ICW dan Sengketa Jurnalistik

Bermula dari desakan agar Presiden Joko Widodo tidak memilih figur-figur yang ”anti pemberantasan korupsi” sebagai anggota Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi, dua aktivis Indonesia Corruption Watch kemudian dilaporkan ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik.
 
Kontroversi muncul karena polisi kemudian memproses pengaduan tersebut secara langsung dan cenderung mengabaikan permintaan beberapa pihak untuk mendahulukan penyelesaian melalui Dewan Pers.
 
Persoalannya, dapatkah sumber berita digugat secara hukum atas kutipan pernyataannya dalam suatu berita? Siapakah yang harus bertanggung jawab jika pernyataan sumber dalam suatu berita dianggap bermasalah?
 
Persoalan ini belum banyak didiskusikan, tetapi semakin sering terjadi belakangan. Pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh suatu berita, secara langsung menggugat sumber berita, bukan institusi media yang memublikasikan berita itu.
 
Otoritas redaksi
Pertama-tama perlu diklarifikasi apakah yang sesungguhnya dipersoalkan pelapor? Lalu, apa pernyataan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), sebagaimana dikutip media atau pernyataan terbuka mereka dalam suatu acara publik yang kemudian ramai diberitakan media? Perlu ditegaskan ini dua masalah yang berbeda, yang pertama masalah jurnalistik dan yang kedua masalah nonjurnalistik.
 
Pada prinsipnya, jika yang dipersoalkan adalah masalah jurnalistik, maka penyelesaiannya harus melalui mekanisme penyelesaian jurnalistik sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
 
Laporan Romli Atmasasmita terhadap aktivis ICW jelas laporan tentang masalah jurnalistik. Pelapor mempersoalkan pernyataan aktivis ICW sebagaimana telah dimuat beberapa media. Maka, yang harus dipertimbangkan adalah prinsip bahwa ”sejauh terkait dengan berita yang telanjur dipublikasikan suatu media, yang bertanggung jawab adalah pihak media”.
 
Pengutipan pernyataan sumber dalam suatu berita sepenuhnya adalah otoritas redaksi, sehingga yang bertanggung jawab atas pengutipan itu adalah pihak media, bukan sumber berita. Redaksi dapat memutuskan untuk mengutip seluruhnya, mengutip sebagian, menyunting atau bahkan tidak mengutip sama sekali pernyataan sumber.
 
Keputusan untuk tidak mengutip atau menyunting pernyataan sumber, misalnya, dilakukan redaksi dengan menimbang bahwa pernyataan sumber tendensius terhadap pihak tertentu atau berpotensi menimbulkan komplikasi hukum. Redaksi juga harus mempertimbangkan untuk meminta klarifikasi pihak-pihak terkait sebelum publikasi berita dilakukan.
 
Selain itu, sejumlah kasus menunjukkan, sering kali yang dimuat media tidak benar-benar persis apa yang dikatakan sumber berita. Tidak jarang, sengaja atau tidak, media menafsirkan ulang, mengilustrasikan lebih jauh, menambah-nambahi, bahkan memelintir pernyataan sumber.
 
Dengan kata lain, ketika suatu pernyataan sumber dikutip dalam sebuah berita, sesungguhnya telah terjadi transisi dari ranah personal menuju ranah jurnalistik. Dengan transisi ini, maka tanggung jawab personal sumber berita pun juga digantikan oleh tanggung jawab institusional redaksi media.
 
Beda urusannya jika yang dipersoalkan Romli adalah pernyataan terbuka aktivis ICW dalam sebuah acara publik, tanpa mempertimbangkan apakah kemudian diberitakan media atau tidak. Untuk kasus seperti ini, mekanisme penyelesaian sengketa jurnalistik di Dewan Pers justru tidak relevan untuk digunakan.
 
Prinsipnya, setiap orang harus bertanggung jawab atas pernyataan yang disampaikannya secara terbuka yang berkaitan langsung dengan kepentingan, nasib dan posisi orang lain. Namun, sekali lagi, yang dipersoalkan Romli bukan pernyataan aktivis ICW pada konteks ini, tetapi pada konteks pemuatan dan penyebarluasannya melalui pemberitaan media.
 
MOU Dewan Pers-Polri
Dalam menangani laporan Romli terhadap aktivis ICW, Polri seharusnya merujuk pada Nota Kesepahaman (MOU) Polri-Dewan Pers. Nota kesepahaman ini secara prinsipiil menyatakan, sengketa jurnalistik harus diselesaikan secara jurnalistik. UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik telah menyediakan penyelesaian secara jurnalistik ini dengan mekanisme hak jawab, hak koreksi, permintaan maaf secara terbuka, dan penyelesaian sengketa di Dewan Pers.
 
Dinyatakan bahwa jika menerima pengaduan langsung tentang pers, Polri akan terlebih dahulu meminta Dewan Pers menilai apakah pengaduan itu tentang perkara jurnalistik atau bukan. Jika ternyata tentang perkara jurnalistik, penyelesaiannya akan dilakukan Dewan Pers. Sebaliknya, jika pengaduan itu ternyata tentang perkara nonjurnalistik, menjadi kewenangan Polri untuk menyelesaikannya.
 
Oleh karena itu, patut disayangkan bahwa Polri secara langsung menindaklanjuti laporan Romli atas aktivis ICW tanpa terlebih dahulu memerhatikan maksud dari nota kesepahaman di atas. Padahal, di saat yang hampir bersamaan, Dewan Pers sudah menelaah dan mengumumkan bahwa laporan Romli terhadap aktivis ICW adalah kasus jurnalistik yang harus diselesaikan di Dewan Pers.
 
Keinginan Dewan Pers untuk berkoordinasi dengan Polri guna menyelesaikan kasus ini semestinya diterima dengan tangan terbuka. Nota kesepahaman itu suatu kemajuan yang menunjukkan apresiasi Polri terhadap iklim kemerdekaan pers di Indonesia. Yang dibutuhkan kemudian adalah konsistensi dan komitmen Polri untuk mempertahankan capaian positif tersebut.
 
Pada sisi lain, perlu ditegaskan, media yang memberitakan pernyataan ICW di atas semestinya tidak bersikap pasif dan membiarkan ICW sendirian menghadapi gugatan hukum. Media harus mengambil alih atau setidak-tidaknya meringankan beban sumber berita yang sedang digugat secara hukum. Media harus membantu mencarikan jalan penyelesaian.
 
Langkah yang direkomendasikan kepada media massa adalah melakukan pendekatan kepada pelapor dan polisi agar bersedia ”menyelesaikan masalah jurnalistik secara jurnalistik”. Sedapat mungkin pihak media menawarkan hak jawab yang proporsional kepada pelapor atau mencoba memediasi guna mencari penyelesaian di luar jalur hukum. Dengan demikian, masyarakat akan mengetahui bahwa media telah menunjukkan kepedulian dan tanggung jawabnya terhadap persoalan yang dialami oleh sumber berita yang telah berkontribusi pada munculnya berita-berita di media tersebut.
 
AGUS SUDIBYO, KEPALA PROGRAM STUDI AKADEMI TELEVISI INDONESIA
----------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juli 2015, di halaman 7 dengan judul "ICW dan Sengketa Jurnalistik".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan