Imigrasi, Berat Tugas Miskin Sarana

Lolosnya sejumlah koruptor ke luar negeri tak pelak lagi tentulah menimbulkan pertanyaan bagaimana mereka lolos melewati pintu Imigrasi, yang oleh undang-undang ditugasi untuk menjaga pintu gerbang negara. Bahkan Imigrasi sendiri mengklaim dirinya dengan semangat sebagai 'penjaga gerbang negara yang berwibawa'.

Melorotnya wibawa dan kinerja Imigrasi apakah karena perilaku petugas atau manajemen atau kepemimpinan institusi. Paling mudah memang menjadikan human error sebagai biang keladi karena korbannya petugas bawah, semisal petugas imigrasi di bandara.

Sedangkan eselon atas tinggal berkilah dalam konferensi pers dan untuk mempertahankan jabatan mengumbar janji perbaikan yang notabene tak kunjung diwujudkan, sampai ada kebobolan atau kecelakaan berikutnya.

Secara profesional dan universal tugas pokok imigrasi yang utama ialah memfilter orang-orang yang keluar masuk melintasi batas wilayah negara. Tugas ini juga merepresentasikan kedaulatan dan kewibawaan negara sehingga harus dilakukan secara tepat, akurat, dan bersih alias steril dari KKN.

Tidak heran jika di negara-negara Eropa tugas keimigrasian ini dipikul polisi perbatasan yang bersenjata. Untuk berkompromi dengan mereka amat mustahil, terutama jika nama kita muncul dalam daftar cekal. Di mana-mana imigrasi terkenal kaku jika berurusan dengan orang bermasalah dan ramah jika Anda no problem. Untuk bisa melaksanakan tugasnya dengan baik tentulah petugas di pintu gerbang negara itu harus dibekali sistem dan peralatan yang memadai sehingga dengan cepat dan akurat dapat mengidentifikasi setiap orang yang berlalu lalang dari dan ke luar negeri.

Idealnya 133 buah pos pemeriksaan dan unit-unit kerja lainnya di seluruh Indonesia harus terhubung secara on line satu sama lain dengan kantor pusat, sehingga jika tersangka koruptor si Fulan mencoba kabur dari Medan atau Entikong, upayanya akan terganjal karena tempat-tempat tersebut menerima instruksi cekal secara serentak.

Saat ini belum ada satu pun pos pemeriksaan yang terhubung secara on line bahkan antara Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng dengan kantor pusat di Jalan Kuningan yang jaraknya cuma 30 km masih main faks atau instruksi pakai telepon. Upaya untuk menghubungkan seluruh unit tugas imigrasi telah diusulkan pimpinan, namun biayanya amat besar yakni 230 jutaan dolar Amerika atau setara dengan Rp2 triliun.

Proyek ini populer dengan nama Simkim (Sistem Informasi Keimigrasian). Mahalnya biaya teknologi informasi ini mungkin disebabkan pimpinan Imigrasi terobsesi dengan sistem informasi di negara-negara kaya seperti Australia atau Singapura.

Hitungan biaya ini agak sulit dicerna logika karena sebelumnya pemerintah Spanyol bersedia memberi pinjaman sebesar US$25 juta, tetapi ditolak mantan Menkeh Yusril Ihza Mahendra karena dianggap berbau mark-up. Mungkin karena itulah proyek ini sudah 10 tahun tidak selesai. Poin lain yang dijadikan alasan untuk mengegolkan proyek itu ialah karena Imigrasi memasukkan devisa lumayan banyak ke kas negara melalui penerimaan biaya imigrasi seperti biaya paspor serta biaya visa on arrival yang sudah jutaan dolar dikantongi negara. Namun perlu diingat, Imigrasi bukanlah instansi pencari duit untuk negara seperti Bea Cukai atau Pajak. Tugas pokoknya adalah menjaga jangan sampai negara kebobolan orang-orang yang tidak diinginkan masuk atau ke luar negeri.

Sebagai upaya alternatif Imigrasi menggarap rancangan database cekal dengan bantuan Australia. Belum jelas keampuhan proyek ini, sedangkan aspek security dan harga diri bangsa menjadi taruhan karena urusan kunci pintu rumah sendiri diserahkan ke tetangga.

Komputer Imigrasi di Soekarno-Hatta yang pernah disidak Presiden SBY beberapa waktu lalu merupakan cerminan kondisi Imigrasi saat ini. Tua, lambat, tidak responsif, tidak mampu memberikan sinyal alternatif jika entry-nya salah pencet, tidak ada foto orang yang terkena cekal dalam data base-nya dan tidak mampu berkoordinasi karena beroperasi secara sendirian (stand aloan). Maklum umurnya sudah 15 tahun!

***

Jumlah daftar cekal di seluruh pos Imigrasi pasti tidak sama karena ada yang menerima melalui faks, pos, atau karung diplomatik dari perwakilan RI di luar negeri. Dewasa ini teknologi informasi identifikasi yang terkoneksi sebenarnya dapat dioperasikan dengan biaya terjangkau, mudah, dan dapat dipercaya.

Ambisi untuk mengoneksikan seluruh unit dapat diwujudkan asal dilakukan secara prioritas dan bertahap. Dengan banyaknya pilihan sistem dan peranti yang tersedia di pasar, biayanya pasti dapat ditanggulangi asal tidak ada penggelembungan. Saya yakin pasti tidak perlu triliunan rupiah begitu!

Achmad Djuneidi, tersangka korupsi Jamsostek, barangkali tidak akan lolos jika saja fotonya muncul di bandara, meskipun dia gonta-ganti nama atau data diri. Dan foto tersebut sebenarnya dimiliki Imigrasi pada waktu dia membuat paspor. Lalu apa susahnya memindahkan image foto itu ke komputer di bandara di zaman serbainternet ini? Kalau dihitung-hitung jumlah orang yang dicegah ke luar negeri itu sampai dengan Juni ini hanya 552 orang dan yang ditangkal masuk Indonesia 5.768 orang. Transaksi ini tidak rumit bagi komputer zaman ini asal database-nya bagus. Apalagi jika database-nya keren, dilengkapi data sidik jari atau retina mata.

Namun penempatan foto saja dalam komputer sudah akan sangat memudahkan petugas. Tentunya wewenang ini ada di tangan level pimpinan. Memang mudah menyalahkan Achmad Djuneidi karena memiliki sejumlah KTP, tetapi seharusnya pimpinan Imigrasi perlu sedikit lebih pintar dari koruptor dengan memberikan sistem, prosedur, dan peralatan yang jitu sehingga bawahan tidak selalu ketiban sial.

Faktor lainnya yang selalu menjadi kambing hitam ialah masalah kesejahteraan. Selalu ada keluhan terhadap pelayanan Imigrasi di bandara yang berkaitan dengan perilaku petugas. Ini adalah soal perut karena gaji tidak cukup, tempat kerja jauh perlu ongkos, jam kerja sampai malam perlu makan di kantor yang ujung-ujungnya perlu biaya. Sementara itu di depan mata petugas, puluhan ribu dolar uang kontan mengalir setiap hari ke kas negara melalui visa on arrival tanpa ada serupiah pun yang disisihkan untuk mereka!

Karena itu peluang memberikan jasa sekecil apa pun dimanfaatkan seperti proses pemeriksaan kolektif untuk rombongan tur dan umrah. Standar pemeriksaan Imigrasi seharusnya bersifat personal, tidak ombyokan, sehingga identitas orang per orang dapat diperiksa secara benar. Cerita lolosnya Adrian Woworuntu masih misterius dan mustahil ini terjadi tanpa bantuan petugas.

Banyak hal yang sebetulnya menjadi porsi tanggung jawab pimpinan sebelum dengan cepatnya menunjuk hidung bawahan yang notabene selalu dalam posisi terima salah, karena bos benar segalanya. Imigrasi butuh pimpinan yang memahami betul kondisi realitas pelaksanaan tugas pokoknya sampai ke detail, bukan pimpinan yang sekadar mengandalkan kemampuan melobi Menteri dan pucuk pimpinan negeri ini untuk merebut atau mempertahankan jabatan dengan menjual cerita Simkim yang berharga triliunan rupiah itu sebagai senjata pamungkas.

Seandainya jabatan Dirjen Imigrasi akan di-TPA-kan (tim penilai akhir) tak ada salahnya jika Menteri Hukum dan HAM atau tim TPA menguping dan mem-pooling suara bawahan, untuk mencari figur yang mampu mendongkrak kinerja Imigrasi. Ide ini memang tidak lazim di kalangan pemerintah namun siapa tahu beliau berkenan merenunginya.

Lukmiardi, bekerja di Direktorat Jenderal Imigrasi

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 19 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan