ICW Desak Usut Rekening Tak Wajar Perwira Polisi

Mabes Polri dan KPK Loyo, Presiden Harus Turun Tangan

Tiga hari menjelang berulang tahun ke-64 pada 1 Juli nanti, korps kepolisian kembali menjadi sorotan. Lembaga bersemboyan Rastra Sewakotama itu diguncang isu lama yang tidak kunjung tuntas. Yakni, dugaan soal rekening mencurigakan atau tidak wajar milik sejumlah perwira polisi. Termasuk, perwira tinggi atau jenderal.

Sejumlah kalangan mendesak supaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih kasus tersebut sebelum HUT Bhayangkara. Pelapor resmi kasus itu, Indonesia Corruption Watch (ICW), meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun langsung memanggil Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri.

''Saat kami bertemu dan melapor kepada anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, mereka berjanji segera ada tindak lanjut. Tapi, mana buktinya?'' ujar Koordinator Divisi Investigasi ICW Tama Satrya Langkun kepada Jawa Pos kemarin (28/6).

Dugaan adanya rekening mencurigakan milik perwira polisi sebetulnya muncul sejak 2005. Saat itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memberikan data soal rekening mencurigakan milik para perwira polisi tersebut ke Mabes Polri.

Kebetulan pula, Susno Duadji (saat itu berpangkat Irjen atau jenderal bintang dua) menjabat wakil ketua PPATK. Ada 15 rekening yang dicurigai. Namun, hingga lima tahun laporan tersebut ternyata ''menguap'' tanpa ada tindak lanjut. Saat ini, Susno malah menjadi tersangka kasus suap dan ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua, Depok, Jabar.

Awal Mei 2010, ICW kembali membeberkan masalah rekening mencurigakan milik perwira polisi itu kepada publik. Jumlahnya bertambah. Tidak hanya 15 rekening, namun 21 rekening. Bahkan, menurut ICW, seorang jenderal polisi punya rekening senilai Rp 95 miliar. Pada 16 Juni 2010, ICW menyampaikan laporan kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (Jawa Pos 17/6).

Dalam dokumen tersebut, sejumlah nama jenderal diduga memiliki rekening tidak wajar tersebut. Di antaranya, Irjen BG, Irjen MS, Irjen SW, Irjen BH, dan Komjen SD. Aset mereka -yang diduga tidak jelas asal-usulnya- tersebut berupa tanah, logam mulia, dan simpanan senilai miliaran rupiah.

Tama menyatakan, sejak resmi melapor kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, tidak ada perkembangan sama sekali dari laporan ICW. ''Para penegak hukum bertindak lamban,'' tegasnya.

Karena itu, dia meminta supaya SBY mendorong penyelesaian kasus tersebut. Secara hierarkis, Kapolri bertanggung jawab langsung kepada presiden. Apalagi, pada saat yang sama, temuan ICW tersebut tak banyak direspons Korps Bhayangkara itu.

Sampai saat ini, tutur Tama, Mabes Polri hanya mengklarifikasi. Itu pun sekadar mengecek kepada yang bersangkutan. ''Maksud kami, mengapa tidak diklarifikasi dalam rangka konfrontasi? Kalau sekadar klarifikasi, tidak akan banyak perkembangan,'' katanya.

Bukan hanya Mabes Polri yang bertindak lamban, KPK juga sama. Di komisi antikorupsi itu, temuan ICW tersebut masih sebatas ditelaah. Itu pun tidak kunjung menghasilkan rekomendasi penyelidikan.

Padahal, kata Tama, KPK adalah lembaga yang paling pas dalam mengusut kepemilikan rekening tidak wajar tersebut. Sebab, kalau penyelesaian kasus itu dipimpin Kapolri, dia tak yakin bakal sukses.

''KPK loyo dan sangat lemah. Jika mengandalkan Polri, tak mungkin bisa independen. Sebaiknya, sebelum peringatan ulang tahun Polri, sudah diambil alih KPK, '' ujarnya.

