Ikahi Dikritik; KPK Diminta Jaga Kewibawaan Lembaga Negara
Sejumlah kalangan mengkritik keras Ikatan Hakim Indonesia. Ikahi dinilai telah membangun solidaritas ketakutan atau paranoid solidarity, sekaligus menjadi bukti resistensi hakim terhadap upaya pemberantasan praktik mafia peradilan di Mahkamah Agung yang sudah menjadi rahasia umum.
Kritik dilontarkan sejumlah lembaga antikorupsi dan pakar hukum kepada Kompas, Sabtu (12/11), menanggapi sikap Ikahi yang berencana akan mempraperadilankan Komisi Pemberantasan Korupsi atas penggeledahan di MA 27 Oktober 2005.
Kritik terhadap resistensi Ikahi dilontarkan Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Agung Hendarto, Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Teten Masduki, dan Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Uli Parulian Sihombing.
Sejumlah pakar hukum pun ikut mengkritik sikap Ikahi, seperti ahli hukum perbankan Pradjoto, pengamat hukum tata negara A Irmanputra Sidin, dan pakar hukum tata negara Denny Indrayana.
Sehari sebelumnya, juru bicara Ikahi Djoko Sarwoko, seusai rapat tertutup pimpinan MA dan pengurus Ikahi di Kantor MA, mengatakan, rapat tertutup itu membahas seputar penggeledahan di MA pada 27 Oktober, pemanggilan hakim agung yang menangani perkara Probosutedjo, dan hal lain. Ada beberapa alternatif yang dapat ditempuh MA, seperti mempraperadilankan KPK atau mengungkapkan proses penggeledahan yang cacat hukum di persidangan (Kompas 12/11).
Sikap yang ditunjukkan Ikahi, menurut sejumlah kalangan yang mengkritik, memperlihatkan modus atau pola perlawanan yang sama dari para hakim agung, seperti yang terjadi saat Endin Wahyudin melaporkan tiga hakim agung MA menerima suap. Endin melaporkan penyuapan itu ke Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ujung dari kasus Endin tersebut adalah pembubaran TGTPK oleh MA dan Endin dihukum karena dianggap mencemarkan nama baik ketiga hakim agung itu.
Teten mengatakan, Sikap hakim agung yang seperti ini harus menjadi perhatian dari lembaga donor yang sudah memberikan donor 50 juta dollar AS untuk pembaruan di MA. Sejak tahun 2002 MA sudah memiliki blue print untuk memperbarui MA, tetapi sikap hakim agung sekarang ini menjadi bukti kalau mereka tidak mau berubah, ujar peraih penghargaan Ramon Magsaysay ini.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana menyayangkan sikap Ikahi dan MA yang tidak mau memanfaatkan momentum ini sebagai upaya pembersihan MA, tetapi justru menunjukkan sosoknya yang sangat resisten terhadap pembersihan para hakim.
Pola resistensi hakim agung menunjukkan mereka sedang membangun paranoid solidarity. Sikap defensif yang ditunjukkan para hakim ini dengan cara menghadang KPK telah membuktikan kalau mereka termasuk pelaku. Logikanya, kalau para hakim tidak salah, buat apa mereka resisten begitu, tutur Denny.
Direktur Eksekutif MTI Agung Hendarto mengatakan, pemanggilan Ketua MA Bagir Manan untuk diperiksa KPK telah membuat kekhawatiran hakim. Kalau KPK bisa memeriksa seorang Bagir, apalagi hakim lain. Sikap resisten ini juga ditunjukkan oleh kejaksaan maupun asosiasi advokat. Mereka panggil orang yang diduga terima suap, ditanyai dan dibantah oleh orang itu. Lalu, lembaga itu membuat pernyataan kalau tidak ada yang terima suap, kata Agung.
Jaga wibawa
Reaksi berbeda disampaikan anggota DPR, Gayus Lumbuun (Fraksi PDI-P, Jatim V). Ia mengatakan pemanggilan Bagir Manan selaku ketua majelis hakim dinilai sebagai langkah yang tidak tepat. Pemanggilan tersebut dapat menyebabkan jatuhnya kehormatan fungsional dan kewibawaan MA sebagai salah satu lembaga kekuasaan negara.
Menurut Gayus, KPK seharusnya menjaga kewibawaan MA. Meskipun pemanggilan dilakukan sebagai pribadi, jabatan Ketua MA melekat dan menyatu dengan Bagir Manan.
Gayus menjelaskan, dalam menangani perkara tersebut KPK seharusnya tidak hanya memerhatikan aspek hukum pidana. KPK seharusnya memerhatikan hukum tata negara. KPK juga harus turut menjaga keharmonisan hubungan antarlembaga negara. KPK lebih bijak tidak memanggil Bagir ke Kantor KPK, tetapi mendatangi Bagir ke MA. Atau bisa mencari tempat yang netral, papar Gayus. (ana/vin)
Sumber: Kompas, 14 November 2005