Idealitas Pengembanan Hukum
Aib dalam system pengembanan hukum kita semakin memprihatinkan. Para pihak yang diduga terlibat dalam skandal penyuapan (kasus Probosutejo), tidak satupun mengaku terlibat. Mengapa begitu rumit dan sulit kita melihat perbedaan antara kebenaran dan kesalahan? Kebohongan dan kejujuran? Keadilan dan ketidakadilan? Bukankah terminologi-terminologi tersebut memiliki daya pembeda yang sangat jelas? Indikator dan interpretasi yang digunakan untuk membedakannya juga jelas.
Jika demikian, berarti kualitas profesionalitas dan integritas moral (mentalitas) para pengemban hukum kita yang perlu dipertanyakan? Karena kualitas demikian gagal membangun idealitas pengembanan hukum praktis kita. Akibatnya, kita juga gagal menciptakan produk hukum yang adil, pasti, dan bermanfaat bagi kehidupan bersama.
Sesungguhnya, idealitas dalam pengembanan hukum praktis (penanganan perkara) itu, dapat dijumpai pada norma dan prosedur beracara yang sudah baku. Logikanya, jika penerapan norma (substantive) dan prosedur (beracara) dalam penanganan perkara itu diemban dengan baik, maka apapun input perkara yang dimasukkan ke dalamnya akan terukur dan dapat diprediksi secara objektif.
Tapi, jika norma-norma dan proses beracara tersebut ''dipermainkan'' berdasarkan kepentingan subjektif si pengemban hukum, maka produk pengembanan (putusan) yang dihasilkan menjadi tidak terukur dan tidak pasti. Terlihat jelas bahwa ketidakadilan, ketidakpastian, dan kekacauan dalam pengembanan hukum praktis ini muncul sebagai akibat dari interpretasi yang didasarkan atas kepentingan masing-masing pihak yang berperkara. Bukan dari kebenaran yang esensial dan nyata dalam hukum!
Kesalahan epistemik dan etik
Penyimpangan di atas setidaknya bersumber dari dua kesalahan dalam sistem pengembanan hukum praktis kita; yaitu kesalahan epistemik/metodik dan kesalahan etik. Kesalahan epistemik ini tampak pada pendekatan yang digunakan dalam menyelesaikan masalah hukum. Ia mencakup kesalahan epistemik substansial, struktural (prosedural), dan kultural.
Pertama, kesalahan epistemik di ranah substansi muncul ketika para pengemban hukum tidak lagi mengindahkan hirarki nilai dari nilai dasar hukum, seperti keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Sesungguhnya, hirarki nilai itu menempatkan keadilan pada tempat yang tertinggi dan utama, karena ia merupakan kebajikan yang paripurna (Aristoteles, Ethic, 1967), dan menjadi simbol kehadiran moral dalam hukum (Satjipto Raharjo, 2002). Konsekwensi logisnya, nilai kepastian dan kemanfaatan harus diabdikan untuk menciptakan keadilan, bukannya malah menggerogoti keadilan.
Kedua, kesalahan epistemik di ranah struktural (prosedural). Kesalahan ini merupakan implikasi dari kegagalan memahami hirarki nilai dasar hukum (substansi) di atas. Dalam praktik, para pengemban hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat, dan lain-lain) sering mencampuradukkan dan memutarbalikkan hirarki nilai tersebut. Nilai kemanfaatan dalam arti sempit, yang kerap direduksi dalam ranah materi/ekonomi dan nilai kepastian (formalitas ansich) itu ditempatkan di atas nilai keadilan.
Kesalahan epistemik yang mereduksi nilai-nilai non-material ke dalam materi ini mudah berimplikasi pada kesalahan berikutnya. Misalnya dalam kasus pemberian bantuan hukum (imajiner 1). Jika ada seorang klien datang ke pengacara/advokat untuk meminta bantuan. Sang klien tidak mempersoalkan cara yang harus digunakan dan jumlah biaya yang harus dikeluarkan. Yang penting, masalahnya bisa selesai!
Dalam konteks itu, seringkali, sang pengacara/advokat menginterpretasikan permohonan sang klien itu sebagai permintaan untuk memperoleh pelayanan jasa/bantuan sosial, bukan bantuan hukum. Akibatnya, sang pegacara/advokat merasa terbebas dari keharusan untuk mentaati prosedur hukum dan etika beracara dalam memberikan bantuan ''sosial'' tersebut. Cara interpretasi demikian, jelas telah mengakibatkan mereka melakukan pelanggaran, tidak saja etika profesi, tetapi juga etika hukum dan nilai-nilai moral lainnya.
Berbeda halnya jika kita melihat kasus (imajiner 2), misalnya seorang klien datang ke advokat, untuk meminta bantuan hukum. Sang klien menghendaki agar kasusnya diselesaikan berdasarkan aturan dan ketentuan hukum yang berlaku untuk memperoleh keadilan yang setinggi-tingginya. Dalam hal ini, sang klien datang untuk meminta bantuan hukum yang sesungguhnya. Bukan bantuan sosial.
Celakanya, karena struktur dalam sistem pengembanan hukum ini buruk, sebagian besar oknum pengemban hukum ini melihat masalah klien sebagai komoditi. Akibatnya, alih-alih meminta bantuan hukum untuk menyelesaikan masalah, malah sang klien terjebak ke dalam masalah yang semakin rumit dan kompleks.
Ketiga, kesalahan epistemik di ranah kultur hukum. Kesalahan ini terlihat dari praktek penyimpangan yang dilakukan secara berantai dan berulang-ulang, yang akhirnya membentuk ''kultur hukum'' baru. Pengara/advokat itu mulai beraksi menawarkan ''bantuan'' mulai dari tahap penyidikan, pemeriksaan dan penuntutan di kejaksaan, hingga pengadilan. Bantuan tersebut berupa putusan yang dinegosiasikan dan disesuaikan dengan besar kecilnya ''uang jasa'' yang diterima, seperti yang sekarang terlihat pada kasus Probosutejo. Akibatnya, seluruh rangkaian sistem pengembanan hukum kita menjadi rusak!
Secara psikologis, jika seseorang melakukan kesalahan dalam kaidah moral tertentu, dia akan merasa tidak terikat lagi oleh larangan untuk melakukan kesalahan lainnya. Karena kesalahan yang telah dibuat, harus ''diamankan'' dengan kesalahan baru lainnya, maka dia harus ''memelihara kekonsistensian'' kesalahannya.
Akibatnya, kesalahan ini melahirkan kesalahan dan berkembang terus, bahkan semakin memperkuat struktur yang sudah buruk sebelumnya. Karena ini terjadi secara terus menerus, ia menjelma menjadi kultur buruk dalam pengembanan hukum kita. Akibat lebih jauh, perbedaan antara kebenaran dan kesalahan, kejujuran dan kebohongan, keadilan dan ketidakadilan menjadi kabur.
Sesungguhnya, kesalahan epistemik yang memprihatinkan itu berakar pada sikap dan tindakan para pengemban hukum yang telah memindahkan esensi hukum yang berada dalam ranah non-material ke dalam ranah material! Seharusnya, pencapaian tujuan yang bersifat non-material (keadilan) hanya dapat diwujudkan dengan cara-cara non-material (mewujudkan kebaikan, kebenaran, kejujuran, keadilan). Tujuan dan cara harus berkait secara etis, koheren, dan tak dapat dipisahkan apalagi saling menegasikan.
Oleh karena itu, harus disadari bahwa tujuan tidak menghalalkan segala cara, tetapi cara itu sendirilah yang harus membuktikan akan kebenaran tujuan. Secara logis, tidak mungkin kita dapat berbuat benar pada tahap kedua, dengan secara sadar melakukan kesalahan pada tahap pertamanya. Jelaslah bahwa kesalahan epistemik dalam pengembanan hukum ini sekaligus telah mengakibatkan kesalahan etik.
Etika profesi
Penyakit non-material ini tidak bisa disembuhkan dengan cara-cara material. Ia hanya dapat disembuhkan oleh orang-orang yang memiliki integritas dan etika profesi yang baik (trampil mendistribusikan nilai-nilai non-material). Guna menciptakan hal tersebut, model pembelajaran yang berkaitan dengan etika dan profesi hukum dalam pendidikan hukum kita perlu direevaluasi. Selama ini, sistem evaluasi atas materi etika dan profesi hukum hanya didasarkan atas keberhasilan di ranah kognitif belaka.
Padahal penguasaan etika keprofesian ini bukan isu yang berada diranah kognitif, tetapi di ranah behaviour (praktis). Adalah tidak adil menilai seseorang itu baik dan jujur hanya karena dia berhasil menghapalkan definisi kebaikan dan kejujuran. Kebaikan dan kejujuran adalah indikator untuk mengukur kualitas interaksi seseorang. Untuk itu, volume pembelajarannya seharusnya lebih banyak dikonsentrasikan pada intensitas perlatihan dalam mendistribusikan kebaikan dan kejujuran di ranah tindakan. Sehingga produknya menjadi kapabel dan kompeten dalam hal tersebut. Untuk mewujudkannya, diperlukan pembelajaran primer.
Model pembelajaran primer dalam pendidikan hukum ini harus memberikan ruang dan waktu yang memadai bagi peningkatan kualitas interaksi yang baik antarpembelajar hukum. Ia harus menjadi medium perlatihan dalam mendistribusikan kebaikan, kebenaran, kejujuran keadilan (invariant non-material values). Dengan demikian, ia dapat menjadi ''mesin'' yang memproduksi komponen-komponen pengemban hukum yang kompeten mengawal, mengasuh, dan membangun system pengembanan hukum yang ideal.
Hayyan ul Haq, Pengajar FH-UNRAM; Kandidat Doktor Ilmu Hukum, Utrecht University
Tulisan ini disalin dari Republika, 16 November 2005