SBY, lanjut Tama, bisa memanggil KPK, Kapolri, dan satgas untuk meminta laporan perkembangan. Dari laporan itu, SBY bisa mengevaluasi. ''Dari situ, bisa dilihat kasus tersebut macet di mana,'' tegasnya.

Di tempat terpisah, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adnan Pandu Praja setuju dugaan rekening mencurigakan tersebut diserahkan saja kepada KPK. ''Sebab, jika polisi yang menangani kasus tersebut, bisa jadi hasilnya akan bias,'' ungkapnya.

Beberapa waktu lalu, ujar dia, pihaknya melayangkan surat kepada PPATK untuk meminta data rekening mencurigakan milik perwira polisi itu. ''Tetapi, sampai kini kami belum mendapatkan,'' kata Adnan.

Sementara itu, Mabes Polri beralasan saat ini masih melakukan klarifikasi internal terkait laporan PPATK. Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Ito Sumardi berjanji segera menuntaskan secara serius. ''Saat ini tim masih bekerja. Beri kami waktu, insya Allah segera clear,'' ujarnya.

Dia tidak mau merinci langkah apa saja yang sudah dilakukan polisi. ''Tim khusus ini melibatkan unsur Bareskrim, Propam, Intelkam, Itwasum. (Tim) itu untuk menjamin agar hasil klarifikasinya bersifat objektif,'' tutur Ito. Sejumlah perwira tinggi dalam laporan PPATK tersebut juga sudah memberikan keterangan asal-usul dananya.

Sebelumnya, di gedung PTIK pada 10 Juni lalu, Kapolri Bambang Hendarso Danuri menegaskan bahwa PPATK dan Polri sudah berkoordinasi soal rekening tidak wajar tersebut. ''Tolong media tidak usah membesar-besarkan karena ini sudah ditangani secara internal,'' tegasnya saat itu.

Hingga kemarin, KPK tetap memilih bersikap pasif. Juru Bicara KPK Johan Budi Sapto Prabowo berdalih kasus dugaan korupsi itu sudah ditangani Polri. ''Tadi saya dengar dari pimpinan (KPK, Red) bahwa kasus tersebut sedang ditangani Polri. Jadi, serahkan saja kepada yang berhak. Tapi, kalau memang Polri meminta kami menangani, ya akan kami tangani,'' tuturnya ketika dihubungi tadi malam.

Dia menguraikan, KPK tidak berhak menangani kasus korupsi terkait rekening tidak wajar perwira polisi yang bernilai puluhan miliar rupiah tersebut. Namun, jika terkait laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), KPK akan memverifikasi. ''Kalau memang (LHKPN milik Irjen BG) itu ada, kami pasti akan verifikasi ulang,'' katanya.

Ketika ditanya soal laporan ICW terkait desakan pengusutan kasus rekening itu, Johan menuturkan bahwa laporan tersebut masih berada di bagian pengaduan masyarakat (dumas). ''Masih ditelaah,'' ucapnya.

Mantan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengungkapkan bahwa KPK memiliki kewenangan untuk berkoordinasi dengan kepolisian. Jika kasus yang ditangani masih dalam tahap penyelidikan, KPK bisa mengambil alih kasus sesuai MoU atau kesepakatan dengan kepolisian.

Dia memaparkan, sebelum diambil alih, suatu kasus harus dikoordinasikan lebih dulu. Dalam hal ini, KPK menunggu adanya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dari polisi. ''Dari SPDP itulah KPK bisa koordinasi dengan kepolisian,'' ujarnya tadi malam.

Dari SPDP tersebut, KPK dan kepolisian akan mengadakan gelar perkara bersama. Selanjutnya, dalam gelar perkara tersebut, dilakukan telaah bersama. ''Dari situ, bisa dicari kelemahan-kelemahannya apa. Kalau kepolisian kemudian merasa bahwa kasus itu lebih layak ditangani KPK, akan diambil alih,'' lanjut mantan jaksa itu. (rdl/aga/ken/kuh/c5/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 29 Juni 2010
--------------
Edisi Terbaru Majalah Tempo Menghilang di Pasar
MAJALAH Tempo edisi terbaru bertajuk Rekening Gendut Perwira Polisi yang terbit kemarin (28/6) mendadak ''menghilang'' dari kios-kios Jakarta. Majalah dengan gambar cover kartun polisi itu langsung habis begitu beredar di kios-kios. Menurut para pedagang, Tempo diborong ''orang-orang berbaju safari''.

Dalam edisi tersebut, Tempo menulis laporan utama tentang rekening mencurigakan para jenderal polisi. Sejumlah perwira tinggi polisi dilaporkan melakukan transaksi keuangan yang tidak lazim. Tempo juga menurunkan wawancara dengan Kabareskrim Komjen Ito Sumardi.

Menurut Kepala Divisi Sirkulasi, Distribusi, dan Pemasaran Tempo Windalaksana, setelah mengecek ke agen-agen, Tempo memutuskan akan mencetak ulang. ''Rencananya edar besok (hari ini, Red) untuk memenuhi kebutuhan konsumen,'' katanya di Jakarta kemarin (28/6).

Berdasar pantauan Jawa Pos di beberapa sentra penjualan majalah di Jakarta, Tempo memang sulit didapat. Gerai majalah di dekat kampus Bina Nusantara, Rawabelong, Jakarta Barat, yang biasanya menyetok Tempo hingga puluhan eksemplar habis diborong sejak pagi.

''Yang beli bapak-bapak pakai mobil patroli polisi sekitar pukul 8 pagi. Semua,'' kataYuliawan, penjaga gerai itu. Setiap terbit, Yuliawan mengambil 250-300 eksemplar.

Agen majalah lain di Jakarta Pusat juga kehabisan stok. Di kawasan Sentra Bursa Media, Jalan Budi Utomo, misalnya, dari tiga lapak agen Tempo di situ, semua kehabisan majalah sejak pagi. Padahal, tiap lapak minimal mengambil 250 eksemplar majalah Tempo tiap terbit. Berarti, minimal 750 eksemplar majalah ludes diborong orang yang diduga berkepentingan dengan berita di Tempo.

''Yang borong pakai baju safari, rambutnya pendek,'' kata Gunawan, salah seorang penjaga lapak. Dia tidak berani memastikan bahwa yang memborong majalahnya adalah anggota polisi.

Tak lama setelah Tempo habis, kata para pedagang, seorang polisi berseragam lengkap datang dan bermaksud membeli majalah mingguan berita itu. ''Polisi itu datang mengendarai mobil polisi,'' ujar seorang pedagang yang meminta namanya dirahasiakan.

Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Zainuri Lubis menyatakan belum menerima laporan soal hilangnya majalah Tempo di pasaran terkait berita miring tentang korps Polri. ''Saya belum tahu soal itu,'' tegas jenderal bintang satu tersebut.

Sementara itu, anggota Komisi Hukum DPR Nasir Djamil tak yakin polisi digerakkan secara sistematis untuk membeli Tempo. ''Justru sebaliknya, ini bisa saja langkah kontra intelijen agar masalah ini jadi ramai dan besar. Agar Polri tercoreng mukanya menjelang ulang tahun,'' ungkapnya.

Polri, kata politikus PKS itu, harus segera menjawab isu rekening tersebut dengan memberikan klarifikasi lengkap. ''Tidak perlu pakai cara Orde Baru. Kapolri bicara saja secara terbuka dan mengumumkan bahwa kecurigaan itu tidak benar. Atau kalau benar, umumkan siapa yang salah,'' katanya.

Nasir menilai UU Kepolisian belum jelas mengatur tentang ''bisnis'' sampingan para perwira polisi. ''Kalau yang berdagang anaknya, apa melanggar undang-undang? Kalau dia dapat hibah atau warisan, apa juga melanggar?'' ujarnya. (rdl/jpnn/c5/ari)
Sumber: jawa Pos, 29 juni 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan