Iklim Investasi di Indonesia Tidak Ada Perbaikan
Perkembangan iklim investasi di Indonesia saat ini dinilai masih tidak lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Persoalan klasik seperti rumitnya birokrasi, ketidakpastian hukum dan inefisiensi menjadi persoalan yang menakutkan investor di Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian dan survei dari Foreign Investment Advisory and Search (FIAS), untuk berinvestasi di Indonesia membutuhkan 12 prosedur yang harus dilewati selama 161 hari untuk perizinan serta biaya registrasi yang sekitar 120 persen lebih mahal dari negara lain.
Ini adalah data yang menakutkan. Akan tetapi sudah ada hal baik yakni adanya komitmen dari pemimpin negara ini untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik, kata ekonom senior FIAS Russel Muir di sela acara seminar Improving Indonesia Investment Climate di Hotel Shangri-La, Jakarta, Rabu (16/11/2005).
Menurut Muir, Indonesia saat ini paling tidak memerlukan reformasi di bidang birokrasi yang radikal untuk memotong jalur-jalur birokrasi yang menghambat seperti masalah waktu perizinan.
Dicontohkan, untuk mendapatkan sebuah kontrak di Indonesia memerlukan 570 hari yang menjadi waktu tunggu ketika kontrak atau proyek tersebut dilaksanakan. Ini sangat berbeda dengan yang ada di Turki selama 27 hari dan Singapura yang hanya 20 hari.
Selain itu, kebanyakan waktu para investor di Indonesia dihabiskan untuk melakukan hal-hal yang tidak produktif dengan pertemuan pejabat negara atau kegiatan laiannya yang tidak ada hubungannya dengan investasi.
Meski pemerintah Indonesia dinilai sudah cukup baik dengan membentuk lembaga atau kelompok kerja di bawah Menko Perekonomian yang diharapkan bisa meningkatkan investasi, namun sangat disayangkan cara kerjanya.
Pasalnya, kelompok kerja ini tidak melibatkan menteri-menteri yang mempunyai kaitan langsung dengan faktor-faktor yang menghambat investasi seperti masalah kepastian hukum.
Tidak Efisien
Sementara itu Chief Economic Poverty Reduction and Economic Management East Asia and Pacific Region Bank Dunia, Homi Kharas, menyoroti masalah ketidakefisienan proses investasi di Indonesia.
Menurut Kharas, beberapa masalah besar yang harus dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah memotong jalur birokrasi yang menghambat.
Indonesia juga dinilai tidak lebih baik dari Filipina dalam hal birokrasi ini. Namun jika dibandingkan dengan Kamboja, masih lebih bagus.
Tapi seharusnya bukan sebagai ukuran karena kondisi sosial politik Kamboja yang buruk saat ini, kata Khares.
Sedangkan dalam biaya registrasi, Indonesia sangat buruk dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Misalnya biaya registrasi mendirikan bangunan Indonesia adalah yang paling mahal dibandingkan Vietnam, Thailand, Filipina, Kamboja, Cina dan Korea.
Yang harus menjadi sorotan juga adalah resistensi yang kuat dari birokrasi terhadap investor, sikap yang tidak produktif seperti budaya suap menyuap, korupsi dan hal negatif lainnya, masih menjadi kesempatan bagi para birokrat tersebut mencari keuntungan, papar Khares.
Bank Dunia juga telah melakukan penilaian terhadap kinerja pemerintah Indonesia dalam hal investasi dengan melakukan survei kepada para investor. Hasil penilaian tersebut menunjukkan kondisi Indonesia seperti stabilitas makro ekonomi, politik, regulasi dan perpajakan, keuangan, SDM, serta sarana dan prasarana, masih di bawah negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia dan Filipina.
Kebanyakan investor ragu-ragu karena ketidakpastian hukum dan politik di Indonesia dan belum lagi masalah-masalah eksternal lainnya seperti terorisme, tutur Khares. (ir)
Maryadi - detikFinance
Sumber: Detik.com, 16 November 2005