Ihwal Subsidi Partai

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melempar wacana agar setiap partai politik disubsidi Rp 1 triliun dari APBN. Wacana ini bisa menimbulkan polemik baru di tengah maraknya resistensi publik terhadap partai politik.

Bak gayung bersambut, usul Mendagri diamini oleh mayoritas politisi di DPR. Pada umumnya mereka setuju karena peningkatan subsidi negara dipandang sebagai langkah untuk mencegah korupsi kader partai akibat besarnya kebutuhan organisasi.

Usulan Mendagri dan sekaligus respons para politisi terhadap gagasan ini mengonfirmasi realitas bahwa banyak kader partai korupsi untuk menghidupi partai. Padahal, fakta ini sebelumnya selalu ditolak ramai-ramai oleh para politikus.

Harus diakui, dalam sebuah negara demokratis, partai politik merupakan sebuah pilar. Keberadannya menentukan sendi-sendi yang lain. Dalam konteks ini, partai memiliki peran sentral yang amat strategis dalam sirkulasi demokrasi. Partai yang sehat akan membuat roda pemerintahan menjadi baik dan sebaliknya. Berbagai macam jabatan strategis pejabat negara, bahkan untuk hakim agung sekalipun, melalui mekanisme pelibatan partai secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, wajah pejabat negara saat ini sesungguhnya mewakili wajah sesungguhnya partai politik di negara ini.

Belakangan ini tidak bisa dibantah, partai seakan telah menjadi industri demokrasi. Padahal, jika melihat terminologi partai menurut UU, partai dimaknai sebagai organisasi bersifat nasional dan dibentuk oleh warga secara sukarela atas persamaan kehendak dan cita-cita membela bangsa dan negara.

Spirit sukarela dalam partai sudah nyaris punah. Sebagai industri demokrasi, partai digerakkan oleh mesin besar dan butuh bahan bakar yang amat banyak. Bahan bakar tersebut tak lain adalah uang atau pendanaan.

Marcus Mietzner (ANU, 2011) menilai, secara global telah terjadi perubahan paradigma dari partai massa (mass party) ke elektoral (electoralist party). Hal itu ditandai pengurangan jumlah anggota dan meningkatnya peran para konsultan yang profesional.

Cara paling mudah mengujinya adalah saat pemilu. Keberadaan massa ideologis sangat langka sehingga saat kampanye, mayoritas pendukung digerakkan dengan pancingan uang.

Kondisi ini tentu membawa konsekuensi logis pada upaya pengumpulan dana dan pengelolaan dana partai agar roda organisasi berjalan. Jika mengacu pada Undang-Undang Partai Politik (UU No 2/2011), setiap partai diperkenankan memperoleh pendanaan dari tiga sumber: (a) iuran anggota; (b) sumbangan yang sah menurut hukum; dan (c) bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBN/APBD).

Sumber-sumber yang diperkenankan tersebut kenyataannya belum bisa menyelesaikan problem keuangan partai. Kecenderungan yang terjadi selama ini, partai lebih mengandalkan sumbangan dari iuran anggota. Itu pun dari anggota yang sukses masuk ke parlemen atau menduduki jabatan di eksekutif dengan cara memotong gaji dan tunjangan mereka setiap bulannya.

Subsidi negara
Partai di Indonesia tidak terbiasa dan mampu menggunakan konsep public fundraising dalam memperoleh sumber pendanaan yang berasal dari masyarakat luas. Elite partai lebih suka mengumpulkan uang dari kader sendiri ataupun dana dari segelintir pengusaha, tetapi dalam jumlah besar. Gejala tersebut ditandai dengan masuknya pengusaha besar yang sudah mapan ke dalam struktur partai.

Partai kekurangan dana yang berasal dari sumber-sumber legal. Dana-dana yang dihimpun dari kader sendiri kenyataannya bercampur dengan sumber ilegal, seperti hasil korupsi.

Maka, di titik inilah yang menjadi pemicu maraknya korupsi yang melibatkan kader partai. Apalagi, persaingan internal di partai juga didasarkan pada seberapa besar uang yang disumbang kader kepada partai. Alhasil, tidak aneh apabila posisi kunci partai sering dipegang kader-kader yang kuat secara finansial.

Wacana Mendagri untuk meningkatkan subsidi negara kepada partai tentu harus dipikirkan secara matang dari semua aspek. Mulai dari segi kepatutan jumlah, pengelolaan, mekanisme pengawasan, dan pertanggungjawaban. Jika mengacu pada PP No 5/2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, setiap partai hanya memperoleh Rp 108 untuk setiap suara yang diperoleh dari pemilu sebelumnya. Secara keseluruhan, dalam APBN 2015 dianggarkan sebanyak Rp 13,17 miliar untuk semua partai yang memiliki kursi di DPR (Kompas, 10/3/2015).

Besaran subsidi Rp 108 per suara sesungguhnya sudah dimulai sejak 2005. Angka tersebut tentu tidak lagi relevan dengan kebutuhan dan belanja partai yang semakin bergerak tinggi. Apalagi, jika dihitung dengan rata-rata inflasi 6-8 persen setiap tahun. Maka, nilai Rp 108 per suara menjadi tidak lagi berarti untuk partai. Oleh karena itu, dari aspek kepatutan memang harus diakui subsidi Rp 108 tersebut saat ini sudah tidak lagi relevan. Namun, apakah jumlah peningkatannya sesuai dengan usulan Mendagri?

Jawabannya tentu tidak. Angka Rp 1 triliun setiap partai tanpa mempertimbangkan jumlah suara yang diperoleh dari pemilu tentu tidak logis. Apalagi jumlah tersebut berpotensi menimbulkan kecemburuan terhadap kekhususan yang ada, seperti partai lokal di Aceh.

Terlebih lagi faktanya masih banyak lembaga negara strategis yang dapat jatah dalam APBN kurang dari Rp 1 triliun setiap tahunnya, semisal Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, dan Komnas HAM. Artinya, formulasi penghitungan terbaik tetaplah dengan menggunakan formula jumlah perolehan suara dalam pemilu. Pemerintah tinggal menentukan jumlah paling pas untuk setiap satu suara yang diperoleh dari pemilu sebelumnya. Hal terpenting, peningkatan subsidi kepada partai harus dilakukan bertahap sembari menilai peningkatan tata kelola partai.

Bukan cek kosong
Jika peningkatan anggaran subsidi negara direalisasikan, pemerintah harus mendorong perubahan yang lebih baik terhadap partai. Dengan begitu, negara tidak memberikan cek kosong peningkatan anggaran saja. Setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan oleh pemerintah.

Pertama, mendorong perbaikan tata kelola keuangan partai. Saat ini sangat banyak pengurus di tingkat daerah/wilayah yang tidak memiliki laporan keuangan partai yang terkonsolidasi. Laporan keuangan hanya sebagai pemenuhan audit agar memperoleh subsidi APBD tahun berikutnya. Fakta tersebut pernah Indonesia Corruption Watch (ICW) temukan berdasarkan uji akses informasi laporan keuangan tahun 2013 dan 2014 pada lima pengurus daerah.

Kedua, mendorong transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan kepada publik, misalkan melalui publikasi melalui laman partai. Partai harus setengah dipaksa untuk mengumumkan semua pemasukan yang berasal dari sumber-sumber lain di luar APBN/APBD kepada publik. Hal ini sejalan dengan berbagai putusan Komisi Informasi yang mengategorikan semua informasi keuangan partai adalah informasi yang terbuka untuk publik.

Ketiga, peningkatan subsidi negara harus disertai perubahan status pengurus partai menjadi entitas pejabat publik/penyelenggara negara karena menerima dana dari APBN/APBD. Oleh karena itu, setiap pengurus partai yang korupsi bisa dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi.

Jika wacana peningkatan subsidi partai tidak diikuti dengan perbaikan persoalan internal partai, sudah dapat dipastikan keinginan pemerintah tersebut akan menuai resistensi. Masyarakat sebagai pembayar pajak sepenuhnya tidak akan rela pajak yang telah mereka bayar digelontorkan kepada partai jika tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik.

Donal Fariz, Anggota Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
----------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Maret 2015, di halaman 6 dengan judul "Ihwal Subsidi Partai".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan