ICW: Presiden boleh ganti, korupsi akan jalan terus

Indonesian Coruption Watch (ICW) menilai besarnya indikasi korupsi yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam hasil pemeriksaan semester I/2005 bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebab, kenyataan memang membuktikan bahwa korupsi terus terjadi.

Tidak ada yang mengejutkan dari temuan BPK itu. Karena, walaupun pemerintahan (presiden) dan dewan (DPR) telah berganti, korupsi tetap terjadi, ujar Wakil Koorditaor ICW Lukky Djani kepada Harian Terbit di kantor ICW, Kalibata, Jakarta, Rabu (30/11).

Menurutnya, jika pada pemeriksaan BPK masih ditemukan penyimpangan-penyimpangan maupun perbuatan korupsi, itu terjadi karena peluang untuk korupsi masih terbuka lebar. Belum adanya perbaikan manajemen instansi publik, terutama birokrasi. Manajemen keuangan dan penggunaan anggran belum terlihat transparan dan terbuka. Sehingga, peluang korupsi tetap besar.

Artinya, pemerintah belum mampu mengatasi perbuatan korupsi itu.Jadi, tak perlu heran, tandasnya.

Tetapi, tegas Lukky, jika memang pemerintah punya niat untuk meniadakan praktik korupsi, sistem manajemen keuangan dan prosedur birokrasi perlu diperbaiki. Begitu juga dengan tata cara penggunaan anggran, harus diperbaiki. Yang selama ini tertutup atau terkesan sembunyi-sembunyi harus tranparan dan terbuka.

Mulai dari alokasi dana dan peruntukannnya harus terbuka. Kalau tidak dibenahi, sampai kapan pun lubang-lubang kebocoran uang negara pasti terjadi, ujarnya.

Dia menambahkan, tak sulit meniadakan korupsi itu. Tetapi syaratnya adalah adanya niat dari pemerintah. Bukan sekedar jargon atau penegakan hukum. Sebab, proses hukum tentu tidak bisa dilakukan secara massal mengingat yang korup cukup banyak. Kemampuan aparat hukum terbatas.

Memang penegakan hukum itu perlu. Tetapi pembenahan institusi tadi lebih penting,ujarnya.

Sebagaimana diketahui, BPK dalam laporannya pada paripurna DPR Selasa (29/11) menyebutkan, BPK menemukan indikasi tindak pidana korupsi yang merugikan negara sebesar Rp2,98 terilun. Hal itu ditemukan pada 11 tempat. Diantarnya, di Bank mandiri, PT Jamsostek, Otorita Asahan, Zambesi Investama, Pertamina Energi Service.

Sementara itu anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKB Hj Anna Muawanah SE mengatakan, temuan BPK soal tindakan pidana korupsi di berbagai lembaga kenegaraan harus disikapi secara proaktif oleh aparat penegak hukum. Temuan penyimpangan keuangan negara yang diungkap oleh BPK, harus kembali dalam bentuk uang.

Memang BPK tidak berwenang menyeret kasus itu ke hukum. Kalau BPK hanya mengumumkan penyimpangan tapi tidak ada tindak lanjutnya, ya percuma. Dari dulu juga begitu, kata Anna Muawanah pada Harian Terbit di Jakarta, Kamis.

Anna yang juga pimpinan Pansus RUU BPK itu menilai, selama ini BPK hanya bekerja di pusat dan hanya sebatas mengungumumkan penyimpangan keuangan. Jika tidak ada kelanjutannya, maka pejabat negara yang korupsi akan berpikir tenang dan santai.

Bisa saja departemen lain akan ikut korupsi sebab risikonya hanya diumumkan, tanpa proses hukum. Langkah ini membahayakan sebab korupsi akan jalan terus.

Untuk itu dalam Pansus RUU BPK, ujar Anna, lembaga pemeriksa ini juga akan dibentuk di tiap propinsi dan daerah tingkat dua. Selama ini di daerah diawasi oleh Bawasda (Badan Pengawas Daerah) yang dalam koordinasinya dibawah wewenang Bupati. Bagaimana Bawasda bisa bekerja jika koordiansinya dibawah Bupati.

Karena itu, RUU BPK akan lebih sempurna menjalankan tugasnya termasuk penyimpangan keuangan di daerah, ujarnya.

Sementara Drajat Wibowo dari Fraksi PAN DPR RI meminta BPK juga melaporkan ke aparat penegak hukum sehingga laporan penyimpangan Rp 2,98 triliun pada semester pertama bisa menyelamatkan uang negara.

Kalau hanya mengumumkan nama-nama lembaga negara yang melakukan penyimpangan, tidak ada perubahan berarti. Untuk itu, laporkan saja ke Jaksa Agung untuk mengusut penyimpangan uang negara, kata Drajat Wibowo.(spw/zam)

Sumber: Harian Terbit, 1 December 2005 - 14:27

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan