ICW Gelar Seminar Nasional “Selamatkan Kekayaan Negara, Selamatkan Sumber Daya Alam”
Antikorupsi.org, Jakarta, 5 April 2017 – Pada 30 Maret 2017 lalu bertempat di Balai Kartini, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengadakan Seminar Nasional dengan tema Selamatkan Kekayaan Negara, Selamatkan Sumber Daya Alam. Dalam seminar ini dibahas kajian ICW di sektor mineral dan hutan mengenai potensi penerimaan negara dari pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Pembicara dalam seminar nasional adalah Firdaus Ilyas (Koordinator Divisi Riset ICW), DR. Faisal (Kasubdit Pengawasan Produksi & Sumber Daya Alam I), Peni Hirjanto (Direktur Intelijen Perpajakan Direktorat Jenderal, Kementerian Keuangan), dan Johnson Pakpahan (Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Direktorat Jenderal Mineral Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral). Peserta yang hadir dalam seminar nasional ini terdiri dari media, jaringan kerja ICW di Pekanbaru, Palembang, Kalimantan Timur, Padang, dan Aceh, serta NGO di Jakarta yang fokus pada isu sumber daya alam.
Dalam seminar ini dipaparkan hasil temuan ICW bahwa selama periode 2007-2015 ada selisih nilai US$3,348 miliar - US$4,337 miliar yang didapat dari ekspor nikel ore tidak tercatat. Hal ini tentunya berdampak pada kekurangan kewajiban pembayaran royalti dan pajak (PPh Badan) selama periode 2007-2015. Kekurangan kewajiban pembayaran royalti senilai Rp2,176 triliun - Rp2,845 triliun dan pajak (PPh Badan) senilai Rp4,361 triliun - Rp5,041 triliun. Total indikasi kerugian negara yang didapat dari royalti dan pajak (PPh Badan) senilai Rp6,538 triliun - Rp7,887 triliun selama kurun waktu 9 tahun.
Selain itu, untuk timah jenis HS 8001 dan 8003, selama periode 2004-2015, ada indikasi penjualan timah tidak tercatat (ilegal) sebanyak 389.678 MT, dengan rerata per tahun 32.473 MT. Dengan kata lain selama periode yang sama, 24,9% realisasi ekspor timah indonesia tidak tercatat atau ilegal. Sedangkan jika dilihat dari nilai perdagangannya, yang tidak tercatat selama periode 2004-2015 senilai US$5,297 miliar atau Rp68,864 triliun dengan menggunakan kurs Rp13.000 per US$. Hal ini berdampak pada indikasi kerugian negara dari kewajiban royalti timah (3%) dan kewajiban pajak (PPh Badan) senilai Rp5,714 triliun, dengan indikasi kerugian negara dari royalti timah Rp2,066 triliun dan pajak (PPh Badan) senilai Rp3,648 triliun.
Dalam sektor hutan, data volume kayu yang mengalami deforestasi (kerusakan) cukup tinggi dengan angka 2.547.023.080 m3 selama periode 2006-2015. Potensi penerimaan negara dari volume kayu yang mengalami deforestasi mencapai jumlah Rp499,507 triliun, yang dihitung dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR).
Dari kajian ICW ini dapat dilihat bahwa pemerintah belum maksimal dalam mengawasi dan mencatat data penjualan sumber daya mineral dan kayu deforestasi yang seharusnya dapat menjadi penerimaan negara. Sumber daya mineral dan hutan ini adalah sumber yang sulit/ tidak terbarukan. Maka dari itu sebaiknya pemerintah berinisiatif memperbaiki kinerja pengawasannya, terlebih di sektor-sektor yang dapat menjadi sumber penerimaan negara. (Tari/Dewi)