ICJR: MA Harus Menjawab Kepastian Hukum Praperdilan BG

ICJR: MA Harus Menjawab Kepastian Hukum Praperdilan BG

Penolakan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) atas permohonan kasasi yang diajukan KPK atas putusan praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG) harus cepat diselesaikan oleh Mahkamah Agung (MA). Direktur EksekutifInstitute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi W. Eddyono mengatakan sebagai judex juris, MA memiliki alasan yang kuat untuk menguji putusan praperadilan Budi Gunawan.

Menurut dia, alasan penolakan PN Jaksel bersumber dari terbitnya SEMA No.8 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 45 A UU MA, praperadilan tidak bisa diajukan kasasi. Seyogyanya MA sebagai lembaga hukum yang paling tepat dalam menguji kepastian hukum masalah kewenangan praperadilan dan tafsiran kewenangan KPK.

“Ini telah terjadi kesalahan penafsiran hukum terkait kewenangan KPK dalam menangani korupsi,” kata dia.

Dalam hal ini, MA harus memberikan perhatian serius. Pasalnya secara normatif Pengadilan Negeri (PN) dan MA bersandar pada ketentuan Pasal 45 A UU MA dan SEMA  No. 8 Tahun 2011 yang rumusannya bertujuan untuk mengurangi beban perkara di MA. Menurut Supriyadi, penolakan kasasi KPK oleh PN Jaksel didasarkan alasan administratif, bukan substansi.

“Putusan praperadilan BG akan berdampak pada masalah hukum, karena selama ini kasus-kasus dalam Pasal 45A UU MA jumlahya tidak signifikan, sehingga akan lebih baik MA menguji praperadilan BG dengan alasan terdapat masalah hukum yang lebih besar dan harus dijawab. Daripada MA sekedar takut kelebihan beban perkara hanya karena menguji satu putusan praperadilan,” papar dia.

Selain itu, jika praperadilan BG tidak diuji ditingkat yang lebih tinggi maka dapat disimpulkan MA gagal menjalankan fungsinya sebagai penjaga kesatuan hukum nasional dan sebagai lembaga judex juris. Dengan mengacuhkan masalah hukum terkait kewenangan praperadilan serta tafsiran kewenangan KPK.

Supriyadi pun menegaskan bahwa tafsiran hukum hakim Sarpin yang mencakup aspek diluar objek praperadilan, seperti batasan pejabat dan penyelenggara negara, penegak hukum sampai dengan kerugian negara telah menjadi hukum baru yang harus diuji kembali agar pemberantasan korupsi tidak terancam mundur.

“Kedepan akan menjadi tameng para koruptor dalam setiap eksepsi pembuktian perkara korupsi di Tipikor yang ditutut oleh KPK. Akan ada kekacauan hukum, bahkan KPK dapat terbelenggu dalam batasan yang sudah dibuat oleh hakim Sarpin dalam menangani perkara korupsi,” tegasnya.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan