Pada 2004 Depsos bekerja sama dengan PT Ladang Sutera Indonesia (Lasindo) untuk pengadaan 6.000 mesin jahit senilai Rp 19,49 miliar.

Audit BPK menemukan program bantuan mesin jahit tersebut tidak tepat sasaran, di antaranya kepada pemilik usaha konveksi di Jawa Timur dan Sumatera Utara. Padahal, bantuan mesin jahit berspesifikasi kecepatan tinggi dengan konsumsi arus listrik tinggi itu sebenarnya ditujukan membantu masyarakat miskin yang kapasitas listrik di rumahnya tidak mencukupi untuk operasi mesin jahit tersebut.

Karena tidak tepat sasaran dan tidak tercapainya tujuan program, BPK menemukan anggaran Rp 10,63 miliar dalam program pengadaan mesin jahit tersebut tidak efektif.

Sementara itu, proyek pengadaan sapi potong di Depsos merupakan bagian dari program bantuan sosial fakir miskin yang dilaksanakan pada 2004. Proyek tersebut didanai APBN 2004. Namun, berdasar hasil audit BPK diketahui bahwa proyek itu dilaksanakan melalui mekanisme penunjukan langsung dan hanya menggunakan surat dari Pemimpin Bagian Proyek Bansos Fakir Miskin (Dir Bangsos Fakir Miskin No: 48 D/BP-BSFM/IX/2004 tgl 9 September 2004).

Audit BPK juga menemukan adanya indikasi program yang tidak tepat sasaran. Dalam proyek itu, 2.800 ekor sapi jenis Steer Brahman Cross/BX didatangkan dari Australia dengan harga per ekor Rp 6,96 juta. Hanya, PT Atmadhira Karya yang ditunjuk Depsos sebagai rekanan justru menjual 1.599 ekor sapi secara sepihak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada Direktorat BSFM, Depsos.

BPK juga menemukan adanya keterlambatan pengiriman dan penerimaan yang tidak sesuai dengan surat perjanjian borongan (SPB) bertanggal 8 November 2004. Sementara itu, realisasinya baru dilakukan minggu kedua Mei. Audit BPK juga menyebut masih ada tunggakan sapi sebanyak 900 ekor. (owi)

Pengadaan Barang-Jasa Mudah Terlacak KPK

HINGGA saat ini skandal pengadaan barang dan jasa ibarat "ladang basah" bagi penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apa pun jenis proyeknya, begitu lembaga antikorupsi itu masuk, hampir pasti bisa menjerat tersangka. Komisi menilai korupsi di sektor ini seperti tak pernah habis.

Juru Bicara KPK Johan Budi S.P. mengakui bahwa pengusutan kasus korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa memang paling mudah terlihat. "Ini paling mencolok dan mudah terlihat. Ada indikasi mark-up harga saja, KPK bisa bergerak," kata Johan kemarin (2/2).

Menurut dia, sebagian besar penyelenggara negara yang diusut KPK juga terjerat kasus pengadaan barang dan jasa. "Hampir 70 persen mereka kena di sektor ini," jelasnya.

Umumnya mereka adalah penyelenggara negara di tingkat operasional. Di antaranya kepala bagian perencanaan dan direktur jenderal. Meski demikian, ada juga beberapa kasus yang pengusutannya dilakukan hingga level menteri. Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto mengibaratkan mengusut kasus korupsi sektor pengadaan barang dan jasa itu semudah mencari ikan di Danau Semayang, Kalimantan Timur.

Sampai akhir 2009, KPK menghitung 44 kasus korupsi di sektor itu, dan sedikitnya telah merugikan negara Rp 689 miliar. Modus yang paling sering digunakan adalah penunjukan langsung. Di KPK, modus ini mencapai 94 persen dari seluruh kasus pengadaan yang ditangani. Tapi, dalam perjalanan penyidikan, KPK menemukan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat hingga penerimaan gratifikasi. "Ini yang menjadi persoalan," ucapnya.

Modus lain yang acapkali digunakan adalah penggelembungan harga perkiraan sendiri (HPS). Lihat saja, dalam dugaan korupsi alat-alat kesehatan di Depkes pada 2003. (git/nw)

PPP All Out Bela Bachtiar

PARA petinggi DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyatakan terkejut atas ditetapkannya mantan Mensos Bachtiar Chamsyah sebagai tersangka dugaan kasus korupsi. Partai berlambang Ka'bah itu akan menyiapkan tim bantuan hukum atas kasus yang menimpa ketua majelis pertimbangan pusat (MPP) mereka.

''Jelas partai akan memberikan pembelaan kepada kadernya. Apalagi, ini Pak Bachtiar,'' ujar Ketua DPP PPP Lukman Hakim Saifuddin di gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin (2/2). Secara pribadi, Lukman termasuk yang kaget atas penetapan Bachtiar sebagai tersangka dugaan kasus korupsi sapi impor dan mesin jahit oleh KPK tersebut.

Lukman menyatakan, partainya saat ini mendalami kasus tersebut. Selain melakukan pembicaraan secara khusus di internal partai, mereka sudah membuat jadwal bertemu dengan Bachtiar. Tujuannya, mengetahui persoalan yang sebenarnya langsung dari sumbernya. ''Di negara hukum, kami akan tetap menggunakan asas praduga tak bersalah terhadap kasus beliau,'' tandasnya.

Keterkejutan yang sama juga disampaikan Wasekjen DPP PPP M. Romahurmuzy. Selama ini dia meyakini, integritas Bachtiar Chamsyah tidak perlu diragukan. ''Beliau ini pribadi bersih, sederhana, dan bersahaja,'' belanya.

Selain Bachtiar beberapa politisi PPP terjerat perkara korupsi, baik yang ditangani KPK maupun kejaksaan. Sebut saja, Al Amin Nasution yang tersangkut perkara kasus pembangunan Pelabuhan Tanjung Api Api, di Sumatera Selatan. Ada pula, Endin A.J. Soefihara yang tersangkut kasus dugaan suap pemilihan deputi senior gubernur BI pada 2004. Selanjutnya ada anggota Komisi III DPR Dimayati Natakusumah. (dyn/nw)

Sumber: Jawa Pos, 3 Februari 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan