Hutan Kita yang Dikorupsi
Tragedi tanah longsor di perkebunan teh Ciwidey, Bandung, yang menelan korban jiwa mencapai lebih dari 30 orang, adalah salah satu dari puluhan bencana alam yang akhir-akhir ini menimpa sebagian wilayah Indonesia. Di Jakarta dan sekitarnya sebagai misal, bencana banjir masih menjadi ancaman serius, terutama karena kiriman dari Bogor jika terjadi hujan lebat.
Banjir kini juga terjadi di daerah-daerah luar Jawa yang sebelumnya tidak pernah mengalaminya. Jikapun pernah ada, dalam sejarahnya tidak sampai menjangkau hingga menelan sebagian rumah dan merendam pertanian sebagai sumber penghidupan utama masyarakat: area pertanian, tambak, dan sebagainya. Pendek kata, bencana alam yang kini menghantam sebagian besar wilayah Indonesia sudah mengganggu sistem ketahanan sosial-ekonomi mengingat dampaknya yang dapat memiskinkan warga.
Jika diteropong lebih jauh, masalah ketidakseimbangan lingkungan dan ekosistem kita bukan semata-mata karena faktor alam. Lebih dari itu adalah karena usaha eksploitasi terhadap sumber daya alam, entah itu kegiatan penebangan hutan yang ekstensif dan intensif di pulau-pulau yang kaya dan berlimpah pohon maupun penambangan yang demikian massif untuk kepentingan industri besar.
Dalam kondisi di mana Indonesia memiliki banyak sekali bahan baku alam, ditopang oleh kebijakan pemerintah yang sangat liberal dalam membuka kesempatan kepada siapa pun untuk menggarapnya, Indonesia bak tubuh sangat sehat yang sedang disakiti oleh dirinya sendiri.
Kerusakan lingkungan semakin parah karena dipicu oleh kebijakan desentralisasi, di mana pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk memberikan perizinan bagi kegiatan eksploitasi hutan maupun pertambangan. Dengan demikian, dari berbagai macam peristiwa bencana alam yang terjadi di Indonesia, hal itu tidak lagi bisa dianggap sebagai persoalan bencana belaka, akan tetapi sudah harus dipandang sebagai kegagalan pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang prolingkungan.
Mafia hutan
Kebijakan yang tidak prolingkungan nyatanya secara signifikan dipengaruhi oleh pertautan kepentingan antara pejabat publik dan pengusaha kelas kakap, baik pada tingkat domestik maupun antarnegara. Aparat penegak hukum turut bermain dalam skala sebagai pemberi perlindungan dan keamanan atas kegiatan eksplorasi serta eksploitasi, meskipun dalam beberapa kasus ditemukan mereka juga merupakan pemain.
Tragedi perusakan alam, khususnya hutan di Indonesia, menjadi lebih parah karena, secara global, bisnis minyak sawit tengah menjadi primadona. Upaya mengkonversi hutan perawan menjadi perkebunan kelapa sawit secara ilegal terjadi di berbagai wilayah, khususnya Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Modusnya, pejabat publik di pusat memberikan rekomendasi atas penggunaan hutan, terutama bagi area yang dikategorikan sebagai cagar alam, sedangkan pejabat publik di daerah memberikan izin pemanfaatan hutan sebagai area perkebunan baru dan sekaligus kegiatan penambangan ilegal. Semua pendanaan untuk mengurus semua proses "administrasi" dan "birokrasi" itu disediakan sepenuhnya oleh calon investor.
Dengan menyuap para pejabat publik yang berwenang, para mafioso hutan memiliki dua keuntungan sekaligus. Di satu sisi mendapatkan perizinan resmi untuk menggunakan lahan hutan sebagai area perkebunan sawit. Di sisi lain, wilayah yang sebelumnya hutan dapat dieksploitasi hasil hutannya secara diam-diam, sementara jika pada saat yang bersamaan pada area itu ada kandungan sumber daya alam nonhutan, seperti emas dan batu bara, mereka juga secara langsung dan ilegal melakukan penambangan. Dengan kontur alam yang kaya sumber daya, sebaran hutan perawan yang di dalamnya juga terkandung sumber daya nonhutan banyak ditemukan pada pulau-pulau besar, seperti Kalimantan dan Papua.
Berdasarkan Laporan Tim Terpadu Revisi RTRWP Kalimantan Tengah tahun 2009, disebutkan bahwa sekitar 7,8 juta hektare wilayah hutan asli telah diubah menjadi perkebunan sawit, area tambang, dan kegiatan eksploitasi lainnya. Masih menurut data yang sama, di provinsi tersebut, hampir seluruh kepala daerahnya telah memberikan kontribusi dalam perusakan hutan oleh perusahaan-perusahaan berkedok bisnis sawit melalui penerbitan izin usaha perkebunan dan/atau kuasa pertambangan.
Demikian pula, menurut data Balai Pemantapan Kawasan Hutan Departemen Kehutanan, disebutkan bahwa dalam kurun waktu enam tahun terakhir, sekitar 5,8 juta hektare hutan di Papua mengalami kerusakan parah. Bahkan, menurut perkiraan BPKH Kementerian Kehutanan, hutan di Papua akan habis sama sekali pada 2020 jika kegiatan eksploitasi alam tidak dihentikan secepatnya. Padahal, dalam konteks melawan pemanasan global, hutan di Indonesia telah dianggap sebagai benteng terakhir.
Kebal hukum
Ironisnya, kita dihadapkan pada situasi yang tidak berdaya untuk memberikan hukuman kepada para perusak hutan, entah mereka yang berposisi sebagai pejabat pemberi izin maupun para investor yang berkedok menanamkan investasi untuk bisnis perkebunan sawit. Padahal merekalah yang menjadi dalang atas terjadinya berbagai kerusakan alam yang sistematis dan massif.
Mandulnya penegakan hukum bukan hanya karena lemahnya sistem hukum kita dalam melindungi lingkungan dan hutan, tapi juga lantaran keterlibatan aparat penegak hukum dalam berbagai praktek eksploitasi alam. Bisa dibilang, Indonesia memiliki sejarah kegagalan penegakan hukum lingkungan yang teramat panjang, sepanjang proses perusakan alam itu sendiri.
Lemahnya hukum berhadapan dengan perusak hutan membuat aktivitas eksploitasi dan eksplorasi ilegal kian merajalela. Kementerian Kehutanan bisa dianggap sebagai kementerian yang gagal menjaga hutan kita dari kerusakan hebat. Pejabat Penyidik Departemen Kehutanan (PPNS Kementerian Kehutanan) sama sekali tidak pernah mengajukan perusahaan pengkonversi hutan ilegal ke persidangan. Kasus yang terkait dengan PT RAPP di Riau hingga kini tidak jelas penanganannya. Bahkan dalam kaitan dengan dugaan pembalakan liar perusahaan ini, polisi justru mengeluarkan surat penghentian penyidikan perkara.
Mungkin polisi, penyidik di Kementerian Kehutanan, dan kejaksaan memang tidak bisa diharapkan untuk melibas mereka. Meskipun demikian, kita masih bisa berharap dari KPK. Membidik para perusak hutan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi merupakan langkah kreatif sebagai antitesis dari lemahnya Undang-Undang Lingkungan dalam melindungi alam.
Dengan menggunakan Undang-Undang Tipikor, KPK membuka kemungkinan untuk melakukan penegakan hukum bagi pejabat, investor, dan pihak lain yang terlibat. Hasilnya pun sudah mulai tampak. Kasus Suwarna dengan Surya Dumai Group di Kalimantan Timur, yang didakwa melakukan korupsi, serta kasus Bupati Pelelawan, yang didakwa dengan pidana serupa, setidaknya merupakan sinyal kecil yang membuka harapan bagi terciptanya sebuah sistem hukum yang mampu memberikan perlindungan terhadap lingkungan dan masyarakat dari ancaman bencana.
Adnan Topan Husodo, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 10 Maret 2010