ICW Laporkan Korupsi Pengadaan Buku Pelajaran; Di Empat Kabupaten/Kota

Indonesia Corruption Watch melaporkan korupsi pengadaan buku pelajaran yang terjadi di empat daerah, yakni Kabupaten Garut, Kabupaten Batang, Kota Semarang, dan Kabupaten Sleman. Korupsi pengadaan buku pelajaran tersebut, Jumat (18/2), dilaporkan oleh ICW ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta.

Laporan menyangkut korupsi pengadaan buku pelajaran yang disampaikan oleh Ade Irawan dari Divisi Monitoring dan Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), didampingi beberapa orang dari Kabupaten Batang, tersebut diterima oleh staf Pengaduan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisaris Besar Sukris Prayitno.

Ade Irawan menjelaskan bahwa pola korupsi pengadaan buku di empat daerah itu berbeda-beda. Di Kabupaten Garut, Jawa Barat, sumber dana berasal dari block grant sebesar Rp 661 juta untuk pengadaan buku di sekolah dasar/madrasah ibtidaiah (SD/MI) terpencil dan sekolah di daerah miskin. Dasar kebijakannya adalah keputusan Menteri Pendidikan Nasional di mana penerbitnya sudah ditentukan Depdiknas.

Beragam pola
Pola korupsinya, kata Ade, proposal tidak dibuat sekolah dan terjadi penyunatan dana oleh oknum Dinas Pendidikan Kabupaten Garut. Sekolah seharusnya mendapat Rp 7.350.000, tetapi kenyataannya sekolah hanya menerima Rp 7 juta hingga Rp 7,150 juta.

Pola korupsi di Kabupaten Batang sangat berbeda. Sumber dana berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Batang tahun 2003 dan 2004 dengan nilai Rp 28,3 miliar. Buku tersebut diperuntukkan bagi SD/MI, sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), dan sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Dasar kebijakan pengadaan buku tersebut adalah surat keputusan bupati setempat dengan penerbit PT Balai Pustaka. Pola korupsi, proyek tahun 2003 tidak terdapat dalam dokumen skala prioritas dan RAPBD 2003 serta rencana perubahan APBD 2003. Hal ini bertentangan dengan Keputusan Mendagri Nomor 29 Tahun 2002.

ICW juga menemukan bahwa di dalam pengadaan buku di Kabupaten Batang ini tidak melalui tender sebagaimana yang diamanatkan oleh Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Kasus di Kabupaten Batang, penerbit berani memberikan rabat senilai 20 persen dari proyek pengadaan buku tahun 2003 kepada Pemerintah Kabupaten Batang, tetapi rabat yang diberikan tidak dimasukkan ke kas daerah.

Pola korupsi di Kota Semarang juga berbeda. Pengadaan buku pelajaran berasal dari APBD Kota Semarang tahun 2004 dengan nilai Rp 6,8 miliar. Buku tersebut diperuntukkan bagi SD/MI, SLTP, dan SLTA. Dasar kebijakan pengadaan buku ini berdasarkan surat keputusan Wali Kota Semarang.

Penerbit buku adalah Perusahaan Daerah Percetakan Kota Semarang, kemudian dialihkan kepada PT Mascom Grafi. Pola korupsi yang terjadi adalah Pemerintah Kota Semarang menunjuk perusahaan daerah percetakan sebagai pelaksana proyek, tetapi oleh perusahaan itu dialihkan kepada perusahaan lain, yaitu PT Mascom Grafi. Pengalihan tersebut tidak melalui proses tender.

Pada pengadaan buku pelajaran di Kota Semarang ini, dari 33 buku pelajaran yang dipesan, sebanyak 28 di antaranya menyalahi spesifikasi awal. Umumnya jumlah halaman buku pelajaran kurang, bahkan sampai 75 halaman. Akan tetapi, panitia pemeriksa barang unit (PPBU) menyatakan semua buku telah tercetak dalam kondisi yang baik dan lengkap.

Pengadaan buku pelajaran di Kabupaten Sleman berasal dari APBD 2004 senilai Rp 11,8 miliar. Buku tersebut diperuntukkan bagi SD, SLTP, dan SLTA. Dasar kebijakan adalah surat keputusan Bupati Sleman dengan penerbit PT Balai Pustaka. Pola korupsi yang terjadi, adanya penunjukan langsung atas permintaan Pemerintah Kabupaten Sleman dan disetujui oleh DPRD. Terjadi penggelembungan anggaran dari Rp 10 miliar menjadi Rp 11,837 miliar. Harga buku lebih mahal daripada yang ada di pasaran.

Ade menjelaskan bahwa desentralisasi pengadaan buku pelajaran tanpa diiringi mekanisme kontrol hanya memindahkan praktik korupsi ke daerah. Kepala daerah dan DPRD memiliki kewenangan besar dalam pembuatan kebijakan serta penerbit yang agresif menjadi penyebab utama munculnya praktik korupsi dalam pengadaan buku. Buku yang dihasilkan dari kebijakan dan proyek yang korup tidak bisa dipergunakan di sekolah karena tidak sesuai dengan kebutuhan guru dan murid serta kualitasnya buruk.

Sampai saat ini belum ada mekanisme untuk mengontrol pendanaan maupun kualitas buku pelajaran di daerah, ujarnya.

Temuan ICW
Dari hasil temuan riset ICW pada tahun 2004 di Jakarta, Garut, dan Solo, pengeluaran untuk membeli buku menempati urutan teratas dari biaya yang paling banyak dikeluhkan oleh orangtua siswa. Rata-rata biaya yang dikeluarkan setiap semesternya mencapai Rp 185.000. Padahal, buku yang dibeli materinya tidak jauh berbeda dengan buku sebelumnya yang oleh sekolah tidak boleh dipergunakan.

Hasil survei ICW atas pungutan yang harus ditanggung oleh para orangtua yang memiliki anak di SD, ternyata pungutan untuk buku sekolah paling besar persentasenya, yakni mencapai 94,20 persen untuk Jakarta, Garut 65 persen, dan Solo 92,3 persen. Selanjutnya SPP 38,60 persen di Jakarta, 98,67 persen di Garut, dan 99 persen di Solo. Uang bangunan 33,80 persen di Jakarta, 24,67 persen di Garut, dan 42,7 persen di Solo. Uang masuk di Jakarta 34,2 persen, Garut 91,33 persen, dan Solo 55 persen. Uang untuk kegiatan ekstrakurikuler 30,80 persen di Jakarta, Garut 22 persen, dan Solo 38,7 persen.(VIN)

Sumber: Kompas, 19 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan