Ia Membantah Anak Buahnya Lalai; Kajari Akui Koruptor Kabur [30/07/04]

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Bandung, Yuswa Kusumah, S.H., mengakui terpidana Setia Gunadi (61) yang dihukum 4 tahun penjara karena melakukan tindak pidana korupsi senilai Rp 1 miliar, kabur sebelum dieksekusi. Namun, dirinya membantah kaburnya terpidana lantaran kelalaian anak buahnya.

Pernyataan tersebut disampaikan Yuswa Kusumah kepada wartawan, Kamis (29/7) di Kantor Kejari Bandung, Jln. R.E. Martadinata Bandung, menyusul kaburnya terpidana Setia Gunadi, warga Jln. Boscha No. 33 Kota Bandung.

Yuswa mengakui kaburnya terpidana yang sudah berada di kantor kejaksaan pada Selasa (27/7) sekira pukul 10.30 WIB, dan sampai Kamis (29/7) kemarin pihaknya belum berhasil menemukan yang bersangkutan. Kita tengah melakukan pencarian terhadap terpidana ke sejumlah tempat yang diduga menjadi tempat pelariannya. Namun, sampai sekarang belum berhasil ditemukan, ujarnya.

Ketika ditanya, apakah kaburnya terpidana lantaran kelalaian petugas kejaksaan, dalam hal ini anak buahnya sendiri, Yuswa membantah anggapan tersebut. Menurutnya, peristiwa memalukan itu bukan akibat kelalaian anak buahnya. Saya merasa bukan karena kelalaian (anak buah saya), tegasnya. Selain itu, dia juga menyatakan bahwa dirinya tidak mungkin akan menyalahkan anak buahnya dalam kasus tersebut.

Menurut cerita Yuswa, semula terpidana yang didampingi pengacaranya bernama Sutarmo, S.H., punya itikad baik untuk menjalankan eksekusi. Hal itu terlihat dengan kedatangan mereka ke kantor kejaksaan. Melihat itikad baik tersebut, kami tidak berpikiran macam-macam, karena terpidana dan pengacaranya kooperatif. Apalagi, pengacaranya mantan Kajari Ponorogo Jawa Timur, kata Yuswa meyakinkan.

Mengenai kronologis kaburnya terpidana, menurut Yuswa, diawali saat Kasubsi Eksekusi Doddy BK S.H. tengah membuat berita acara (BA) yang dihadiri terpidana bersama pengacaranya dan Kasie Pidana Khusus (Pidsus) Sukaryo, S.H. Pada waktu itu, Kasie Pidsus meninggalkan ruangan menemui dirinya untuk melaporkan tentang eksekusi. Namun, lanjut Yuswa, dirinya tidak ada di ruangan karena tengah berada di kantor Kejati Jabar.

Setelah itu, Kasie Pidsus kembali ke ruangan Pidsus. Namun sesampai di ruangan, terpidana tidak terlihat batang hidungnya. Sedangkan pengacara terpidana, saat itu sedang di kamar kecil. Menurut pengakuan Doddy, waktu itu terpidana minta izin ke luar mau buang air kecil. Karena terpidana datang dengan pengacaranya ke kejaksaan, maka tidak ada kecurigaan yang bersangkutan akan kabur, ujar Yuswa, lagi-lagi membela anak buahnya.

Ketika ditanya apakah Doddy sudah diminta keterangan mengapa terpidana dibiarkan begitu saja keluar ruangan, menurut Yuswa, Doddy sendiri mengaku tidak melepaskan terpidana begitu saja, tapi sudah menitipkannya kepada pengacara terpidana. Ketika ditanya soal mengapa tangan terpidana tidak diborgol, Yuswa menjawab, Karena melihat gelagat terpidana yang beritikad baik, maka tidak perlu diborgol segala.

Versi pengacara
Mengetahui terpidana Setia Gunadi kabur, menurut Yuswa lagi, pihaknya langsung membuat surat kepada aparat kepolisian untuk meminta bantuan penangkapan terpidana. Surat tersebut disampaikan ke sejumlah polres dan polsek di Bandung dan Kab. Bandung. Bahkan, juga sampai ke tingkat RW dan RT. Kita juga sudah sebarkan foto terpidana, kata Yuswa.

Tentang target, Yuswa berharap secepat mungkin bisa menangkap terpidana. Untuk itu, pihaknya terus melakukan pengejaran ke sejumlah tempat, termasuk ke tempat famili atau keluarga terpidana. Malah, pengacara terpidana memberikan sejumlah alamat yang kemungkinan dijadikan tempat sembunyi terpidana.

Di tempat terpisah, pengacara terpidana, Sutarmo, S.H., yang saat dihubungi PR tengah berada di Yogyakarta, membenarkan kaburnya terpidana. Menurutnya, terpidana kabur ketika dirinya sedang ke kamar kecil. Setelah saya kembali ke ruangan Pidsus, terpidana sudah tidak ada. Kata Doddy, terpidana keluar mau menemui saya, ujar Sutarmo.

Karena melihat terpidana sudah tidak ada di ruangan, jelas Sutarmo, maka dirinya bersama Doddy mencari keluar, ternyata tidak berhasil. Menurut Sutarmo, terpidana melarikan diri menggunakan mobil sendiri. Namun dipertanyakan, dari mana dia tahu jika terpidana melarikan diri menggunakan mobilnya sendiri?

Mengenai kedatangan terpidana ke kejaksaan, kata Sutarmo, dilakukan setelah dirinya bertemu dengan terpidana di kediamannya Jln. Boscha No.33 Bandung. Terpidana memberi tahu bahwa sudah ada surat panggilan eksekusi. Maka, dia menyarankan untuk melaksanakan eksekusi itu karena sudah tidak ada lagi upaya hukum lain. Terpidana setuju dan bersama isterinya berangkat ke kantor kejaksaan.

Sebelum ke kejaksaan, mereka mengantar isteri terpidana yang tengah mengambil program S2 di Kampus Unpad. Setelah itu langsung menuju kantor kejaksaan. Di sana mereka bertemu dengan Kasie Pidsus dan langsung diintograsi.

Menurut Sutarmo, tidak tampak kecurigaan terpidana akan melarikan diri. Mungkin setelah berada di kejaksaan dan akan menjalani hukuman penjara, dia takut, lalu punya pemikiran untuk kabur, kata Sutarmo. Ia juga menambahkan, sejumlah tempat sudah ditelusuri, namun tersangka belum ditemukan. Bahkan, isterinya juga sudah ditanya, namun mengaku tidak tahu kalau suaminya melarikan diri.

Terpidana Setia dihukum karena melakukan tindak pidana korupsi pada tahun 1996. Pada waktu itu, Kanwil VII Ditjen Pajak Jabar (bukan Dinkes seperti diberitakan PR Kamis, 29/7) memerlukan lahan untuk membangun kantor KPP Bojonagara. Kebetulan Siti Aminah akan menjual tanahnya di sekitar Pasteur. Ia memberikan kuasa kepada Beni Bhatiar dan Edi Saimin.

Atas saran terpidana, kedua kuasa Aminah kemudian memberikan kuasa subsitusi kepada adik iparnya Rudi Jalaludin. Dengan surat-surat tanah yang dipalsukan, akhirnya Rudi berhasil menjual tanah tersebut kepada kanwil pajak dengan harga tiga kali lipat yang diminta Aminah, sekira Rp 1,4 miliar. Setelah dipotong biaya administrasi pembayaran dari kanwil yang berjumlah sekirar Rp 800 juta, seluruhnya diserahkan Rudi kepada terpidana.

Akan tetapi, terpidana tidak menyerahkan uang itu kepada Aminah, tapi digunakan untuk kepentingan pribadi. Aminah tetap menguasai tanah yang sudah dijual terpidana, sementara Kanwil Pajak tidak bisa membangun KPP di tempat tersebut. Karena ulah terpidana, kanwil dirugikan sekira Rp 1 miliar.

Terhadap kasus itu, Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang diperkuat putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jabar, menghukum terpidana 4 tahun penjara dengan membayar ganti rugi kepada negara Rp 250 juta dan denda Rp 10 juta.(B-78)

Sumber: Pikiran Rakyat, 30 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan