ICW: Performa KPK Buruk dalam Penanganan Kasus Industri Ekstraktif

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi kelambanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus-kasus terkait industri ekstraktif. Dalam kasus kisruh divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT), KPK terlihat belum banyak bergerak.

Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran (MAA) ICW, Firdaus Ilyas, mengatakan, KPK seharusnya dapat mulai masuk melalui analisis kekurangan penerimaan revenue tembaga. Menurut penelusuran ICW, potensi kekurangan penerimaan negara dari tembaga yang diproduksi sejak tahun 2006-2010 telah mencapai Rp 225 juta dolar AS. Dari revenue itu, nilai dividen yang seharusnya diterima pemerintah pusat dan daerah adalah senilai 190 juta dolar atau setara dengan Rp 1,6 triliun.

Kekurangan perhitungan royalti terjadi karena penetapan royalti hanya didasarkan Surat Keputusan Dirjen Pertambangan Umum Nomor 310 Tahun 2000, yang mematok nilai royalti tembaga senilai 1 persen dari pendapatan. Padahal, menurut PP Nomor 13 Tahun 2000 dan PP Nomor 45 Tahun 2003, tarif royalti tembaga untuk kontrak karya adalah 4% dari hasil penjualan.

Segala permasalahan terkait penetapankontrak karya dan penyelewengan royalti menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar. KPK, seharusnya lebih memberikan perhatian terhadap sektor ini. "Sayangnya, performa KPK buruk dalam usaha preventif dan pengawasan industri ekstraktif ini," tukas Firdaus.

Menanggapi kritik, ketua KPK Busyro Muqoddas menegaskan tim KPK akan segera turun tangan ke lapangan untuk menelusuri temuan yang diungkapkan ICW. KPK juga akan terus memantau perkembangan hasil audit BPK terkait divestasi PT NNT. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan