Illegal Logging
Illegal Logging. Kalimat asing ini begitu populer. Sangat sering terdengar. Sebab, itu sering dilontarkan banyak kalangan dalam berbagai forum. Awam mengartikannya dengan sederhana saja. Penjualan kayu tidak prosedural karena berasal dari pembabatan hutan dalam jumlah amat besar serta melanggar ketentuan HPH (hak penguasaan hutan). Bahkan, sebagian pembabatannya tergolong pencurian karena dilakukan orang-orang yang tidak berhak.
Tetapi, sebagaimana peristiwa-peristiwa berkategori ilegal lain yang berjumlah besar -dan melibatkan pemilik uang besar, cukong, pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan, dekat dengan aparat penegak hukum, dan orang-orang kuat lain- pelaku illegal logging itu sangat liat dan licin.
Simak saja berita koran ini kemarin. Di antara 20 nama cukong kayu yang diduga terlibat kejahatan illegal logging, hanya lima orang yang, menurut Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, bisa ditindaklanjuti untuk dilakukan langkah-langkah hukum.
Sedangkan 15 orang yang lain saat ini sudah tidak berada di tempatnya alias kabur. Bahkan, kata jaksa agung, nama-nama yang diserahkan Departemen Kehutanan (Dephut) pun sekadar nama. Datanya tidak lengkap.
Mengapa para penggarong kekayaan alam bumi Nusantara yang bernilai triliunan rupiah itu amat licin dan mudah kabur? Sama dengan para koruptor kelas kakap yang mencuri uang rakyat triliunan rupiah, sama dengan pembawa kabur bantuan likuiditas BI (BLBI), dan sama dengan para pelaku penyelundupan barang-barang mewah, tindakan kejahatan mereka dilakukan dengan cara persekongkolan. Istilah sekolahannya ialah konspirasi.
Dengan siapa persekongkolan itu diduga dilakukan? Sebagaimana korupsi besar dan penyelundupan gede-gedean, illegal logging itu melibatkan persekongkolan antara pelaku sendiri dan aparat kepolisian serta orang-orang yang dekat dengan pemegang otoritas resmi hutan alias pemerintah.
Bahkan, karena sebagian besar kayu-kayu curian tersebut dijual ke luar negeri melalui jalur laut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat menyebut-nyebut dugaan keterlibatan oknum TNI-AL di Armada Timur (Armatim) dalam illegal logging.
Karena itu, mustahil upaya pemberantasan illegal logging dilakukan dengan tindakan hukum yang standar dan biasa-biasa saja. Sebab, illegal logging termasuk kejahatan yang patut dikategorikan luar biasa (extraordinary crime). Maka, tindakan hukum yang dilakukan pun harus berkategori luar biasa pula.
Extraordinary crime seperti terorisme sudah memiliki penangkal berupa UU Antiterorisme, kasus-kasus korupsi dengan kerugian negara di atas Rp 1 miliar sudah diantisipasi dengan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewengangan dan tugas ad hoc (khusus).
Karena itu, berkaitan dengan kejahatan pencurian kayu besar-besaran -yang selain merugikan kekayaan bumi Indonesia juga merusakan lingkungan- yang nilai kerugian dan dampak buruknya sama dengan korupsi, penyelundupan, bahkan mungkin merupakan terorisme terhadap areal hutan, seharusnya kita telah memiliki instrumen hukum penangkal yang dapat menjerakan para pelakunya. Tanpa itu, illegal logging hanya jadi wacana yang berlalu begitu saja.
Tulisan ini merupakan tajuk rencana Jawa Pos, 25 Februari 2005