ICW: Kinerja Satu Tahun Jokowi-JK Dapat Angka lima

Jakarta, antikorupsi.org (21/10/2015) – Indonesia Corruption Watch  (ICW) memberikan rapor merah atau nilai lima terkait satu tahun kinerja Presiden Joko Widodo dan Wakilnya Jusuf Kalla.Terdapat tujuh poin yang disampaikan dalam konfrensi pers yang diadakan di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (20/10/2015). Tujuh poin tersebut berkaitan dengan pemilihan menteri dalam kabinet kerja, pemilhan menteri atau pimpinan dibidang hukum seperti Menteri Hukum dan HAM (MenkumHAM) dan Jaksa Agung, lemahnya penanganan perkara kasus korupsi, tidak tegasnya pemerintah dalam menolak regulasi yang berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi, tidak tegas mendukung eksistensi KPK, tidak satu suaranya antara Jokowi dan JK dalam menanggapi ancaman kriminalisasi pimpinan KPK, tidak berjalannya 15 program Nawa Cita yang bersingungan dengan pemberantasan korupsi.

“Angka lima ini sebetulnya kritis. Karena catatan-catatan tersebut kita berikan rapor merah,” kata peneliti Divisi Riset ICW Siti Juliantari, dalam konferensi pers kemarin.

Terkait Nawa Cita nomer empat yang berkaitan dengan penegakan hukum dan bebas korupsi diturunkan menjadi 42 program, menurut Tari yang 15 program utamanya terkait isu korupsi tidak ada satupun yang dikerjakan.

“Ini bisa dikatakan 0 persen program yang terkait pemberantasan korupsi yang dilakukan. Sebaliknya, banyak kebijakan yang malah melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi,” jelasnya.

Masih berkaitan pelemahan pemberantasan korupsi, Lalola Easter peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW berpendapat, wacana untuk merevisi UU KPK telah dua kali digulirkan selama satu tahun pemerintahan Jokowi-JK. Pelemahan KPK sangat terlihat dari konten revisi yang beredar di tengah masyarakat.

“Jarak antara bulan Juni lalu ke Oktober adalah rentang waktu yang sebentar. Isi kontennya saja sangat terlihat melemahkan KPK,” tegasnya.

Hal senada disampaikan Aradilla Caesar, peneliti dari Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW. Menurutnya, sampai saat ini dukungan Jokowi kepada KPK tidak nampak jelas. Padahal dukungan ini diperlukan untuk memberikan rasa aman dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi.

“Saat penetapan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka oleh KPK, malah ada upaya serangan balik yang sampai hari ini tidak dihentikan oleh presiden. Malahan kasus mantan komisioner KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagaai korban kriminalisasi telah masuk perkaranya ke kejaksaan,” papar Arad.

Dari segi penegakan hukum, kepolisian dan kejaksaan dinilai tidak serius dalam melakukan pemberantasan korupsi. Hal tersebut diutarakan oleh Wana Alamsyah, peneliti Divisi Investigasi ICW. Menurutnya 319 kasus yang ditangani oleh kepolisian sebanyak 95 kasus dengan total kerugian negara sebesar Rp 582,3 miliar dan kejaksaan 224 kasus dengan total kerugian negara sebesar Rp 893 miliar.

“Jika dilihat kuantitas kasusnya memang banyak. Namun, kualitas penanganannya tidak sampai menjerat aktor-aktor utama atau kelas kakap kasus korupsi. Mayoritas aktor yang ditangani masih pada kelas bawah,” tegas Wana. Kinerja penegakan hukum yang tidak maksimal ini sebenarnya terkait dengan pemilihan kapolri dan jaksa agung oleh presiden. Presiden masih belum tepat memilih pimpinan dua institusi itu, sehingga kinerjanya tidak seperti yang diharapkan dalam Nawa Cita.

Sementara itu, peneliti ICW, divisi Korupsi Politik Almas Sjafrina menegaskan, komitmen  presiden yang dituangkan dalam Nawa Cita terkait mendorong sistem reformasi demokrasi yaitu melakukan revisi UU Partai Politik (Parpol) dan UU Pemilihan Umum (Pemilu) tidak dapat diselesaikan dalam masa satu tahun kerja. Salah satunya permasalahan tata kelola keuangan partai yang mencakup akuntabilitas, transparasi, dan penerimaan tidak dibahas secara konsisten, terbukti wacana merevisi Peraturan pemerintah (PP) bantuan keuangan partai tidak dilanjutkan.

“Padahal pembenahan tata kelola keuangan partai merupakan langkah yang baik dalam mereformasi keuangan partai,” tegas Almas. (Ayu-Abid)

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan