Ibu Guru Nurlaila dan Waldonah [24/07/04]
Pak, saya dimutasi ke SMA Candiroto, 60 km dari rumah saya. Dasarnya laporan Bawaskab (Badan Pengawas Kabupaten) tentang pemeriksaan atas diri saya yang dilakukan karena adanya surat kaleng yang ditujukan ke K3S/MKKS. Begitu bunyi pesan pendek (SMS) yang dikirimkan Dra. Waldonah, bekas guru kimia SMAN I Temanggung, Jawa Tengah, pada 26 Maret 2004.
Membaca pesan itu saya kaget dan sekaligus sedih. Kaget, karena seminggu sebelumnya Waldonah dan kawan-kawan baru saja berdiskusi dengan saya mengenai permasalahan guru di Temanggung. Mereka membentuk forum kajian bernama Majelis Kajian untuk Perbaikan Pendidikan (MkuPP) yang bertujuan untuk melakukan perbaikan pendidikan dari dalam (oleh guru sendiri). Sedih karena kekhawatiran sejak awal bahwa otonomi daerah akan menjadikan posisi guru semakin terjepit terbukti. Kekuasaan bupati/wali kota yang tidak terkontrol, membuat mereka sewenang-wenang pada guru yang tidak disukai.
Pesan lain dari Waldonah yang membuat saya tertegun berbunyi, Pak, pengacara saya dipanggil bupati. Saya diminta pindah ke Magelang, tapi sekolahnya disuruh cari sendiri. Bupati mau kasih surat lolos butuh. Pesan itu dikirim pada 15 Mei 2004.
Permintaan bupati itu jelas merupakan bentuk pengusiran secara halus. Belakangan, dari seorang kawan Figurmas (Forum Interaksi Guru Banyumas), saya mengetahui bahwa tawaran pindah ke Magelang itu dimaksudkan untuk tukar tempat dengan istri seorang mantan pejabat Kabupaten Magelang. Saran itu pun tidak bisa dilakukan karena ternyata istri mantan pejabat tadi adalah guru SD, sedangkan Waldonah guru SMA.
Akhirnya, Waldonah masih bertahan di SMAN Candiroto, tapi hanya mengurusi perpustakaan. Padahal, dia adalah guru kimia yang pada 2003 mampu mengantarkan muridnya memperoleh medali perunggu pada Olimpiade Kimia Internasional (International Chemistry Olympiad/ICHO) di Athena atas nama Damar Yoga Kusuma.
Alasan Bupati Temanggung Totok Ary Prabowo memutasi Waldonah juga tidak jelas. Sebab, sebelum Waldonah dimutasi, jumlah guru kimia di SMAN Candiroto sudah tiga orang (sesuai dengan kebutuhan). Demikian pula jumlah guru kimia di SMA I tiga orang (sesuai dengan kebutuhan). Akibat mutasi itu guru kimia SMAN I kurang satu, sedangkan guru kimia SMAN Candiroto lebih satu. Wajar bila kemudian Waldonah tidak kebagian jam mengajar.
Surat kaleng
Alasan mutasi Waldonah yang tidak jelas itu kemudian memunculkan dugaan bahwa mutasi itu tidak lepas dari aktivitas Waldonah di MKuPP. Kurun waktu November 2003-Februari 2004 MKuPP menyampaikan hasil sejumlah kajian sebagai berikut.
Pertama, usulan pembatasan masa jabatan kepala menjadi empat tahun--sesuai SK Mendiknas Nomor 0296/U/1996 yang diperbarui dengan SK Mendiknas Nomor 162/U/2003--dan dengan model rekrutmen: pilihan langsung oleh guru, karyawan, komite sekolah, dan perwakilan murid.
Kedua, meminta agar Bupati Temanggung menghentikan Ulangan Umum Bersama (UUB) karena UUB bertentangan dengan SK Mendiknas Nomor118/U/2002 tentang Penyesuaian Garis-garis Besar Program Pengajaran dan Penilaian pada Sistem Semester Pasal 3 ayat 3 yang berbunyi: Pada akhir semester I di setiap satuan pendidikan tidak dilaksanakan ulangan umum. MKuPP menduga UUB bermotif nonakademis.
Ketiga, meminta kepada Bupati Temanggung untuk melakukan audit keuangan pada Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S), yang sekarang berganti baju menjadi Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS). Keempat, meminta kepada Bupati Temanggung untuk mematuhi prosedur pembentukan Badan Akreditasi Sekolah (BAS) sesuai dengan SK Mendiknas Nomor 087/U/2002, dan tidak asal tunjuk, karena di masa lalu proses akreditasi sekolah merupakan lahan praktek korupsi dan kolusi.
Kelima, usulan/saran agar Dinas Pendidikan melakukan antisipasi terhadap SK Mendiknas Nomor 153/U/2003 tentang Ujian Nasional, khususnya syarat kelulusan nilai lebih besar atau sama dengan 4,01.
Bagi seorang bupati, usulan para guru itu memang cukup menohok. Hasil kajian MKuPP itu dimuat oleh berbagai media massa dan kemudian menimbulkan polemik antara MKuPP dan K3s/MKKS. Pada saat polemik itu memuncak, tiba-tiba ada surat kaleng yang ditujukan ke Ketua K3S/MKKS dan ditembuskan kepada Kepala SMAN I tempat Waldonah jadi guru. Isi surat kaleng itu melaporkan Waldonah bersekongkol dengan Darma Yoga Kusuma membocorkan soal ulangan umum pelajaran kimia. Surat kaleng itu dikirim atas nama Dwi Hardiyani, yang mengaku sebagai orangtua Darma Yoga Kusuma. Namun, setelah ditelusur di data sekolah tidak ditemukan nama orang itu.
Berdasarkan surat kaleng itu, Waldonah diperiksa oleh Bawaskab (Badan Pengawas Kabupaten). Pihak pelapor, Dwi Hardiyani, tidak pernah diperiksa untuk membuktikan laporannya, karena data Dwi memang tidak ditemukan. Waldonah juga tidak diberi tahu hasil pemeriksaan dirinya oleh Bawaskab, tapi di SK mutasi alasan kepindahan itu berdasarkan hasil pemeriksaan Bawaskab. Setelah melalui perjuangan keras akhirnya Waldonah dimutasi lagi di SMA dekat rumahnya, tapi tidak kembali ke SMAN I.
Mempertahankan kebenaran
Berbeda dengan Waldonah, Dra. Nurlaila, guru SMPN 56 Melawai, Jakarta Selatan, mengalami nasib lebih buruk lagi. Nurlaila diturunkan pangkat dan sejak awal 2004 distop gajinya karena menolak pindah ke SMPN 56 Jeruk Purut maupun sekolah lain, dan tetap terus berjuang menolak tukar guling SMPN 56 Melawai.
Padahal, dasar penolakan Nurlaila itu jelas. Pertama, secara prinsip, fasilitas publik tidak boleh ditukarkan untuk kepentingan pribadi. Kedua, berdasarkan Keppres Nomor 6 Tahun 1994 dan Keppres Nomor 24 Tahun 1995, penjualan aset negara yang dipertukarkan di atas Rp 10 miliar harus terlebih dulu mendapat persetujuan Presiden RI. Dalam proses tukar guling SMPN 56 Melawai hal itu tidak dilakukan. Jadi, jelas yang diperjuangkan Nurlaila itu adalah kebenaran, baik kebenaran akal sehat maupun hukum.
Meskipun demikian, dia tidak memperoleh penghargaan, sebaliknya malah sanksi berupa penurunan pangkat dan gajinya distop oleh Pemda DKI Jakarta. Bahkan sejak 19 Juli 2004 Nurlaila ditetapkan sebagai tersangka dan menjalani pemeriksaan polisi dengan tuduhan memasuki pekarangan orang lain tanpa izin dan menyelenggarakan pendidikan secara ilegal atau liar. Akibat tuduhan itu, posisi Nurlaila sekarang terjepit. Ironisnya, pihak yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam tukar guling itu malah dibiarkan berkeliaran dan berkuasa.
Apa yang terjadi pada Waldonah di Temanggung dan Nurlaila di Jakarta itu adalah contoh perlakuan pemerintah daerah yang sewenang-wenang terhadap guru. Di luar itu banyak kasus serupa, tapi kurang termonitor, seperti misalnya Daniel Sriadi, guru SMPN 2 Gombong, Jawa Tengah, yang dibebastugaskan karena melaporkan penyelewengan Rancangan Anggaran Belanja Sekolah di sekolahnya kepada Komisi E DPRD Kebumen. Pada 2002 empat guru SMPN 3 Tangerang juga dimutasi karena menuntut transparansi RABS di sekolahnya.
Para guru tersebut berjuang untuk menegakkan kebenaran dan kewibawaannya sebagai guru, tapi yang mereka peroleh justru sanksi mutasi, penurunan pangkat, dan penghentian gaji. Sebaliknya, guru-guru yang diam terhadap praktek-praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, praktek pendidikan yang menindas masyarakat, dan penjualan aset-aset negara, malah dianugerahi kenaikan pangkat. Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso memberikan kenaikan pangkat kepada para guru SMPN 56 Melawai yang bersedia pindah ke SMPN 56 Jeruk Purut.
Ibu Guru Nurlaila dan Waldonah menarik perhatian, karena keduanya sama-sama perempuan tapi sekaligus sama-sama memiliki kegigihan untuk memperjuangkan kebenaran dalam dunia pendidikan di tengah-tengah kefrustrasian masyarakat terhadap praktek pendidikan yang menindas. Keduanya tidak memiliki pretensi untuk menjadi seorang kepala daerah, anggota DPR/DPRD, apalagi presiden. Mereka sekadar ingin agar pendidikan untuk masyarakat diutamakan dan dilaksanakan tanpa menindas masyarakat. Tapi, yang mereka terima ternyata bukan suatu penghargaan, melainkan sanksi.
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang mendapat dana block grant Rp 3 juta untuk setiap PGRI tingkat kabupaten/kota dalam rangka perlindungan hukum terhadap guru, mestinya membela para guru itu. Tapi, lantaran pengurus PGRI di kabupaten/kota dijabat Kepada Dinas Pendidikan, maka sikapnya terhadap guru pun menjadi ambivalen. (Darmaningtyas, Anggota Dewan Penasihat Center for the Betterment of Education, Jakarta)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 24 Juli 2004