Identitas Negara Hukum Tinggal Macan Kertas
Corruptio optimi pesima. Terjemahan bebasnya ialah pembusukan moral dari orang yang tertinggi kedudukannya. Ia adalah perbuatan yang paling jelek.
Memahami adagium itu menunjukkan bahwa kebejatan, kejahatan, atau pembusukan nilai-nilai (values decay) yang dilakukan golongan elite kekuasaan dapat berpengaruh besar terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Semakin banyak komunitas elite kekuasaan yang mandi basah dengan penyimpangan moral dan hukum, masyarakat pun semakin mengidap penyakit komplikasi yang sulit disembuhkan.
Komplikasi dalam stadium tersebut sarat dengan virus yang mudah menular kepada segmen kekuasaan lain. Pejabat berpangkat rendah akan menjadikan pejabat level atas sebagai guru yang model perilaku tidak terpuji bisa diadopsi dan diadaptasikan dengan mudah.
Dalam urusan kebobrokan tersebut, model peniruan jauh lebih gampang dibandingkan dengan dalam soal kebaikan, kebenaran, dan kejujuran.
Lembaga mentereng bernama Komisi Yudisial (KY) memang benar-benar sial. Salah satu anggotanya, Irawady Joenos, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Dia adalah koordinator bidang pengawasan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim.
Itu semua gara-gara sikap nekatnya sebagai pimpinan KY yang menerima komisi dari rekanan. Idealnya, dengan jabatan strategis yang mengandung misi mulia itu, dia tidak berani menerima suap. Sebab, dia terbilang sebagai manusia pilihan yang bertanggung jawab terhadap urusan moral hakim.
Sungguh ironis. Tugas mulia itu ternyata disalahgunakan melalui perbuatan yang seharusnya tabu dilakukan. Karena itu, selain tersentak, masyarakat sangat kecewa. Mengingat, publik mempunyai ekspektasi terhadap peran KY dalam memperbaiki kinerja lembaga peradilan, yang di mata masyarakat sudah semakin jatuh martabatnya.
Jatuhnya martabat lembaga peradilan itu, antara lain, disebabkan perilaku aparat peradilan yang tidak pantas dan bertentangan dengan rasa keadilan. Misalnya, merebaknya isu mafia peradilan, merajalelanya jual beli perkara, dan kasus suap di Mahkamah Agung. (J. Kristiadi, Kompas, 2 Oktober 2007).
Memang, ada benarnya jika Irawady dikatakan sial atau sedang apes, persis dengan Mulyana, yang juga lagi apes karena mencoba menyuap. Mereka, baik Mulyana maupun Irawady, hanya sampel dari potret budaya suap-menyuap yang sudah berlangsung seumur usia negeri ini. Akibat budaya demikian itu, citra institusi peradilan tercabik-cabik.
Sinisme masyarakat terhadap institusi tersebut terbilang luar biasa. Itu dibuktikan dengan menguatnya gejala main hakim sendiri (eigenrichting) di tengah masyarakat.
Kasus maraknya dan menguatnya eigenrichting di tengah masyarakat seharusnya mengingatkan dan menyadarkan pengemban institusi peradilan semacam KY. Sebab, main hakim sendiri jika dipahami secara filosofis sebenarnya suatu modus perbuatan yang melecehkan, merendahkan, dan menginjak-injak peran elemen peradilan seperti hakim.
Mereka itu sedang tak menaruh kredibilitas kepada kompetensi hakim sehingga memproduk hukum jalanan, atau menurut istilah J.K. Skolnick sebagai peradilan tanpa pengadilan (justice without trial).
Dengan tangan, kaki, pentungan, pedang, parang, tombak, dan celurit, serta sejumlah senjata lain, mereka menghadirkan dan bahkan menyuburkan kekejian tangan-tangan kotor. Atau juga, praktik-praktik kebiadaban atas nama oposisi radikal terhadap praktik ketidakadilan dan perselingkuhan norma yang dilakukan elite penegak hukum.
Lantas, apalah arti gerakan politik pembaruan hukum kalau mental korup aparat peradilan masih lebih digdaya dan superior?
Peran Ideal
Idealnya, KY, sebagaimana disebutkan dalam dasar pertimbangan kelahiran UU No 22/2004 tentang Komisi Yudisial bahwa KY mempunyai peran penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.
Konsideran tersebut menunjukkan bahwa posisi KY sangat strategis atau fundamental. KY menjadi institusi yang diberi peran mengawasi kinerja hakim.
Dalam ranah kontrol itu, seharusnya peran yang dimainkan adalah aktif-progresif. Tidak boleh melek mata terhadap sepak terjang hakim dalam menangani perkara atau saat hakim menjadi mesin peradilan.
Kalau KY kemudian sampai terlibat perselingkuhan moral, seperti menerima suap dari rekanan, bahaya besar jelas mengancam dunia peradilan dan masa depan keberlanjutan negeri ini.
Identitas sebagai negara hukum hanya menjadi macan kertas ketika KY, yang berposisi sebagai elemen strategis peradilan, justru mengaburkan dan memupus ekspektasi masyarakat terhadap proporsionalitas yuridis dan nilai-nilai keadilan.
KY seharusnya menjadi institusi yang teguh pendirian dan militan dalam memerangi setiap bentuk ajakan, tawaran, atau pesona uang dan imbalan lain yang bermaksud membius dan menjinakkannya.
Sikap teguh pendirian dan militan dalam diri KY sebenarnya bisa diharapkan menjadi politik pembongkaran terhadap kultur bobrok yang membingkai peradilan.
Nasyrul Hidayati, alumnus Pelayaran Kebangsaan Angkatan V
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 4 Oktober 2007